Uni Eropa Ingin Bentuk WTO Tandingan tanpa AS dan Cina?
7 Juli 2025Sebuah proposal yang diperkenalkan oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Kanselir Jerman Friedrich Merz menarik perhatian luas. Di penghujung konferensi tingkat tinggi di Brussels pada 27 Jun lalu, keduanya mengemukakan gagasan agar Uni Eropa memimpin pembentukan alternatif dari lembaga perdagangan dunia WTO yang telah berdiri sejak 1995.
Merz mengatakan bahwa ide tersebut masih berada dalam tahap awal, tetapi bisa mencakup mekanisme penyelesaian sengketa sebagaimana yang seharusnya dijalankan oleh WTO.
"Semua orang tahu bahwa WTO sudah tidak berfungsi lagi,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa "organisasi perdagangan jenis baru” dapat secara bertahap menggantikan "apa yang tak lagi kita miliki melalui WTO.”
Pernyataan sang kanselir merujuk pada hampir lumpuhnya mekanisme penyelesaian sengketa melalui WTO. Mantan Presiden AS Barack Obama pertama kali memblokir penunjukan anggota Badan Banding WTO yang berfungsi sebagai pengadilan tertinggi sengketa dagang, pada tahun-tahun akhir masa jabatannya. Pemblokiran itu berlanjut di bawah setiap pemerintahan AS berikutnya, terlepas dari partai yang berkuasa. AS berturut-turut menolak putusan WTO yang dinilai merugikan kepentingan nasionanya.
Akibatnya, sengketa dagang kini tidak dapat diselesaikan secara final di tahap banding. Saat ini, kasus-kasus yang belum terselesaikan mencakup perselisihan antara UE dan Indonesia terkait ekspor bijih nikel, putusan mengenai subsidi bagi produsen pesawat Boeing dan Airbus, serta kasus anti-dumping terhadap China.
Presiden Komisi Eropa von der Leyen menekankan rencana kemitraan erat dengan negara-negara perdagangan yang sejalan di Asia, dengan merujuk pada potensi kerja sama dengan Kemitraan Trans-Pasifik Komprehensif dan Progresif (CPTPP).
Perjanjian CPTPP bertujuan mengurangi hambatan perdagangan dan mendorong integrasi ekonomi di antara para anggotanya. Aliansi perdagangan ini saat ini mencakup Australia, Brunei, Kanada, Cili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam. Inggris juga telah bergabung, menjadi negara Eropa pertama dalam blok tersebut.
Liberalisasi perdagangan tanpa AS
Namun, bisakah Eropa secara realistis membentuk WTO baru tanpa keterlibatan AS? Dan seberapa efektifkah aliansi dengan mitra-mitra global yang sejalan, khususnya di kawasan Asia-Pasifik?
Jürgen Matthes, pakar kebijakan perdagangan internasional dari Institut Ekonomi Jerman (IW) di Köln, menyatakan dukungannya terhadap inisiatif tersebut dalam wawancara dengan DW.
Dia mengatakan aliansi dengan CPTPP akan menciptakan "klub terbuka” dengan syarat keanggotaan yang transparan dan berbasis perdagangan yang adil. "Aplikasi resmi UE untuk bergabung dengan CPTPP akan menjadi langkah strategis penting dalam berbagai hal,” ujarnya. "Hal ini akan mengirimkan sinyal jelas kepada AS bahwa kebijakan proteksionismenya hanya mengisolasi AS sendiri, sementara dunia terus meliberalisasi perdagangan.”
Matthes juga menyebut bahwa langkah tersebut akan menciptakan "perjanjian perdagangan lintas regional yang luar biasa besar”, melibatkan negara ekonomi utama, "dengan UE sebagai blok terbesar.”
"Aliansi ini akan mencakup hampir semua benua. Dan mungkin beberapa negara Afrika pun bisa dilibatkan,” tambahnya.
Namun, klub ini akan mengecualikan Cina, yang menurut Matthes, dikenal tidak bermain secara adil dalam persaingan dagang. "Tujuannya adalah membentuk aliansi strategis perdagangan yang menangani isu-isu mendesak dalam perdagangan global saat ini — tidak hanya proteksionisme AS, tetapi juga distorsi pasar besar-besaran yang disebabkan subsidi Cina, yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh aturan WTO saat ini,” kata Matthes.
