Tertindih Impor Cina, Industri Tekstil Nigeria Semaput
28 Maret 2025Pada era 1990-an, industri tekstil Nigeria pernah jadfi pilar utama perekonomian negara di Afrika tersebut, membuka peluang bagi ratusan ribu jiwa yang menggantungkan hidup pada benang dan kain.
"Industri ini penuh dengan berbagai kegiatan, dari Kaduna, Kano, Lagos, dan Onitsha, pabrik-pabrik tekstil berlokasi di semua wilayah tersebut," ungkap Kepala Asosiasi Produsen Tekstil Nigeria.Hamma Ali Kwajaffa mengenang masa itu, sebuah zaman ketika industri tekstil merajai pasar.
Pabrik-pabrik tekstil di seluruh negeri memproduksi kain berkualitas tinggi untuk pembeli di Nigeria dan juga pasar internasional. Rantai produksi yang berkembang pesat juga mendukung petani kapas lokal.
Namun, kini hanya tinggal kenangan. Hampir semua pabrik-pabrik tersebut telah gulung tikar, berjuang untuk bertahan di tengah derasnya arus tekstil murah dari luar negeri—terutama yang datang dari Cina.
Bagaimana mungkin tekstil Cina bisa begitu murah?
Meski Nigeria masih memiliki perkebunan kapas yang luas, produsen tekstilnya harus mengimpor pewarna, bahan kimia, pati, dan serat sintetis dari luar.
Sebaliknya, industri tekstil Cina mendapat keuntungan besar dari rantai pasokan yang terintegrasi, di mana hampir semua kebutuhan, bahkan mesin-mesin yang diperlukan, tersedia di tanah mereka.
”Cina memproduksi segala bahan mentah yang dibutuhkan, sehingga mereka mampu menghasilkan produk dengan harga yang jauh lebih murah,” papar Presiden Asosiasi Kapas Nasional Nigeria Anibe Achimugu.
Tak hanya itu, devaluasi mata uang naira semakin menambah beban. Dalam beberapa tahun terakhir, mata uang Nigeria ini terus melemah, dan langkah Presiden Bola Ahmed Tinubu yang membiarkan nilai tukar ditentukan oleh pasar tak mampu mengendalikan kejatuhan.
Hasilnya, biaya impor bahan baku dan suku cadang melonjak, memaksa produsen lokal semakin terhimpit oleh persaingan yang tak adil.
Apakah pesaing asal Cina meniru desain Nigeria?
Kwajaffa dari Asosiasi Produsen Tekstil Nigeria menunjukkan bahwa tekstil impor sering kali terbuat dari poliester, bukan katun. Poliester lebih murah, tetapi juga dianggap kualitasnya lebih rendah.
Menurut Kwajaffa, tekstil impor sering kali cepat pudar dan tidak bertahan lama seperti kain katun. Namun, karena beberapa kain asing meniru desain buatan Nigeria, konsumen mungkin keliru menganggapnya sebagai buatan produsen lokal.
Bahkan, produk-produk yang diselundupkan sering kali diberi label palsu "Made in Nigeria," dijual dengan harga lebih murah, dan mudah didapatkan oleh masyarakat yang terpedaya oleh harga yang menggiurkan, ungkapnya.
"Karena harganya yang murah, penduduk setempat lebih memilih untuk membelinya tanpa mempedulikan kerusakan pada kulit dan cara warnanya akan luntur dalam dua hingga tiga hari," kata Kwajaffa kepada DW. "Barang palsu itu, mudah didapat, mudah dicuci, dan mereka menyalahkan barang buatan Nigeria karena mereka membeli desain yang sama."
Keberadaan hanya segelintir pabrik yang tersisa menjadi pertanda suramnya masa depan industri tekstil Nigeria. Meskipun pada tahun 1997 pemerintah Nigeria memperkenalkan Kebijakan Pemungutan Dana Pengembangan Tekstil, yang mengenakan pajak 10% terhadap tekstil impor untuk mendukung industri lokal, kenyataannya dana yang dijanjikan tidak pernah singgah ke pabrik-pabrik yang membutuhkan.
Tanpa sokongan finansial, produsen lokal tak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Penurunan sektor tekstil ini juga berdampak pada sektor kapas.Akibatnya, jutaan petani kapas dan para pekerja tekstil, yang sebelumnya menggantungkan harapan pada sektor ini, kini terancam kehilangan mata pencaharian mereka.
Angka-angka industri menunjukkan bahwa Nigeria pernah memiliki lebih dari 150 pabrik tekstil. Saat ini, hanya kurang dari empat pabrik yang masih beroperasi, papar Achimugu. "Musim pertanian kapas 2024-25 adalah yang terburuk yang saya ketahui," kata Achimugu.
Nigeria keluar dari ICAC karena iuran yang belum dibayar
Nigeria sebelumnya adalah anggota Komite Penasihat Kapas Internasional (ICAC), sebuah organisasi yang menyediakan penelitian, data pasar, dan rekomendasi kebijakan untuk mendukung industri kapas global. Namun, Nigeria belum membayar iuran keanggotaannya selama beberapa tahun dan tidak lagi menjadi bagian dari organisasi tersebut.
Kwajaffa yakin bahwa kondisi produksi kapas, tekstil, dan garmen yang menurun telah mempersulit upaya untuk mempertahankan biaya keanggotaan ICAC.
"Kami tidak memperoleh laba yang cukup untuk membayar jumlah yang besar. Pemerintah Nigeria juga dapat menggunakan retribusi pengembangan tekstil untuk menanggung biaya atas nama kami," katanya.
Selain itu, masalah lain yang memperparah keadaan adalah ketidakstabilan pasokan listrik di Nigeria. Banyak produsen yang terpaksa mengandalkan generator diesel, yang tentu saja meningkatkan biaya produksi. Hal ini membuat mereka semakin kesulitan untuk bersaing dengan negara-negara seperti Cina, yang memiliki pasokan listrik yang lebih stabil.
Akankah pinjaman miliaran dolar membantu produsen tekstil?
Meski begitu, masih ada sedikit secercah harapan. Pemerintah Nigeria baru-baru ini menandatangani perjanjian pinjaman sebesar $3,5 miliar dengan Pan-African African Export–Import Bank untuk menghidupkan kembali industri tekstil. Namun, harapan itu disambut dengan keraguan.
Kwajaffa, seorang tokoh yang mewakili produsen tekstil Nigeria, menuturkan bahwa ia telah menunggu dana tersebut "seperti menunggu Godot," mengingat bahwa langkah-langkah serupa biasanya kandas sebelum terlaksana. Kwajaffa mengatakan perwakilan dari sektor kapas, tekstil, dan garmen belum melihat pinjaman tersebut dan tidak mengetahui rencana pemerintah untuk menggunakannya.
Pemerintah "selalu mengemukakan masalah anggaran, dan bahwa anggaran tersebut tidak dibiayai dengan baik. Jadi, kami selalu bingung," pungkasnya.
*Diadaptasi dari artikel berbahasa Jerman