Terungkap: Kekerasan di Institusi Riset Terkemuka Jerman
14 Maret 2025Bagi Gabriel Lando, pertemuan dengan direktur tempat ia bekerja, hampir selalu bikin dia 'jatuh mental': "Dia menggebrak meja dan berteriak-teriak, sehingga saya bisa melihat air liurnya muncrat," demikian ujar fisikawan komputasi teoritis dari Brasil itu. Ia adalah mantan peneliti program lanjutan setelah S-3, atau postdoctoral di Max-Planck-Institute, khususnya di departemen Fisika Sistem Kompleks di Dresden. Pada malam itu, direkturnya, fisikawan Jan-Michael Rost, tampaknya sedang mengalami hari yang sangat buruk, kenang Gabriel Lando. Situasi semakin bereskalasi.
Tadinya, Lando ingin mendiskusikan rencana sebuah publikasi artikel ilmiah. Namun, ia malah "dihujani" dengan hinaan tiada henti. Padahal, Rost sebelumnya sudah memberi sinyal bahwa penulisan artikelnya sudah berjalan dengan baik, tetapi tiba-tiba ia menerima kritik keras dari Rost yang menyebutnya "autistik" dan "sangat tidak berguna" – "f****ng useless", demikian kenang Lando, yang kini sudah hengkang dari institut bergengsi tersebut.
Dia menggambarkan pertemuan-pertemuan di mana Rost berkali-kali mengebrak meja dan 'menyalak' kepadanya. "Saya rasa itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya," ujar Lando, yang bergabung dengan institut itu pada tahun 2020. "Butuh lebih dari setahun untuk sembuh, untuk terbebaskan dari mimpi buruk." Pengalaman Lando bukanlah satu-satunya!
Keheningan dalam ketakutan
Selama berbulan-bulan, unit investigasi DW bersama dengan majalah berita Jerman Der Spiegel, menyelidiki kasus-kasus dugaan perilaku abusif dan lingkungan kerja yang toksik di Institut Max Planck di seluruh Jerman.
Kami mewawancarai lebih dari 30 ilmuwan, sebagian besar berasal dari Asia, Amerika, dan bagian Eropa lainnya, yang tertarik datang ke Jerman untuk melakukan penelitian kaliber dunia.
Lebih dari setengahnya menceritakan pengalaman atau menyaksikan perilaku tidak pantas yang diduga dilakukan oleh staf ilmuwan senior, tak terkecuali sebagian direktur, tetapi juga pemimpin kelompok-kelompok kecil. Perempuan dan orang dengan warna kulit berbeda adalah yang paling rentan terhadap pelecehan.
DW dan Der Spiegel juga meninjau laporan terperinci yang diserahkan ke bagian mekanisme pengaduan Max Planck, komunikasi antara korban dan staf yang terlibat dalam proses pelaporan, serta dokumen-dokumen rahasia yang mengonfirmasi kesaksian tersebut.
Temuan kami menunjukkan kegagalan sistemik untuk mengusut dan memberi sanksi kepada staf yang bersikap abusif atau institut mereka.
Perundungan dan seksisme yang dianggap lumrah
Max Planck membangun institut-institutnya lewat kerja keras para ilmuwan berbakat, yang bebas melakukan penelitian dan mendapatkan fasilitas mereka sesuai keinginan, sambil memimpin terobosan ilmiah.
Model ini berakar pada prinsip revolusioner yang dikembangkan oleh Adolf von Harnack, seorang teolog dan pelindung ilmu pengetahuan alam, yang pada tahun 1911 memimpin Max-Planck-Institute.
Harnack meyakini bahwa penelitian dapat berkembang lebih baik melalui institut yang berfokus pada ilmuwan, yang kemudian akan mengejar terobosan tanpa adanya pembatasan.
Model ini berhasil — Max-Planck-Institute bisa berbangga dengan 31 hadiah Nobel koleksinya. Meskipun ide Harnack memungkinkan penelitian berkembang pesat, model ini juga memungkinkan potensi penyalahgunaan kekuasaan, karena pengawasan yang longgar, di mana terkadang membuat para ilmuwan junior, seperti PhD dan postdoc, berada di bawah kendali penuh atasan mereka.
Pada tahun 2019, sebuah survei yang dilakukan oleh organisasi ini menemukan, hampir satu dari lima responden mengaku pernah mengalami perundungan di institut tersebut. Survei itu juga menunjukkan, karyawan non-Jerman lebih rentan menjadi korban perundungan atau mendapat komentar seksis.
