TikTok Bantu Pengguna Keluar dari Hubungan Toxic
10 Maret 2025Peringatan konten: Artikel ini mengandung deskripsi tentang kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
Dengan kaki menyilang, Linda Loran duduk tegak di bangku bar dan tersenyum saat membaca beberapa komentar kebencian bernada seksis di video TikTok miliknya: "Berat badanmu 50 kg, tapi otakmu lebih ringan empat kali lipat dibandingkan tasmu." Para penonton pun tertawa terbahak-bahak.
Loran menjadi tamu dalam acara Monday Talks, sebuah diskusi feminis yang diadakan di sebuah bar di kawasan Neukölln, Berlin. Acara ini diselenggarakan oleh aktivis TikTok Alina Kuhl, dengan pembicara lainnya yang juga aktif di TikTok. Ruangan penuh sesak, orang-orang bahkan berdesakan di lorong untuk mendengar para perempuan ini berdiskusi.
Feminisme di media sosial
Loran sebenarnya merasa gugup, tetapi ia tidak memperlihatkannya. Rambutnya tertata rapi, humornya datar dan tajam, persis seperti di video TikTok miliknya saat ia membahas mengapa banyak orang tetap bertahan dalam hubungan yang tidak bahagia dan abusif. Dalam video itu, ia juga mengungkap kembali pengalaman menyakitkan bersama mantan pasangannya, yang mengundang berbagai reaksi, termasuk banyak komentar kebencian.
Tiga tahun lalu, Loran mulai membagikan kisahnya di TikTok tentang pelecehan dan penghinaan yang ia alami dari mantan pasangannya, dari kekerasan seksual hingga kekerasan fisik.
"Saya pikir harus lebih banyak perempuan berbicara tentang pengalaman mereka, karena diam hanya akan melindungi para pelaku," ujarnya.
Merasa seperti ibu tunggal dalam hubungan penuh kekerasan
Beberapa jam sebelum acara diskusi feminis, Loran berbagi kisahnya dengan DW. Ia mengatakan bahwa di masa mudanya, ia memiliki impian besar: "Saya ingin bepergian dan berkarier." Namun, semuanya berubah ketika ia hamil pada usia 19 tahun, tepat sebelum menyelesaikan sekolah menengah atas.
"Saya menyelesaikan ujian kelulusan sambil mengurus bayi," kenangnya.
Melewati malam-malam tanpa tidur yang cukup, lalu harus ke sekolah keesokan paginya.
"Saya duduk di tempat tidur dengan anak saya di malam hari dan menangis," kata perempuan yang kini berusia 31 tahun itu.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ia hampir tidak mendapat dukungan dari pasangan maupun keluarganya yang ketat dan konservatif. Hubungannya dengan keluarga juga renggang sejak ia meninggalkan rumah pada usia 15 tahun akibat sering dipukuli.
Kini, Loran memiliki tiga anak. Ia menjelaskan bahwa kekerasan dari mantan pasangannya berkembang secara bertahap: "Awalnya, hal-hal sepele, seperti kurangnya dukungan selama kehamilan dan dalam mengasuh anak."
Mantan pasangannya menuduhnya terlalu banyak bekerja daripada mengurus anak, dan mulai mengontrolnya secara finansial. Lama-kelamaan, ia mulai mencuri uang dari Loran, menyembunyikan dompet atau kunci miliknya.
Kekerasan fisik dimulai setelah kehamilan kedua, biasanya ketika mereka bertengkar: "Memelintir tangan, mendorong, dan sebagainya," kata Loran. Ia juga kerap dipaksa berhubungan seks tanpa persetujuannya: "Saya tidak bisa berkata tidak," ujarnya.
Peristiwa di hari Natal yang mengubah segalanya
Loran mengingat pertengkaran hebat yang terjadi menjelang Natal 2017. Saat itu, ia sedang mengandung anak ketiga mereka. Mantan pasangannya seharusnya pulang pada siang hari untuk membantu persiapan Natal, tetapi ia baru muncul pukul 9 malam dalam keadaan mabuk berat, nyaris tidak bisa berjalan, dan muntah di seluruh rumah.
Pertengkaran pun terjadi. Mantan pasangannya mulai mendorong, meludahi, memelintir tangan, mencekik, dan menghinanya, serta mengancam akan membunuhnya. Dia kemudian menyeret Loran ke ruang kerja, di mana dia mengunci mereka berdua dan menyuruh Loran untuk bunuh diri. Seolah-olah dalam mimpi, ia kemudian menyatakan cintanya, sementara putra sulungnya memohon pada ayahnya untuk tidak membunuh ibunya.
Keesokan harinya, pria itu seolah tidak mengingat apa pun. Putus asa, Loran meminta bantuan keluarganya. Ia menceritakan semuanya kepada ibu mantan pasangannya. Namun, reaksi yang didapat hanya sebuah pertanyaan: "Apakah kamu cukup sering berhubungan seks dengannya?"
"Saat itu, di usia 25 tahun, mengandung anak ketiga, saya benar-benar bertanya-tanya apakah ini semua salah saya," ujar Loran.
Harapan dari media sosial
Saat itu, ia menemukan video di YouTube tentang ibu tunggal lain yang mengalami hal serupa. "Video-video ini memberi saya keberanian," katanya.
Loran akhirnya mengambil keputusan untuk berpisah. Ia menetapkan tenggat waktu: setelah cuti melahirkan. Namun, ketakutan masih menghantuinya. Takut dicap negatif sebagai ibu tunggal, takut kesulitan keuangan, dan takut anak-anaknya tumbuh tanpa sosok ayah.
"Saya sendiri tumbuh tanpa ayah dan saya ingin memberikan stabilitas bagi anak-anak saya, baik secara keluarga maupun finansial," katanya.
Loran merasa terisolasi. Ia hanya bisa bertemu teman-temannya setiap beberapa minggu sekali. Namun, melalui media sosial, ia menemukan orang-orang dengan pengalaman serupa dan mendapatkan dukungan.
Lalu 1,5 tahun Satu setengah tahun setelah ia mengambil keputusan, Loran akhirnya mengakhiri hubungan itu pada 2019. Dalam tahun-tahun berikutnya, ia mulai kuliah.
Ia juga mulai membagikan kisahnya di TikTok. Kini, akun TikTok-nya menjadi salah satu sumber penghasilan, selain pekerjaannya di supermarket.
TikTok: Tempat berbagi dan belajar
Bagi Loran, TikTok adalah tempat untuk berbagi kisah dan belajar dari pengalaman orang lain. Melalui TikTok, ia juga mulai memahami tantangan yang dihadapi kelompok lain, seperti perempuan kulit berwarna. Selain itu, TikTok memberinya kesadaran bahwa ia tidak sendirian dalam perjuangannya.
Kini, Loran berbagi kisahnya dalam diskusi feminis di Berlin dan hanya bisa tertawa menghadapi komentar kebencian di media sosial. Seorang peserta diskusi bertanya apakah ia pernah berpikir untuk berhenti karena intimidasi yang ia terima di TikTok.
Loran tidak ragu sedikit pun sebelum menjawab:
"Jika ada satu saja perempuan yang melihat konten saya dan berhasil membebaskan diri dari hubungan abusif, maka saya akan terus melakukannya."
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris