Suara Rohingya di Jerman: Indonesia, Mohon Bantu Kami
11 Juli 2025Data dari badan PBB urusan pengungsi UNHCR mengungkapkan Indonesia menjadi rumah bagi lebih dari 12.700 pengungsi dan pencari suaka. Lebih dari seribuan orang di antaranya pengungsi Rohingya.
Pada tahun 2024, kedatangan perahu yang membawa pengungsi Rohingya ke Indonesia menurun, namun gelombang informasi palsu dan ujaran kebencian melanda dunia maya, membakar ketegangan dan menghambat upaya kemanusiaan. Ditambah lagi dana bantuan pengungsi internasional baru-baru ini mengalami pemangkasan.
Deutsche Welle (DW) berkesempatan berbincang dengan seorang aktivis Rohingya di Jerman, Zainul Mustafa (Rohingya Gemeinde Deutschland). Ia memohon kepada masyarakat Indonesia agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita negatif yang beredar, yang justru menumbuhkan kebencian dan mengikis empati dari sesama manusia yang menghadapi penderitaan.
Deutsche Welle (DW): Ceritakan sedikit tentang dirimu…
Zainul Mustafa: Aku bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi di Berlin, namun bukan hanya itu. Bersama komunitas Rohingya di Jerman, kami menggelar banyak acara, berjuang bersama untuk menebarkan kesadaran tentang nasib Rohingya yang penuh luka.
Bagaimana situasi mereka?
Lebih dari sejuta Rohingya kini terkurung dalam kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, yang terbesar di dunia. Sudah delapan tahun mereka bertahan dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Tempat berteduh yang sempit, makanan yang tak cukup, dan bantuan yang kian terputus. Anak-anak pun terampas dari hak mereka untuk mendapat pendidikan.
Bagaimana mereka bertaruh nyawa di perjalanan?
Mereka mengalami penderitaan yang tiada henti. Banyak yang berani menempuh perjalanan berbahaya melewati lautan, menuju Malaysia dan Indonesia dengan perahu rapuh. Banyak nyawa melayang di tengah gelombang, banyak cerita pilu yang tak terungkap.
Perjalanan ini penuh risiko—termasuk penyelundupan manusia, kekerasan seksual terhadap perempuan, dan perlakuan buruk dari para penyelundup manusia. Banyak pencari suaka yang meninggal di laut.
Bagai pedang bermata dua, tidak meninggalkan kampung halaman berisiko, demikian pula ke tempat baru. Jadi bagaimana ketika mereka mempertimbangkan kedua opsi itu?
Rohingya telah lama terpinggirkan. Sejak lama mereka hidup dalam bayang-bayang kekerasan dan diskriminasi di Myanmar, tanpa hak untuk bergerak bebas, tanpa hak untuk mencari penghidupan yang layak. Itulah sebabnya mereka berani melangkah jauh, menyeberangi bahaya demi sepotong harapan. Perjalanan ini tak hanya menyisakan luka fisik. Di sepanjang rute, ancaman perdagangan manusia dan kekerasan seksual mengintai. Laut yang mereka lalui menjadi saksi bisu penderitaan yang tak terucapkan.
Sebelum bicara lebih jauh tantangan di pengungsian, bisa sedikit bisa cerita sejarah komunitas Rohingya?
Rohingya adalah komunitas penganut muslim yang telah hidup selama berabad-abad di Rakhine. Meski sebagian leluhur keturunan Bengal, kami bukan pendatang baru. Sejak era kolonial Inggris, migrasi memang terjadi, namun Rohingya telah menjadi bagian dari masyarakat Rakhine jauh sebelum itu. Setelah kemerdekaan Myanmar, sempat diakui sebagai warga negara, tapi sejak 1982 identitas dan hak kewarganegaraan kami dicabut, hidup tanpa status dan menjadi korban diskriminasi sistematis.
Tetapi pada tahun 2012, ada kekerasan di Rakhine dan banyak Rohingya terbunuh dan banyak orang harus pergi. Dan juga rumah-rumah kami dibakar, juga rumah keluarga kami. Kemudian sejak itu selalu ada gelombang kekerasan seperti pada tahun 2016 dan 2017, Anda tahu, seperti lebih dari 400 desa Rohingya yang rusak dan banyak orang terbunuh. Itu sebabnya terpaksa mengungsi ke negeri asing.
Meski di negeri asing, tantangan baru muncul? Misalnya di Indonesia.
Tidak mudah juga. Banyak orang tidak bisa bekerja, tidak memiliki status legal, dan hidup dalam ketakutan karena bisa ditangkap sewaktu-waktu. Di media sosial, muncul banyak ujaran kebencian dan misinformasi yang menyudutkan para pengungsi.
