Warga Arab di Israel Khawatir akan Masa Depannya
10 Februari 2009Dengan gunting di tangan penata rambut Mussa Abu Ali berdiri di salonnya di Beit Zafafa di bagian tenggara Yerusalem. Di salonnya itu Mussa Abu Ali yang berusia 64 tahun kerap berbicara tentang politik, tetapi yang paling sering tentang situasi di Jalur Gaza.
Tidak Punya Harapan
Pemilu Israel tidak begitu menarik perhatiannya. Padahal ia juga berhak untuk memberikan suara. Ia berkata, "Saya tidak ikut mencoblos dalam pemilu. Tidak bagi orang Yahudi dan juga tidak bagi orang Arab. Keduanya selalu memberikan janji-janji, tetapi tidak pernah dipenuhi. Mereka mengoceh dan terus mengoceh. Tidak ada perubahan sama sekali."
Pengamat pemilu memperhitungkan, hanya satu dari dua warga Arab-Israel yang berhak memilih akan memberikan suaranya. Ini adalah jumlah paling sedikit dalam sejarah. Tahun 2006 lalu, masih 56% warga Arab di Israel ikut dalam pemilu.
Tidak Ada Perubahan
Sejak saat itu frustasi terus meningkat, demikian dikatakan penata rambut Mussa Abu Ali seraya menengok kembali pemilu di dasawarsa-dasawarsa lalu. Ia bertutur, ada pepatah Arab yang mengatakan: "kamu datang, kamu pergi, tidak ada yang berubah." Dalam 60 tahun terakhir, memang tidak ada yang berubah. Nasib rakyat Palestina selalu buruk. Ia tidak mengharapkan apapun dari pemilu ini. Terserah, mau Netanjahu, Livni atau Barak yang menang pemilu, situasi tidak akan berubah, demikian tutur penata rambut itu.
Pemimpin Likud, Benjamin Netanjahu ingin perundingan tentang berdirinya negara Palestina dihentikan sepenuhnya. Menteri Luar Negeri Zipi Livni, yang menjadi calon utama Partai Kadima, mengatakan dalam kampanyenya, jika negara Palestina benar-benar berdiri, menurut pendapatnya, itulah tanah air yang sesuai bagi warga Arab yang tinggal di Israel.
Berhaluan Kanan
Sikap yang berhaluan kanan ini menambah perasaan takut sekitar 1,4 juta warga Arab-Israel, yang menjadi 18% seluruh rakyat Israel. Ali Salman, pelanggan di salon Mussa Abu Ali, sudah yakin siapa yang akan menjadi perdana menteri baru Israel dan ia putus asa. Menurutnya Netanjahu pasti menang, dan Netanjahu membenci orang Arab.
Oktober lalu terjadi huruhara dan serangan terhadap warga Arab di Israel. Saat itu politisi berhaluan ekstrim kanan, Avigdor Lieberman dari Partai Yisrael Beiteinu menambah sikap anti Arab dengan slogan-slogan yang mendiskriminasikan warga minoritas Arab. Lieberman menuntut, agar warga Arab-Israel menyatakan dengan jelas dukungan atas berdirinya negara Yahudi Israel. Hanya dengan cara itu mereka dapat mempertahankan kewarganegaraannya.
Wakil di Parlemen
Anggota parlemen Knesset yang juga warga Arab Ahmed Tibi, menilai partai Yisrael Beiteinu yang dipimpin Liberman sebuah partai fasis. Ahmed Tibi berkata, slogan terpenting partai itu adalah: "Jika tidak ada loyalitas maka tidak ada kewarganegaraan". Itu adalah fasisme, demikian Tibi dan menambahkan, "Orang tidak bisa mengaitkan kewarganegaraan dengan apa yang disebut sebagai loyalitas. Loyal kepada siapa? Kepada pandangannya? Kepada ideologinya yang tidak bisa kami terima?"
Awalnya komisi pemilu Israel melarang ikutsertanya dua partai Arab dalam pemilu, berdasarkan permintaan partai Yisrael Beiteinu serta dua partai ultra kanan lainnya dan dengan dukungan suara semua fraksi terbesar di Knesset. Namun mahkamah tertinggi negara itu tidak mengijinkan larangan tersebut.
Kelompok minoritas Arab kini diwakili 13 orang di parlemen. Menurut perkiraan, di masa depan jumlahnya akan lebih sedikit lagi. Terutama karena banyak warga Arab-Israel, seperti penata rambut Mussa Abu Ali, tidak memberikan suara dalam pemilu karena frustasi dan putus asa. (ml)