Tajuk: Sengketa Antar-Palestina Berakar Lebih Dalam
5 Agustus 2008Apa yang terjadi di Jalur Gaza, sekilas nampak seperti putaran kedua bentrokan antar-saudara Palestina. Yakni, setahun setelah kelompok radikal Hamas memperoleh kekuasaan di sana, bulan Juni 2007. Tetapi karena Hamas kini menjalankan pengawasan total di Gaza, itu tidak dapat dikatakan sebagai adu kekuatan antara Hamas dan Fatah. Kekacauan di Gaza lebih mencerminkan kondisi umum yang melanda Palestina. Sekaligus juga Israel. Jadi kiranya hanya ilusi belaka, bahwa Israel dapat lepas dari permasalahan dengan menarik diri dari Jalur Gaza pada musim gugur 2005.
Pencetus kekerasan terbaru adalah serangan terhadap sebuah kelompok aktifis Hamas beberapa hari lalu. Dalangnya tidak diketahui, tetapi Hamas menyalahkan gerakan Fatah dari Presiden Mahmud Abbas, sehingga para pengikut Abbas di Gaza kemudian jadi sasaran. Jatuh korban tewas dan cedera, terjadi penangkapan dan penyiksaan, sehingga banyak orang mengungsi. Anehnya, mereka justru lari ke Israel, karena mengharapkan lebih banyak keamanan di Israel dibandingkan pada kelompok Hamas sebagai saudara-saudara sebangsa. Tetapi Israel dan Presiden Abbas sendiri bingung. Apa yang harus dilakukan terhadap mereka. Ada beberapa orang yang dipulangkan. Yang lainnya kemudian dibawa ke Jericho di Tepi Barat Yordan setelah diskusi bertele-tele. Mereka yang cedera dibawa ke rumah sakit Israel.
Israel masih dapat memanfaatkan sikapnya untuk propaganda. Yang lebih buruk lagi adalah posisi Presiden Abbas. Kebimbangannya telah menggerogoti otoritasnya sendiri. Bukan hanya di Gaza melainkan juga di Tepi Barat Yordan. Sikap seorang pemimpin politik pastilah tidak seperti itu. Di Timur Tengah ada pemahaman sendiri tentang nepotisme. Bila seorang politisi tidak dapat melayani kebutuhan keluarganya, maka dia tidak dapat melayani kebutuhan rakyat. 'Fatah' adalah keluarga dari Abbas, dan Abbas telah menelantarkan mereka, padahal mereka tetap setia walaupun menghadapi banyak kesulitan di Gaza. Itu merupakan pertanda buruk bagi warga di Tepi Barat Yordan. Mereka bukanlah pendukung Hamas, tetapi mereka sudah muak dengan gaya politik 'Fatah' yang sudah usang. Perasaan itulah yang mengakibatkan kelompok radikal memenangkan pemilu bulan Januari 2006 secara legal.
Kejadian di Gaza akan memperkuat kembali perasaan itu dan melemahkan posisi Fatah di Tepi Barat Yordan. Walaupun terdapat upaya keras dari Mesir, Qatar dan negara-negara Arab lainnya, sulit dibayangkan, bahwa kesenjangan antara Hamas dan Fatah akan dapat dijembatani dalam waktu dekat.
Tentunya itu bukan kesalahan Abbas sendiri. Dia berusaha keras untuk mendemonstrasikan kepada warga Palestina, bahwa strategi berunding lebih punya masa depan daripada sikap keras Hamas. Hanya saja, Abbas tidak dapat membuktikan keuntungan dari strateginya. Israel tidak bersedia bergeming dan masyarakat internasional tidak berbuat apa-apa kecuali pernyataan-pernyataan dan janji memberikan sumbangan. Frustrasi di wilayah Tepi Barat Yordan yang didominasi pendukung Fatah kini terus meningkat. Dan seperti dimana pun juga, frustrasi merupakan lahan subur bagi kelompok radikal. (dgl)