Sebagai hasil dari survei tersebut, Max-Planck-Institute mengambil beberapa langkah untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih setara dan meningkatkan akuntabilitas di seluruh institut mereka, termasuk menyusun kode etik. Namun, kasus-kasus pelecehan terus terjadi — perempuan dan orang dengan warna kulit berbeda masih menjadi sasaran utama.
Aubrey, seorang ilmuwan yang datang ke Jerman untuk menjalani PhD di sebuah institut Max Planck di timur Jerman, mengatakan bahwa atmosfer seksisme di sana sudah dianggal hal lumrah dalam kelompok penelitiannya. Seperti banyak peneliti lainnya yang kami wawancarai, dia meminta nama aslinya tidak disebutkan karena takut akan terkena masalah. "Saya sering disingkirkan dari diskusi proyek saya," kata Aubrey.
Dia mengatakan sering merasa khawatir karyanya tidak akan dihargai dengan adil — karena dia sudah melihat hal tersebut terjadi pada ilmuwan perempuan lain. DW mengonfirmasi ceritanya dan menemukan kasus serupa selama penyelidikan ini.
"Terkadang orang lain mengklaim karya saya sebagai milik mereka, dan saya merasa perilaku seperti ini — melebih-lebihkan kontribusi diri sendiri dan meremehkan kontribusi orang lain — sudah menjadi kebiasaan di sini," kata Aubrey. "Itulah cara orang bertahan (di institut ini)."
Institut tersebut menolak berkomentar tentang kasus-kasus individu tanpa rincian lebih lanjut, namun menambahkan: "Manajemen belum menerima laporan apapun mengenai perilaku seksis yang dilakukan oleh seorang direktur atau pemimpin kelompok dalam lima tahun terakhir."
DW dan Der Spiegel juga menemukan kasus perilaku abusif di institut Max Planck lainnya. Kami berbicara dengan 20 orang yang bekerja di Max-Planck-Institute, bagian Fisika Sistem Kompleks. Sebagian besar dari mereka mengatakan mereka pernah mengalami, menyaksikan, atau mendengar tentang perilaku tidak pantas yang dilakukan oleh Rost.
DW dan Der Spiegel juga berbicara dengan berbagai saksi dan meninjau komunikasi yang sesuai dengan kesaksian tersebut. Elias, yang datang ke Jerman untuk bekerja sebagai peneliti PhD di institut tersebut dan juga meminta agar nama aslinya tidak disebutkan, mengatakan Rost memanfaatkan pembaruan kontrak, terutama menjelang akhir kontrak, dengan mengancam untuk tidak melakukan perpanjangan kontrak, jika para ilmuwan tidak mengikuti keinginannya. "Dia memiliki kekuasaan atas kami yang berasal dari luar Eropa," ujar Elias. "Kami membutuhkan kontrak itu untuk visa izin tinggal kami. Dia menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengancam orang untuk tidak memperpanjang kontraknya."
Kami menantang Rost dengan tuduhan tersebut, dan Max-Planck-Institute merespons mewakili dirinya dengan mengatakan: " Rost tidak dapat mengonfirmasi bahwa dia membuat pernyataan seperti yang dilaporkan oleh Lando."
Tak adanya niat baik dalam mengusut perkara
Banyak ilmuwan muda yang kami wawancarai mengatakan, mereka tidak melaporkan perilaku tidak pantas karena takut akan konsekuensinya. Beberapa dari mereka mengatakan mereka tidak tahu bahwa melaporkan perilaku tidak pantas adalah suatu pilihan.
Ilmuwan yang mencoba melaporkan, semua menggambarkan berbagai upaya yang menghalangi mereka. Beberapa orang mengaku diperingatkan bahwa hal itu akan merugikan karier mereka; lainnya diberi pilihan untuk menerima kondisi yang ada di institut mereka atau pergi.
Lando adalah salah satunya. Dia mencoba melaporkan perilaku Rost dan bahkan menghubungi pengacara kepercayaan Max-Planck-Instutute — sebuah firma hukum eksternal yang ditunjuk oleh badan itu dan merupakan saluran resmi untuk melaporkan perilaku tidak pantas. Namun, ketika dia meminta agar laporannya bersifat anonimitas, dia menerima balasan yang kontradiktif.
"Pertama-tama izinkan saya memberitahukan bahwa seluruh proses ini bersifat rahasia dan anonim selama Anda tidak memberi instruksi lain," tulis email tersebut. "Namun, sejujurnya, pada suatu titik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus disebutkan (namanya) dengan cara tertentu untuk memungkinkan penyelidikan."
