Sutradara Iran Jafar Panahi Sabet Palme d'Or Cannes 2025
26 Mei 2025Jafar Panahi tidak pernah bermimpi untuk menjadi pembuat film yang bertemakan politik. "Definisi saya, pembuat film politik berusaha membela ideologi yang diikuti orang baik dan orang jahat menentangnya,” ujar sutradara asal Iran tersebut. "Dalam film saya, mereka yang berperilaku buruk terbentuk sistem, bukan karena keinginan pribadi,” jelasnya kepada DW.
Panahi, pemenang penghargaan tertinggi Festival Film Cannes, Palme d'Or 2025, selama lebih dari satu dekade tak punya banyak pilihan. Karena turut mendukung kelompok oposisi Iran, "Green Movement protest", sutradara film "The White Balloon” dan "The Circle” ini dijatuhi larangan membuat film selama 20 tahun dan sejak 2010 tidak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan luar negeri. Tapi kedua larangan tersebut tidak menghentikan Panahi.
Ia berhasil menemukan cara baru untuk merekam film, mengeditnya, diam-diam menyeludupkan filmnya. Ia mengubah ruang tamunya menjadi lokasi syuting film ("This Is Not a Film”), menggunakan mobil sebagai studio keliling ("Taxi”, film yang berhasil memenangkan penghargaan Golden Bear 2015 di festival film Berlinale)
Minggu ini, Panahi kembali menjadi sorotan - bukan lewat rekaman yang 'diseludupkan' atau panggilan video, tetapi karena sosoknya yang hadir secara langsung di Cannes. Setelah lebih dari 20 tahun, sutradara 64 tahun tersebut kembali ke Festival Film Cannes untuk pertama kalinya mempersembahkan karya film terbarunya, "It Was Just an Accident,” di ajang kompetisi dan mendapat ‘standing ovation' penonton selama delapan menit.
Dari bui menuju istana
Jalan Panahi menuju Cannes tidaklah mulus. Sutradara Iran ini kembali ditangkap di bulan Juli 2022, dihukum di penjara Evin, yang terkenal kejam. Setelah tujuh bulan ditahan dan melakukan aksi mogok makan, ia dibebaskan pada ahir 2023. Sebuah kemenangan hukum yang mengejutkan, Mahkamah Agung Iran membatalkan putusan pengadilan di tahun 2010.
Panahi bebas secara hukum, tetapi secara artistik masih terikat oleh sistem yang tidak ingin ia patuhi. "Untuk membuat film dengan cara resmi di Iran, Anda harus menyerahkan naskah Anda ke Kementerian Bimbingan Islam untuk disetujui," katanya kepada DW. "Ini adalah sesuatu yang tidak dapat saya lakukan. Saya membuat film rahasia lagi. Dan lagi."
Film "It Was Just An Accident,” mungkin menjadi film konfrontasi langsung Panahi dengan tindak kekerasan dan penindasan yang dilakukan negara. Direkam secara rahasia, menampilkan pemeran perempuan tanpa hijab - yang bertentangan dengan hukum di Iran, film ini bercerita tentang sekelompok mantan narapidana yang yakin telah menemukan orang yang menyiksa mereka - dan harus memutuskan apakah mereka akan membalas dendam atau tidak. Drama menegangkan ini berjalan seperti film thriller psikologis.
Secara gaya, "It Was Just An Accident" berbeda secara signifikan dengan karya-karya Panahi yang lebih terkendali dan sebagian besar bersifat refleksi diri selama masa larangan resminya. Namun alur ceritanya tetap sangat bersifat autobiografi.
Sebuah film menegangkan yang menyentuh hati
Film ini diawali dengan sebuah tragedi yang terkesan biasa saja. Seorang pria secara tidak sengaja menabrak mati seekor anjing. Vahid (Valid Mobasseri), seorang mekanik yang diminta untuk memperbaiki mobil yang rusak,mengira mengenali pemilik mobil sebagai Eghbal, alias Peg-Leg, yang menyiksanya di tahanan. Ia menculik Eghbal dan berencana untuk menguburnya hidup-hidup di padang pasir. Tapi dia tidak yakin menangkap orang yang tepat, karena selama masa tahanan matanya ditutup. "Mereka menutup mata kami saat interogasi dan juga saat meninggalkan sel," kenang Panahi tentang masa tahanannya. "Hanya di toilet kami bisa membuka penutup mata."
