Teknologi Jepang Bantu Sapu Ranjau dan Rekonstruksi Ukraina
15 Mei 2025Dengan sekitar dua juta ranjau darat yang diyakini mencemari sekitar 174.000 kilometer persegi area di Ukraina,Jepang mengerahkan keterampilan diplomatik dan teknologinya untuk mengurangi ancaman di negara yang dilanda perang itu.
Jepang akan menjadi tuan rumah lokakarya internasional yang berfokus pada upaya pembersihan ranjau di Ukraina. Setelah itu, pada bulan Desember di Jenewa, Swiss, Jepang akan memimpin konferensi ke-22 para pihak dalam Konvensi Ottawa perjanjian tahun 1997 yang melarang penggunaan, penimbunan, produksi, dan pemindahan ranjau antipersonel.
Pada saat yang sama, pemerintah Jepang, perusahaan swasta, dan akademisi menggunakan teknologi mutakhir dan pendekatan yang lebih tradisional untuk membersihkan area yang luas dari ranjau dan amunisi yang tidak meledak dalam upaya menyelamatkan nyawa di Ukraina.
Perusahaan Jepang memiliki pengalaman puluhan tahun di sektor ini. Komatsu Ltd, produsen peralatan konstruksi berat yang berkantor pusat di Tokyo, telah bekerja sama dengan LSM di Kamboja sejak 1999 untuk membersihkan ladang, sawah, dan daerah pedesaan dari ranjau.
Perusahaan tersebut sejak itu telah memperluas program serupa ke Laos, Afganistan, dan Angola.
Perangkat peledak di lokasi
Pada tanggal 9 Juli tahun lalu, duta besar Jepang untuk Kyiv, Kuninori Matsuda, menyerahkan empat ekskavator Komatsu berlapis baja ke Ukraina.
Mesin-mesin berat tersebut dilengkapi dengan peralatan untuk meledakkan ranjau antipersonel dengan aman di lokasi.
Kementerian Luar Negeri di Tokyo menindaklanjuti hal ini dengan sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa pembersihan ranjau dan persenjataan yang tidak meledak "tidak hanya penting dalam memastikan keselamatan dan keamanan penduduk, tetapi juga merupakan prasyarat untuk pemulihan dan rekonstruksi" di Ukraina.
Bulan berikutnya, sekelompok peserta pelatihan dari Dinas Darurat Negara Ukraina (SESU) pergi ke Jepang untuk mendapatkan instruksi dalam pengoperasian dan pemeliharaan peralatan, sebelum melanjutkan perjalanan ke Kamboja untuk pelatihan praktik di lapangan.
Sejak dimulainya invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 sampai akhir tahun 2024, Jepang telah memberikan Ukraina bantuan hibah sebesar 91 miliar yen (RP.10 triliun) untuk membantu rekonstruksinya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Jepang berjanji untuk membantu Ukraina
Namun, berdasarkan ketentuan konstitusi pascaperangnya, Jepang harus mematuhi pembatasan ketat atas bantuan militer ke Ukraina.
Tokyo telah memberi Kyiv peralatan medis, helm, dan pelindung tubuh, tetapi tidak menyediakan amunisi atau sistem persenjataan yang telah disediakan oleh negara lain.
Namun, para pemimpin Jepang berturut-turut telah berkomitmen untuk melakukan apa pun yang mereka bisa untuk membantu.
"Jepang akan meningkatkan upayanya di bidang pembersihan ranjau untuk memungkinkan rakyat Ukraina merasa tenang saat mereka membangun kembali kehidupan sehari-hari mereka," demikian kata perdana menteri saat itu, Fumio Kishida, kepada para peserta KTT Perdamaian Ukraina di Swiss tahun lalu.
Dan sementara Komatsu menggunakan teknik yang telah teruji untuk membuat ranjau aman, yang lain menerapkan kemajuan teknologi terbaru untuk mengatasi masalah tersebut.
Drone belajar menemukan ranjau dari udara
Pada bulan Februari, Hideyuki Sawada, seorang profesor di sekolah sains dan teknik tingkat lanjut di Universitas Waseda Tokyo, ambil bagian dalam seminar daring yang diselenggarakan oleh Komite Internasional Palang Merah untuk merinci kemajuan terbarunya.
Tim Sawada sedang mengembangkan sistem yang mengajarkan kecerdasan buatan atau AI untuk mengidentifikasi ranjau menggunakan drone yang dilengkapi dengan kamera inframerah.
Drone tersebut mampu memindai area tanah yang luas jauh lebih cepat daripada manusia yang dilengkapi dengan peralatan deteksi genggam.
Potensi ancaman kemudian dapat ditandai untuk teknisi spesialis agar aman. "Saya memulai penelitian ini pada tahun 2019 dan saya mencoba membuat robot berperilaku dan bereaksi seperti manusia," ujar Sawada, seorang ahli dalam kecerdasan buatan, robotika, dan pembelajaran mesin, kepada DW.
"Kami menggunakan pembelajaran mesin untuk mengajari robot mengidentifikasi ranjau dari ratusan gambar yang kami masukkan," tambahnya.
Tantangannya jauh lebih besar karena ranjau biasanya terkubur di bawah tanah, jadi kamera inframerah diperlukan untuk membantu mendeteksi dan mengidentifikasi target dari tanda panas logam atau plastiknya, tambahnya.
Suhu, tingkat kelembapan, dan susunan tanah semakin memperumit situasi, tetapi secara bertahap dapat diatasi, kata Sawada.
"Saat ini kami memiliki tingkat keberhasilan sekitar 95% untuk ranjau yang terkubur dan kami menambahkan variabel tambahan, seperti suhu dan medan," paparnya. Sawada dan timnya sedang mengumpulkan data tentang variabel-variabel ini di Ukraina.
Pakar Jepang itu sangat ingin turun ke lapangan, meskipun ia mengatakan lebih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang optimal.
"Ada lebih dari 100 jenis ranjau yang telah digunakan di sana sehingga sulit untuk mengumpulkan semua data yang kami butuhkan untuk setiap situasi," ujarnya kepada DW.
Melindungi 'seluruh generasi anak-anak'
"Meskipun sistem ini belum sempurna, saya yakin sangat penting untuk mengujinya di medan nyata dan mengumpulkan lebih banyak data sehingga kita dapat membangun pengetahuan kita tentang teknologi dan lingkungan sehingga kita dapat menjadi lebih efektif," papar Sawada.
Dan sangat penting bahwa perbaikan tersebut dilakukan dengan cepat, tambahnya. "Kita tahu bahwa 40% korban ranjau darat adalah anak-anak yang sedang bermain di ladang dan secara tidak sengaja menginjak ranjau," tandasnya.
"Memecahkan masalah ini berarti bahwa seluruh generasi anak-anak tidak perlu mengalami hal itu," tambahnya.
"Di Ukraina, bahkan setelah perang berakhir, ranjau akan tetap ada dan berarti bahwa banyak daerah tidak aman," kata Sawada.
"Saya ingin melakukan yang terbaik untuk mengubahnya dan ada perusahaan dan organisasi Jepang lainnya yang melakukan hal yang sama," pungkasnya.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Yuniman Farid