SIPRI: Tren Perlombaan Senjata Cuatkan Risiko Perang Nuklir
16 Juni 2025Pada tahun 2024, sebanyak sembilan negara adidaya nuklir dilaporkan melanjutkan program modernisasi intensif, dengan memperbarui senjata yang ada dan menambah versi terbaru. Temuan ini ikut dirilis di dalam Yearbook 2025 terbitan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), yang berisi laporan tahunan tentang senjata, proliferasi, perlucutan senjata dan keamanan internasional.
Jumlah hulu ledak, bom, dan proyektil nuklir global, yang pernah mencapai sekitar 64.000 pada pertengahan 1980an, kini diperkirakan hanya tersisa 12.241. Namun, tren penurunan kini mulai berbalik arah. "Hal yang paling mengkhawatirkan saat ini adalah kenyataan bahwa tren penurunan jumlah hulu ledak nuklir jangka panjang tampaknya mulai berhenti,” ujar Direktur SIPRI, Dan Smith, kepada DW.
Berakhirnya rejim Nonproliferasi?
Sejak Uni Soviet runtuh pada 1991 dan berakhirnya Perang Dingin, perlucutan hulu ledak nuklir berlangsung jauh lebih cepat daripada penyebaran senjata baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, proses modernisasi justru mengalami percepatan.
Smith dari SIPRI mencatat bahwa sejak akhir masa jabatan Presiden AS Barack Obama, negara-negara bersenjata nuklir mulai berinvestasi besar-besaran dalam generasi baru misil dan wahana peluncur.
"Bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya, horizon keamanan global telah mulai menggelap. Negara-negara bersenjata nuklir sudah mulai melakukan perubahan besar dalam modernisasi senjatanya. Ini bukan sekadar penyempurnaan teknis, tapi benar-benar perubahan besar,” tegas Smith.
Menurut SIPRI, dari sekitar 12.241 hulu ledak nuklir yang diperkirakan tersebar di dunia per Januari 2025, sekitar 9.614 disimpan di gudang senjata, ditempatkan pada misil, disiagakan di pangkalan militer, atau disimpan di fasilitas terpusat yang setiap waktu bisa dikerahkan.
Sebanyak 3.912 hulu ledak nuklir di antaranya telah dikerahkan pada misil dan pesawat, dengan sekitar 2.100 di antaranya berada dalam status kesiagaan tinggi, terpasang pada misil balistik. Kendati sebagian besar dimiliki oleh Rusia dan AS, namun laporan SIPRI mengindikasikan bahwa Cina kemungkinan juga telah mulai menempatkan beberapa hulu ledaknya pada sistem misil.
Cina tumbuh paling cepat
Dari kesembilan negara bersenjata nuklir - AS, Rusia, Inggris, Prancis, China, India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel - Rusia dan AS menguasai 90% dari seluruh persenjataan nuklir dunia.
Kini, SIPRI memperingatkan bahwa semakin banyak negara mulai mempertimbangkan untuk mengembangkan atau menyiagakan senjata nuklir di wilayahnya.
Penempatan ini mencakup kerja sama internasional, seperti ketika Rusia mengklaim telah menempatkan senjata nuklir di wilayah Belarus, sementara sejumlah anggota NATO di Eropa menyatakan kesiapan untuk menampung senjata nuklir AS.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Deteriorasi keamanan Internasional Sejak 2007
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pidato di Konferensi Keamanan Munich 2007 sempat mengecam tatanan dunia yang didominasi AS, ekspansi NATO ke timur, dan agenda perlucutan senjata nuklir. Namun, dua tahun kemudian, Presiden Barack Obama di Praha menyatakan ambisi menuju dunia tanpa senjata nuklir. "Keberadaan ribuan senjata nuklir adalah warisan paling berbahaya dari Perang Dingin,” katanya.
Obama lalu berkomitmen mengambil langkah konkret untuk perlucutan senjata, termasuk merundingkan Strategic Arms Reduction Treaty (New START) dengan Rusia. Perjanjian itu ditandatangani dan mulai berlaku pada 2011.
Namun, invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 mengubah dinamika tersebut. Pemerintahan Biden dalam Nuclear Posture Review 2022 menetapkan modernisasi arsenal nuklir AS sebagai prioritas utama. Tak lama kemudian, pada Februari 2023, Putin menandatangani undang-undang yang menghentikan partisipasi Rusia dalam perjanjian New START.
"Gelombang ketidakamanan telah membangun secara perlahan sejak 2007–2008, lalu melalui 2014, hingga mencapai puncaknya saat ‘ombak' benar-benar menghantam pada Februari 2022,” kata Smith. "Saya rasa, itulah momen ketika banyak warga biasa menyadari kerusakan yang sebenarnya telah berkembang lebih dari satu dekade.”
Ancaman baru: AI dan teknologi antariksa
Kesimpulannya adalah bahwa stok nuklir dunia kini sedang diperluas dan ditingkatkan. SIPRI memperkirakan bahwa Cina kini memiliki setidaknya 600 hulu ledak nuklir, tumbuh paling cepat dibanding negara lain. India juga diperkirakan sedikit meningkatkan arsenalnya pada 2024, sementara Pakistan terus mengembangkan sistem rudal baru dan menimbun cadangan bahan fisil, komponen utama pembuatan senjata nuklir.
Israel sebaliknya masih mempertahankan kebijakan ambiguitas atas kemampuan nuklirnya. Namun, diyakini negera itu juga tengah memodernisasi arsenalnya, termasuk memperbarui fasilitas reaktor produksi plutonium di Gurun Negev.
Dalam pengantar Yearbook edisi tahun ini, Smith menyoroti potensi perlombaan senjata nuklir baru yang "lebih berisiko dan tak terduga” dibanding era Perang Dingin. Faktor utamanya adalah kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), siber, dan teknologi luar angkasa.
"Perlombaan senjata nuklir yang akan datang akan lebih banyak berkutat pada AI, dunia maya, dan antariksa - tak hanya pada misil di bunker atau kapal selam, atau bom di pesawat. Ini soal perangkat lunak, bukan cuma perangkat keras,” ujarnya.
Kompleksitas ini menyulitkan pengawasan dan pengendalian senjata nuklir, yang sebelumnya lebih berbasis pada jumlah.
Meski AI memungkinkan pemrosesan informasi dalam jumlah besar dengan sangat cepat, risiko kesalahan teknis atau bug dalam sistem berbasis machine learning bisa berdampak bencana jika digunakan dalam teknologi nuklir.
"Saya kira harus ada garis merah yang disepakati semua pemimpin politik dan militer. bahwa keputusan peluncuran nuklir tidak boleh dibuat oleh AI,” ujar Smith, merujuk pada kisah Letkol Stanislav Petrov dari Soviet.
Pada 1983, Petrov tengah bertugas di pusat peringatan dini nuklir ketika sistem melaporkan peluncuran lima rudal balistik antarbenua dari AS. Untungnya dia menaruh curiga pada keakuratan sistem dan memilih tidak melapor ke atasannya. Keputusannya itu diingat karena kemungkinan telah mencegah adanya serangan nuklir balasan dan, dalam skenario terburuk, perang nuklir total
"Pertanyaannya sekarang,” tutup Smith, "dalam dunia yang dipengaruhi AI, siapa yang akan memainkan peran Letnan Kolonel Petrov?”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk