Walau Gencatan Senjata, Situasi di Gaza Mengenaskan
15 Juli 2008John Ging dari Badan Bantuan Pengungsi PBB UNHCR di Jalur Gaza mati-matian berusaha meyakinkan media bahwa gambar truk-truk Israel hilir mudik membawa barang bantuan ke Jalur Gaza di televisi sama sekali tidak benar.
"Kita harus berpegang pada faktanya. Tepat setahun yang lalu, ketika roket Kazam masih ditembakkan ke Israel, setidaknya 400 truk barang bantuan datang ke Gaza dan Gaza masih mengekspor barang hingga 50 truk. Sekarang, ketika gencatan senjata dilakukan, kurang dari 100 truk bantuan datang ke Gaza dan sama sekali tidak ada ekspor,“ kata Ging.
Harapan masyarakat internasional bahwa gencatan senjata, walau tidak stabil, antara Hamas dan Israel dapat menenangkan situasi di Jalur Gaza, untuk sementara tidak terpenuhi. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert memang pernah menyatakan optimis terhadap kemungkinan perdamaian di Timur Tengah. Utusan khusus Kuartet Timur Tengah Tony Blair, dalam kunjungannya ke Jalur Gaza beberapa waktu lalu juga menggarisbawahi kemajuan wilayah itu. Tapi yang mereka maksudkan bukanlah kehidupan sehari-hari di Gaza.
Sejak tiga bulan, banyak keluarga kehabisan gas untuk memasak. Mereka tidak memasak atau harus menggunakan kayu bakar. Bila ada berita datangnya pasokan gas, langsung terlihat hanya antrian panjang di tempat pengisian gas antara Gaza dan Rafah. Sejumlah pria muda dan perempuan tua yang membawa tabung gas berwarna biru, sebagian mengantri sejak pukul empat pagi.
Pemilik pompa pengisian ulang tabung gas mengecilkan harapan para calon pelanggannya dengan mengatakan, "Toko-toko kecil tidak punya tempat cukup luas untuk mengisi ulang tabung gas konsumennya. Jadinya banyak konsumen rumah tangga yang datang ke sini. Tapi kami mengutamakan pelanggan besar, rumah makan dan pabrik roti.“
Tabung berisi 12 kilogram gas dijual dengan harga 58 Shekel di pompa pengisian ulang. Tapi di pasar gelap harganya dapat mencapai 120 Shekel. Siapa yang mampu, memilih membeli di pasar gelap. Di Gaza, terdapat perdagangan gelap yang merusak pasaran, seperti adanya terowongan di selatan, di Rafah, di kawasan perbatasan dengan Mesir.
Pandangan ke arah dinding perbatasan Mesir tertutup oleh ratusan tenda. Di balik tenda-tenda itu terdapat jalan masuk menuju sebuah terowongan. Mesin penggulung tambang terdengar dari jauh. Tim jurnalis televisi harus merogoh 500 Dolar dari koceknya untuk mendapatkan gambar. Sementara jurnalis radio masih dapat bergerak bebas melewati terowongan itu. Lampu neon tampak berpendar di tengah kedalaman 15 meter dari permukaan bumi. Pakaian, obat-obatan hingga skuter diselundupkan dari Mesir ke Jalur Gaza, melewati terowongan sepanjang 120 meter itu. Tentu saja skuter yang diselundupkan ke Gaza harus terlebih dulu dipreteli menjadi bagian-bagian kecil dan dirakit kembali setibanya di wilayah Palestina.
Terowongan itu dikuasai Hamas dan Hamas memperoleh banyak keuntungan darinya. Mesir turut andil dalam perdagangan gelap di Gaza, sementara Israel tidak mau tahu. Mengapa? Karena pemerintah Israel ingin menyerahkan tanggung jawab atas Gaza kepada Mesir, demikian kabar yang berkembang di antara warga Palestina. Tapi John Ging tidak mau terbawa spekulasi.
Dikatakannya, "Pembukaan perbatasan adalah tanggung jawab Israel. Gaza diduduki dan perbatasannya diatur Israel. Kini giliran Israel. Bukan hanya karena sekarang tidak lagi ditembakkan roket, melainkan karena merupakan kewajiban hukum untuk memastikan barang bantuan tetap dikirimkan dan warga tetap bebas bergerak. Itu merupakan hukum internasional.“(ls)