Stop Perburuhan Anak
15 Juni 2007Di Brazil
Di sebuah perempatan jalan di Jardin, di Sao Paulo, Brazil. Di bawah lampu merah, Davi, seorang remaja 13 tahun beratraksi lewat ketangkasan akrobat dengan menggunakan bola tenis. Sudah setahun ia melakukannya, enam hingga delapan jam sehari. Davi bercerita : „Tempat ini ok punya untuk cari uang. Di sekitar tempat tinggal saya, biasanya saya dapat hanya 15 hingga 20 real. Di sini saya bisa dapat hingga 50 real perhari. Di sini tinggal orang-orang kaya. Orang-orang di sini baik-baik. Tetapi tidak terlalu mempedulikan saya. Sebagian bahkan tidak mau menurunkan kaca mobilnya, dan tidak mau bercakap dengan saya.”
Anak-anak pekerja seperti Davi, sangat mudah ditemukan di kota itu. Ada yang membersihkan sepatu dan kaca mobil, berjualan permen, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. .Anak-anak itu mencari uang, agar tidak kelaparan. Seorang pekerja sosial Antonio Carlos mengungkapkan: “Bagi banyak keluarga, yang hidup di jalan, mempekerjakan anak merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Bagi anak-anak yang setiap hari bekerja di lampu merah, juga ada kebutuhan. Mereka bekerja seharian, agar dapat membeli makan malam. Seringkali begitu dramatis.”
Kota Sao Paulo sebenarnya memiliki program bagi keluarga miskin. Keluarga miskin dapat memperoleh santunan sebesar 40 euro setiap bulannya. Namun ada syaratnya. Misalnya harus mengikuti penyuluhan dan mengirimkan anak-anak ke sekolah. Pemimpin program Adriana Palheta Cardoso: “Jika keluarga miskin itu tidak dapat memenuhi persyaratan. Misalnya tidak mampu menjamin dapat mengirim anak-anak ke sekolah, atau ambil bagian dalam program itu, maka santunan akan dikurangi atau dicabut. Kepala keluarganya juga terancam hukuman. Dampak lebih jauhnya lagi, oleh hakim pengadilan anak., hak-hak mengurus anak bisa dicabut.”
Di Brasil terdapat sekitar 3 hingga 5 juta pekerja anak. Masa depan mereka suram walaupun mereka bersekolah. Sebuah LSM Fundacao Abring yang mengkampanyekan anti perburuhan anak mengadakan perjanjian dengan 1000 perusahaan supaya tidak mempekerjakan anak di Brasil. Perjanjian itu cukup berhasil. Perusahaan yang terlibat perjanjian itu menyumbang sampai 40 persen pendapatan kotor negara. Sebenarnya dana itu bisa dimanfaatkan pemerintah untuk membantu biaya pendidikan anak-anak telantar.
Di China
Bagi sebagian orang, digelarnya Olimpiade di China, bisa jadi rezeki nomplok. Namun dibalik rezeki nomplok itu, ribuan anak di China membanting tulang bekerja keras, menyiapkan berbagai keperluan pesta olahraga akbar tersebut. Di tengah kerja keras mereka, hak-hak asasi mereka teraniaya. Tim Noonan, wakil dari Serikat Buruh Internasional menuturkan pelanggaran HAM yang dimaksud anatara lain adalah jam kerja yang melampaui batas. Anak-anak berusia sekitar 12 tahun itu dipaksa bekerja hingga 15 jam sehari. Mereka takut bersuara, karena diancam akan dipecat. Bila sudah begitu kemana lagi mereka dapat mencari uang.:“Tim penyelidik berhasil menemukan sebuah kasus di sebuah pabrik produksi. Dalam tiga kasus lain, kami telah mewawancara tiga pekerja di luar lokasi pabrik. Kami tidak membuka identitas para saksi supaya mereka tidak mendapatkan kesulitan.”
Sejauh ini Serikat Buruh International berupaya untuk dapat memperjuangkan anak-anak itu. Dengan melaporkan kasus-kasus tersebut ke Komite Olimpiade Internasional. Kembali Noonan: “„Kami harap Komite Olimpiade Beijing tergabung dalam komite gerakan olimpiade internasional. Komite Olimpiade Internasional IOC harus mendapatkan bukti bahwa tidak ada lagi hak pekerja China yang dilanggar. Kami meminta waktu dengan IOC untuk bertemu. Sampai saat ini belum ada jawaban. Komite Nasional Olimpiade dan komite organisasi harus bertanggung jawab untuk menghentikan pelanggaran hak dan menghentikan aksi mempekerjakan anak.“
Di Indonesia
Anak-anak mengemis, mengamen dan berjualan minuman atau koran, merupakan pemandangan sehari-hari di kota-kota di Indonesia. Karena sudah menjadi pemandangan umum, maka sebagian orang memandang hal itu bukan sebagai eksploitasi terhadap hak-hak seorang anak. Herannya sebenarnya Indonesia punya undang-undang atau aturannya. Namun eksploitasi anak masih terjadi.. Dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 88 tegas disebutkan: setiap orang yang mengeksploitasi anak unruk alasan ekonomi atau seksual dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta. Hukumannya termasuk berat. Tetapi, karena tidak ditegakkan, maka banyak orangtua mengabaikannya. Kemiskinan atau faktor ekonomi jadi alasan utama orangtua mempekerjakan anak. Faktor ini pula yang jadi sebab utama anak-anak itu meninggalkan sekolah. Tidak hanya itu. Anak-anak Indonesiapun diekspor ke luar negeri. Mereka dipekerjakan dengan dibekali dokumen berketerangan palsu. Umur mereka dinaikan agar dianggap sudah dewasa. Rovy Ahmad, seorang pekerja migran di Arab Saudi menceritakan banyak anak-anak Indonesia yang ditelantarkan oleh majikannya ketika sampai si Arab saudi sang majikan melihat bahwa pembantu rumah tangga yang dipesannya masih bocah, dan tidak kuat mengerjakan banyak hal. “Mereka ditelantarkan di jalan-jalan. Kasihan sekali.”
Bila di Brasil jumlah pekerja anak diperkirakan 3 hingga 5 juta, di Indonesia menurut catatan Komisi Perlindungan Anak angkanya mencapai sekitar 4 juta anak. Namun angak tersebut baru merupakan perkiraan. Karena angka sesungguhnya diduga jauh lebih besar dari itu. Apakah dalam sepuluh tahun ke depan pekerja anak dapat dihapuskan? Dalam jajak pendapat Radio DW tentang pekerja anak, 80% responden menyatakan tidak mungkin perburuhan anak dapat dihapuskan dalam 10 tahun ke depan. Kecuali dengan catatan adanya kemauan politik yang besar dari pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Inilah yang ditunggu. Biarkan anak-anak bermain, belajar dan menggapai cita.