Itu juga yang terjadi. Kebencian bersemi di dunia maya, suara-suara yang salah paham menyulut api prasangka. Mereka dituding jorok, mengambil alih wilayah, padahal mereka hanyalah jiwa-jiwa yang melarikan diri dari kekerasan, mencari sebersit damai dan kesempatan. Termasuk di Indonesia dan Malaysia. Meski tak lama menetap, mereka berjuang mencari nafkah untuk menyambung hidup. Namun, tak jarang mereka menghadapi penangkapan, ketidakpastian, dan ketakutan yang menghantui.
Namun mereka tetap memilih jalan ini?
Karena tiada tempat lain yang membuka pintu. Karena dari derita yang mereka hadapi di tanah asal, satu harapan saja dipandang sebagi pintu harapan untuk bertahan hidup dan memberi kehidupan pada keluarga mereka. Di Myanmar sendiri, sebelum tahun 2012, hidup mereka sudah penuh batasan: Tak punya kewarganegaraan, tak bebas berpindah, tanpa pekerjaan yang layak. Lalu gelombang kekerasan datang menerpa, rumah-rumah terbakar, nyawa melayang, ribuan terpaksa pergi mengungsi ke Bangladesh dan negara-negara lainnya, seperti Malaysia.
Jika tetap bertahan di negara asal, bayangkan, hidup dalam kebencian itu di Myanmar, yang terbit dari rasa prasangka dan diskriminasi. Sebagai minoritas, kami dilabeli imigran ilegal, bahkan nama pun tak diakui. Pemerintah pun memberlakukan kebijakan yang mempertegas penindasan itu.
Rata-rata tujuan akhir mereka yang transit di Indonesia itu ke Malaysia?
Ya, jadi jangan ada prasangka, jika mereka transit di Indonesia, mereka tidak tinggal di sana selamanya. Meski di Malaysia, seperti juga di Indonesia, diskriminasi terhadap Rohingya begitu nyata. Di Malaysia, misalnya, saya memiliki banyak kerabat yang tinggal di sana, namun mereka tak bisa bekerja dengan bebas. Ketakutan menghantui setiap langkah mereka—tak berani keluar rumah karena takut akan ancaman penangkapan yang selalu membayangi.
Bisa mendapat pekerjaan di Malaysia?
Itu perjuangan yang berat. Bahkan dengan perlindungan dari PBB, tak banyak yang berubah. Mereka hidup tanpa akses kesehatan yang memadai, dan bagi yang beruntung mendapat pekerjaan, sering kali harus menerima perlakuan tidak adil: Upah tak dibayar, jam kerja yang melelahkan tanpa henti.
Meski jadi pilihan, menjadi pengungsi di negeri orang bukanlah hal mudah, ya…
Sering kali, mereka dianggap sebagai beban, dipandang sebelah mata, bahkan dianggap ancaman. Namun di balik itu, masih ada mereka yang menunjukkan kebaikan dan belas kasih kepada kami.
Ada keluarga di Indonesia?
Saya sendiri punya keluarga di Indonesia—sepupu, paman—beberapa di antaranya tiba baru-baru ini melalui perjalanan laut yang berbahaya, sementara yang lain sudah lama menetap di sana.
Jika ingin bersuara, apa yang ingn kamu sampaikan ke masyarakat Indonesia?
Kami memilih perjalanan ini karena kami tidak punya pilihan. Dan pemerintah bisa membunuh orang Rohingya begitu saja. Mereka sangat putus asa dan jadi mereka harus benar-benar berada di negara baru, dan mohon tunjukkan rasa kemanusiaan dan solidaritas bersama dengan orang-orang ini. Karena banyak dari perempuan ini, juga jadi korban perdagangan manusia.
Kepada para jurnalis,kalian hanya layak disebut jurnalis jika jujur, menjaga moral dan integritas. Tanpa kejujuran, tanpa hati nurani, dan tanpa keberpihakan pada kemanusiaan, maka itu berarti pengkhiatanan terhadap profesi, orang lain, masyarakat dan diri sendiri.
Alih-alih menyebar informasi yang salah tentang Rohingya, orang-orang harus benar-benar menunjukkan solidaritas dan membantu sebanyak yang mereka bisa. Kami berterima kasih pada banyak orang baik yang juga telah membantu.
Kami bukanlah orang jahat, bukan orang yang mau menyerang negaramu. Kami hanya orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dan di tanah air kami. Itulah mengapa kami menempuh perjalanan penuh risiko ini. Kami tak mau jadi beban. Janganlah menyakiti atau melukai orang lain. Pembiaran dan hoaks bisa mengancam mental dan jiwa. Oleh karena itu, saya hanya bisa memohon: Tunjukkanlah empati, rasa kemanusiaan. Selamatkan dan bantu komumitas Rohingya sebaik mungkin. Itulah pesan saya.
*Editor: Rizki Nugraha