Tatanan ekonomi dunia yang baru?
Bagi UE, prioritas utama adalah membumikan aturan persaingan yang ketat dalam kerangka kerja baru ini, khususnya terkait dengan perusahaan milik negara dan subsidi industri. "Siapa pun yang memenuhi standar itu bisa bergabung,” ujarnya.
Artinya, Cina perlu melakukan reformasi besar, seperti mengurangi distorsi pasar dan subsidi, atau akhirnya menyetujui reformasi menyeluruh atas aturan WTO.
Para pendukung perdagangan bebas sebelumnya telah menciptakan jalan keluar dari kebuntuan proses banding WTO melalui Pengaturan Arbitrase Banding Sementara Multi-Pihak (MPIA). Dibentuk dalam kerangka WTO, MPIA menyediakan sistem penyelesaian sengketa alternatif yang berfungsi tanpa partisipasi AS.
Menurut Komisi Eropa, 57 negara, yang mewakili 57,6% perdagangan global, telah bergabung dalam MPIA, termasuk Inggris dan seluruh negara anggota UE.
Namun, kelompok-kelompok bisnis seperti Federasi Perdagangan Grosir, Perdagangan Luar Negeri dan Jasa Jerman (BGA), yang mewakili sektor ekspor Jerman, tetap berhati-hati agar tidak melemahkan WTO.
Kepada kantor berita Reuters, Presiden BGA Dirk Jandura mengakui manfaat strategis dari pembentukan kerangka kerja baru di antara negara demokrasi yang berfungsi melalui CPTPP, namun memperingatkan terhadap risikonya.
"Kita tidak boleh membiarkan perdagangan global terpecah menjadi blok-blok saingan dengan aturan yang berbeda-beda,” katanya. "Organisasi baru ini harus menjadi solusi transisional semata, dengan tujuan jelas untuk mereformasi — bukan menggantikan — WTO.”
Reformasi, bukan organisasi tandingan
Brussels juga berhati-hati untuk menegaskan bahwa tujuannya bukan membuat WTO usang. Presiden Komisi Eropa von der Leyen menggambarkan "kerja sama terstruktur” dengan anggota CPTPP sebagai titik awal yang potensial untuk membentuk kembali WTO.
Bahkan mantan kepala ekonom WTO, Ralph Ossa, yang baru saja kembali ke Universitas Zurich, secara terbuka mengakui perlunya perubahan. "Apakah WTO perlu direformasi? Tentu saja,” katanya kepada DW.
Kementerian Ekonomi Jerman menggemakan pandangan tersebut, dengan juru bicara Menteri Katharina Reiche mengonfirmasi bahwa pemerintah Jerman, bersama dengan Komisi Eropa, secara aktif mendorong reformasi WTO.
Upaya reformasi tersebut mencakup aturan baru untuk membatasi subsidi industri demi memastikan persaingan yang adil, inisiatif perdagangan digital, dan fasilitasi investasi. UE sudah menjalin pembicaraan dengan negara-negara yang mendukung perdagangan terbuka dan berbasis aturan — termasuk anggota CPTPP.
Ambiguitas strategis dalam perdagangan
Pesan ganda UE kepada AS dan Cina diyakini menjadi bagian dari strategi komunikasi yang disengaja, yang berkembang sejak perang tarif oleh Presiden AS Donald Trump.
Pesan yang disampaikan oleh Merz dari Jerman dan von der Leyen dari UE adalah bahwa mayoritas negara perdagangan dunia masih mendukung sistem berbasis aturan.
Matthes membayangkan aliansi baru di bawah slogan "Pasar Terbuka dengan Perdagangan yang Adil.” Dalam skema semacam itu, "AS tersingkir dalam hal pasar terbuka, dan Cina terpinggirkan dalam hal perdagangan adil — kecuali ada perubahan di bawah pemerintahan AS baru atau munculnya reformasi di Cina.”
Dia melihat berbagai keuntungan dari strategi ini. "Kita akan meraih lebih banyak liberalisasi perdagangan dan mendapatkan akses ke pasar baru. Kita akan makin mengisolasi AS dan menunjukkan kepada Trump bahwa proteksionisme pada akhirnya adalah jalan buntu.”
Pada saat yang sama, Eropa dapat mengirim pesan tegas kepada Cina bahwa distorsi pasar tak lagi bisa ditoleransi, tambahnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk