TI Publikasikan Barometer Korupsi Global 2009
5 Juni 2009Menurut survey lembaga anti korupsi yang berpusat di Berlin itu, 53 persen responden meyantakan bahwa perusahaan-perusahaan swasta korup. Meningkat dari 45 persen di tahun 2004. Bahkan para responden menunjuk sektor swasta ini sebagai lembaga paling korup.
Pimpinan Transparency International (TI), Huguette Labelle menyebut, hasil survey ini menyadarkan publik mengenai kurangnya transparansi dan longgarnya peraturan terkait sektor swasta. "Di atas semuanya, badai finansial global menciptakan suatu krisis kepercayaan luar biasa di masyarakat umum khususnya terhadap lembaga sektor swasta. Kepercayaan orang banyak ini harus dipulihkan. Namun untuk itu kita perlu memperbaiki dan menggulirkan lagi ekonomi yang sehat."
Survey dilakukan terhadap 73 ribu responden di 69 negara, termasuk pusat-pusat keuangan dunia seperti Hong Kong, Singapura, Luksemburg, dan Swiss.
Lebih dari setengah responden yakin, perusahaan-perusahaan swasta melakukan suap terhadap para pejabat pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan dan pengambilan keputusan. Negara-negara yang belum lama terbentuk, seperti Georgia dan Armenia tergolong yang paling parah dalam soal ini. Diikuti negara-negara Amerika Selatan.
Huguette Labelle dari Transparency International menyebutkan, suap dan korupsi oleh sektor swasta terhadap pemerintah dilakukan dengan cara yang sering sangat susah dijerat. "Bentuk korupsinya acap kali sangat tersamar. Sering terjadi semacam perselingkuhan antara para pelobi dengan pejabat lembaga negara atau badan pelayanan umum. Berlangsung lama. Hasilnya, berbagai kebijakan dan keputusan pemerintah yang menguntungkan perusahaan-peruusahaan itu. Yang seperti ini dilakukan dengan sangat rapi. Karenanya jauh lebih berbahaya."
Yang menggembirakan, publik mengungkapkan kehendak keras untuk secara aktif turut membersihkan dunia bisnis komersial. Misalnya bersedia mengeluarkan uang lebih untuk membeli produk dari perusahaan-perusahaan yang bebas dari korupsi. Yang diperlukan sekarang adalah tindakan nyata dari sektor swasta, dan membuat laporan yang lebih transparan baik ihwal keuangan maupun interaksinya dengan pemerintah.
Bagian lain laporan itu menyebutkan, 10 persen responden harus mengeluarkan uang sogokan untuk memperoleh pelayanan umum. Kepolisian merupakan lembaga negara yang dinilai paling korup. Namun banyak lembaga lain yang juga hanya memberikan pelayanan hanya jika disuap. Bahkan lembaga pelayanan kesehatan. Ini membuat rakyat miskin lebih sulit lagi. Padahal kaum miskin sudah terpukul oleh krisis ekonomi. Misalnya karena kehilangan pekerjaan, serta berkurangnya anggaran sosial. Keadaan ini membuat kaum miskin harus membuat pilihan-pilihan yang luar biasa berat.
Kembali Huguette Labelle, "Ini berarti, bahwa keluarga-keluarga kaum miskin kian dihadapkan pada pilihan yang seharusnya tidak perlu. Misalnya pilihan antara pergi ke klinik dan harus menyogok untuk mendapat vaksinasi atau memperoleh pelayanan bagi anak yang sakit parah, dengan membeli makanan dan berbagai kebutuhan pokok sehari-hari."
Yang juga dianggap paling korup adalah parlemen dan partai politik. Menurut para responden, parlemen dan partai politik merupakan sarang koruptor. Para politikus dipandang nyinyir sebagai kaum yang memperkaya diri secara tidak sah dengan menyalahgunakan mandat dan kepercayaan rakyat. Dan ini, menurut Ketua TI Huguette Labelle, sangat berbahaya untuk bangunan dan kelembagaan demokrasi dalam jangka panjang.
"Bahaya besar yang mengancam adalah kalau rakyat juga sepenuhnya kehilangan kepercayaan terhadap lembaga parlemen dan para anggotanya. Kalau ini terjadi, mereka tak mau menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum. Dan kalau itu terjadi, maka mereka mendorong pelemahan lembaga-lembaga negara secara luar biasa."
HP/GG/rtr/dpa