Lainnya mengatakan mereka menghadapi upaya yang lebih terbuka untuk menekan laporan mereka. Felix, mantan peneliti PhD di sebuah institut Max Planck di selatan Jerman, yang juga meminta agar nama aslinya tidak disebutkan, mengatakan dia mengajukan laporan rinci pada tahun 2022 ke unit investigasi staf, sebuah unit yang dibentuk setelah survei 2019 dan bertugas menilai laporan dan melakukan penyelidikan awal.
Dalam pertukaran email yang ditinjau oleh DW dan Der Spiegel, Felix akhirnya diberitahu bahwa laporannya akan diteruskan kepada direktur pengelola institutnya. Konsekuensinya, hal tersebut akan memberi pihak yang memiliki konflik kepentingan- akses ke informasi sensitif, termasuk nama-nama korban dan rincian perilaku tidak pantas.
Ketika Felix meminta agar laporan tersebut tidak diteruskan dalam bentuk itu, dia diberitahu bahwa proses pengaduan secara resmi dihentikan karena permintaannya.
"Saya merasa tidak ada minat sama sekali untuk benar-benar melakukan penyelidikan," kata Felix. "Saya tidak ingin menerima bahwa orang bisa diperlakukan seperti ini dan bahwa ilmuwan muda di masa depan harus menghadapi situasi serupa seperti yang saya alami."
Max-Planck-Institute mengatakan tidak dapat mengomentari rincian dua kasus tersebut, namun mengatakan: "Kami memberikan hak anonimitas ... tidak mencegah laporan untuk diperiksa kebenarannya."
Lembaga tersebut juga memberi tahu kami dalam sebuah email bahwa "anonimitas ... tidak menghalangi laporan untuk diperiksa kebenarannya. Sangat penting untuk menjaga kerahasiaan identitas pelapor, juga dalam proses selanjutnya."
Implikasi merugikan
Max-Planck-Institute kekurangan struktur pengawasan yang efektif, demikian menurut laporan yang diterbitkan oleh Badan Pengadilan Audit Jerman pada tahun 2024. Laporan tersebut mengkritik lembaga ini, yang menerima lebih dari €2 miliar dana publik setiap tahun, dengan mengatakan bahwa mereka "tidak memiliki badan pengawasan yang tepat" dan bahwa "sebenarnya, presiden mengawasi tindakannya sendiri."
Thomas Sattelberger, seorang mantan anggota parlemen dan sekretaris negara bagian di Kementerian Pendidikan dan Penelitian Jerman, berusaha untuk mengubah situasi tersebut melalui penyelidikan resmi selama waktu legislasinya di Bundestag. "Mereka membutuhkan badan pengawas publik," tandas Sattelberger. "Dan badan pengawas ini juga harus bertanggung jawab atas pelanggaran, seperti yang umum dilakukan di banyak bidang lain dalam masyarakat."
Sattelberger khawatir, tanpa solusi holistik yang menggabungkan pengawasan dan akuntabilitas, akibatnya bisa sangat merugikan bagi Jerman: "Di negara kami, standar ilmu pengetahuan semakin terganggu oleh skandal-skandal ini," ujar Sattelberger, "dan kami sudah memiliki masalah besar dengan ilmuwan top yang meninggalkan negara ini."
Hampir dua pertiga dari lebih 30 peneliti yang kami wawancarai, kini telah meninggalkan dunia sains. Lando tidak menyerah begitu saja- Dia meninggalkan Jerman pada 2021 setelah menolak perpanjangan kontrak di Max-Planck- Institute bagian Fisika Sistem Kompleks di Dresden. Kini dia melanjutkan penelitian tentang kekacauan kuantum di salah satu institut ilmiah terkemuka di Korea Selatan.
Dalam kariernya, dia pernah bekerja dengan orang-orang yang "agresif" dalam melakukan penelitian. Dia menjadikannya pelajaran: "Lingkungan di mana orang berjuang untuk ide-ide mereka bisa sangat produktif." Namun, menurut Lando, Rost tidak berjuang untuk ide-ide, melainkan melawan orang-orang. "Dia merendahkan saya."
Lando hanya mampu bertahan selama setahun di Dresden, lalu akhirnya meninggalkan institut tersebut — pada saat itu, dia mengenang, merasa "seperti anjing jalanan yang gemetar."
*Artikel investigasi ini hasil kerja sama antara DW dan der Spiegel