Untuk memastikan, sang mekanik menghubungi sesama mantan tahanan untuk mengonfirmasi. Tak lama kemudian, mobil van Vahid dipenuhi oleh para korban yang ingin balas dendam kepada pria yang telah menyiksa mereka karena menyuarakan perlawanan kepada pihak berwenang. Ada seorang pengantin perempuan (Hadis Pakbaten) yang meninggalkan pernikahannya, bersama dengan fotografer pernikahannya dan mantan narapidana bernama Shivaa (Maryam Afshari), yang ingin mengejar pria yang memperkosa dan menyiksanya. Ada juga Hamid (Mohamad Ali Elyasmehr), seorang pria yang sangat trauma dan marah dengan pengalamannya sehingga tidak peduli lagi apakah orang yang mereka tangkap adalah orang yang tepat atau tidak, ia hanya ingin balas dendam. "Bahkan dalam keadaan mati pun, mereka tetaplah ancaman bagi kemanusiaan," ujarnya menilai semua petugas intelijen yang bertugas di bawah rezim tersebut.
Ketika kelompok ini memperdebatkan cara balas dendam menggunakan kekerasan atau tidak, di saat bersamaan mereka mendeskripsikan tindakan pemukulan dan penyiksaan brutal yang telah mereka alami. Panahi menyisipkan momen-momen humor yang terkesan nakal dan kurang masuk akal. Para penyandera akhirnya bertemu dengan keluarga Eghbal, termasuk istrinya yang sedang hamil tua, lalu bergegas membawa sang istri ke rumah sakit untuk melahirkan. Setelah itu, seperti tradisi di Iran, Vahid pergi ke toko kue untuk membelikan semua orang kue.
"Semua karakter yang Anda lihat dalam film ini terinspirasi oleh percakapan yang terjadi penjara, oleh kisah-kisah yang diceritakan orang-orang kepada saya tentang kekerasan dan kebrutalan pemerintah Iran, kekerasan yang telah berlangsung selama lebih dari empat dekade,” kata Panahi. "Di satu sisi, bukan saya yang membuat film ini. Republik Islamlah yang membuat film ini, karena mereka memenjarakan saya. Mungkin jika mereka ingin menghentikan kami untuk memberontak, mereka harus berhenti memenjarakan kami.”
Membuat film adalah satu-satunya pilihan Panahi
Meskipun kariernya di dunia perfilman diwarnai penolakan, Panahi bersikeras akan melakukan satu-satunya hal yang ia ketahui dengan baik. "Setelah 20 tahun dilarang membuat film, teman-teman terdekat saya bahkan tidak mengira saya akan membuat film lagi," ujarnya pada konferensi pers Cannes untuk "It Was Just An Accident."
"Namun orang-orang yang mengenal saya tahu bahwa saya tidak bisa mengganti bola lampu. Saya tidak tahu bagaimana melakukan hal lain selain membuat film."
Dedikasi tunggal itulah yang membuatnya terus maju, bahkan di titik terendahnya.
"Saya ingat sebelum saya dijatuhi hukuman yang sangat berat selama 20 tahun, dilarang membuat film dan bepergian, dan saya berpikir: 'Apa yang akan saya lakukan sekarang? Untuk beberapa saat, saya merasa sangat sedih," kenangnya. "Kemudian saya pergi ke dekat jendela, melihat ke atas, melihat awan-awan yang indah di langit. Saya segera mengambil kamera saya. Saya berpikir: 'Ini bukanlah sesuatu yang bisa mereka ambil dari saya, saya masih bisa memotret awan. Foto-foto itu kemudian dipamerkan di Centre Pompidou di Paris... Tidak mungkin mereka bisa menghentikan saya untuk membuat film. Jika sinema benar-benar sesuatu yang sakral, memberi makna pada hidup, maka tidak ada rezim, tidak ada sensor, tidak ada sistem otoriter yang dapat menghentikan Anda."
Tidak memilih jadi eksil, tidak ingin melarikan diri
Meskipun banyak pembuat film Iran yang melarikan diri ke tempat yang lebih aman - termasuk teman dekat Panahi, Mohammad Rasoulof, sutradara film "The Seed of the Sacred Fig" yang dinominasikan penghargaan Oscar,yang tinggal di Berlin - Panahi mengatakan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk bergabung dengan Rasoulof. "Saya sama sekali tidak mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat baru," katanya. "Pernah saya harus tinggal di Paris selama tiga setengah bulan untuk pascaproduksi, dan saya pikir saya saya akan mati.”
Di Iran, jelas Panahi, pembuatan film adalah tindakan komunal yang melibatkan improvisasi dan saling perccaya. "Pada pukul 2 pagi, saya bisa menelepon seorang rekan dan berkata: ‘Pengambilan gambar itu seharusnya lebih panjang'. Dan dia akan bersama dengan saya bekerja sepanjang malam. Di Eropa, tidak bisa bekerja seperti itu. Saya tidak cocok."
Jadi, setelah kemenangan di Cannes, Panahi akan kembali pulang "Segera setelah saya menyelesaikan pekerjaan saya di sini, saya akan kembali ke Iran keesokan harinya. Dan saya akan bertanya pada diri sendiri: 'Apa film saya selanjutnya?”
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid