Singapura, Jiran Paling Diincar Pekerja Formal Indonesia
20 Maret 2025"Sudah dua puluh lamaran saya layangkan ke Singapura. Jika berhasil bekerja di sana, saya akan mengajukan pindah kewarganegaraan, karena di Jakarta ini hidup terasa berat, pengeluaran semakin membengkak, politik tak menentu, dan saham-saham terus merosot. Ngeri hidup lama-lama di sini," ujar Bayu Abimanyu, seorang karyawan teknologi informasi di perusahaan Jepang, yang berusia 29 tahun. Gajinya, meski mencapai dua puluh juta per bulan, seolah tidak mampu menenangkan hatinya yang gelisah.
"Selain kesejahteraan yang lebih baik, paspor Singapura itu salah satu yang terkuat di dunia. Itu berarti, dunia yang lebih terbuka, dan kesempatan untuk mengunjungi negara-negara lain menjadi lebih mudah," lanjutnya, membayangkan betapa cemerlangnya masa depan yang mungkin terlukis di benaknya jika berhasil mengais nafkah di negeri jiran itu.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Mimpi Bayu ini mengalir seiring temuan survei terbaru dari Populix, yang menyatakan bahwa 82% dari 1.000 responden menganggap Singapura sebagai tempat yang paling diidam-idamkan untuk bekerja di luar negeri. Negeri Singa ini bagai magnet yang menarik perhatian para pekerja formal Indonesia.
Co-Founder dan CEO Populix Timothy Astandu menjelaskan, meski banyak pekerja Indonesia yang bermimpi bekerja di luar negeri, negara-negara Asia tetap menjadi tujuannya. Survei menunjukkan 67% responden lebih memilih Asia, diikuti Eropa (52%), Australia dan Oceania (32%), serta Timur Tengah (16%). Asia dipandang sebagai benua yang menjanjikan, dengan gaji lebih tinggi (79%), peluang pengembangan karier yang tak terbatas (58%), serta stabilitas yang lebih terjaga (55%).
Namun, saat dibatasi pada Asia Tenggara, nyaris delapan dari sepuluh orang Indonesia memandang Singapura sebagai pilihan utama. Malaysia berada di posisi kedua dengan 32%, disusul Brunei Darussalam (26%), dan Thailand (16%).
"Singapura di mata banyak orang Indonesia adalah negeri dengan ekonomi yang paling kokoh di Asia, menawarkan gaji tertinggi dan kesejahteraan yang sulit dicari di negara tetangga. Tidak heran, para pekerja Indonesia menjadikannya sebagai tempat utama untuk berlabuh. Bahkan, Singapura meraih angka dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya," tegas Astandu.
Survei yang dilakukan melalui platform Poplite ini juga mengungkapkan bahwa bagi sebagian besar responden, kesempatan bekerja di luar negeri bukan hanya soal ekonomi, melainkan tentang menggapai kehidupan yang lebih baik—baik dari segi karier maupun kualitas hidup.
Namun, mereka juga menyadari bahwa hidup sebagai pekerja migran tidaklah mudah. Banyak yang khawatir dengan perbedaan budaya, sistem kerja, serta biaya hidup yang lebih tinggi.
Kendati demikian, sektor formal tetap menjadi primadona, dengan banyaknya ketertarikan terhadap bidang administrasi, operasional, penjualan, pemasaran, layanan pelanggan, dan tentu saja, teknologi informasi.
Perspektif Profesional TI
Beberapa tahun terakhir, dunia teknologi seakan ”tertimpa musim dingin” yang membekukan semangat.
Di Indonesia, penurunan minat dan investasi di sektor teknologi memaksa perusahaan-perusahaan besar untuk memangkas anggaran, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Akibatnya, para profesional TI terpaksa mencari peluang di luar negeri, di mana langit mungkin dianggap lebih cerah.
Sekitar 91% profesional TI yang bermimpi bekerja di luar negeri mengincar Singapura sebagai pelabuhan utama mereka. Gaji tinggi dan stabilitas pekerjaan menjadi daya tarik utama mereka.
Keterampilan seperti coding, analisis data, serta keahlian dalam kecerdasan buatan (AI) dan machine learning menjadi bekal berharga yang mereka tawarkan, tandas Populix.
Tak hanya itu, menurut mereka daya tarik Singapura juga semakin kuat, berkat kebijakan pemerintah yang mendukung kemajuan teknologi. Salah satunya adalah New Enterprise Compute Initiative, yang menyediakan anggaran sebesar S$150 juta untuk mendukung adopsi kecerdasan buatan (AI) di sektor bisnis. Program ini membuka banyak peluang bagi para pekerja TI, terutama mereka yang ahli dalam AI, untuk mengejar impiannya.
Ditambahkan Populix,di sisi lain, pada tahun 2023, Indonesia dan Singapura juga menandatangani program Tech:X, yang memungkinkan pertukaran talenta teknologi melalui skema visa kerja satu tahun.
"Fenomena pekerja migran, terutama profesional TI, perlu disikapi dengan bijak. Persaingan di pasar internasional semakin ketat, dan setiap calon pekerja harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya," ujar Astandu, mengingatkan pentingnya persiapan matang sebelum melangkah ke dunia yang lebih luas.
Fenomena #KaburAjaDulu
Topik pekerja migran kembali meramaikan pembicaraan di Indonesia dengan munculnya tagar #KaburAjaDulu, sebagai bentuk protes terhadap terbatasnya lapangan kerja yang tersedia di dalam negeri.
Menurut data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada tahun 2024 tercatat ada 296.970 pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, dengan 130.000 di antaranya bekerja di Singapura. Fenomena ini turut mendorong peningkatan perpindahan kewarganegaraan, dengan lebih dari 3.900 WNI yang memilih menjadi warga negara Singapura antara 2019 hingga 2022.
"Pekerja migran memang membawa manfaat yang besar, baik dari segi devisa maupun peningkatan kesejahteraan keluarga. Namun, Indonesia juga berisiko kehilangan banyak talenta berbakat yang mungkin akan lebih sulit ditemukan kembali di dalam negeri," pungkas Astandu, dengan nada penuh pertimbangan.
Rindu Nasi Padang?
Mayoritas responden yang berminat bekerja di luar negeri berusia antara 25 hingga 35 tahun. Vivi Zabkie, Kepala Riset Sosial Populix, mengatakan, "Keinginan anak muda untuk bekerja di luar negeri mencerminkan tantangan besar di pasar kerja Indonesia yang dirasa kurang kondusif bagi mereka. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik bagi generasi muda."
Zabkie mengingatkan, meski tawaran kerja di LN tinggi, tantangannya pun tidak kecil pula: ” Bekerja di luar negeri tidak mudah. Responden sebenarnya menyadari ini: Kendala dalam hal perbedaan budaya, menghadapi biaya hidup yang tinggi, hambatan bahasa, rumitnya perizinan dan legalitas hingga juga keraguan mereka akan kemampuan mereka sendiri untuk beradaptasi misal dengan kultur yang baru. Memang kadang gaji di luar negeri terlihat menggiurkan, tapi jangan lupa ada juga konsekuensinya, jadi memang tidak mudah.”
Jika bahasa negara tujuan berbeda dengan bahasa ibu, komunikasi bisa menjadi tantangan besar, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari, ujar pakar keluarga Vicky Nastasha. Ia menyisipkan tips: ”Mulailah belajar bahasa sebelum berangkat dan terus tingkatkan kemampuan bahasa setelah tiba di negara tujuan. Gunakan aplikasi seperti Duolingo atau bergabung dalam komunitas lokal untuk berlatih,” kiatnya.
Bayu, sang profesional TI yang tengah dipertahankan oleh perusahaannya agar tidak berpindah, tidak gentar dengan tantangan tersebut. Oleh sebab Ia bahkan menambahkan tantangan lain yang ia yakini bakal bisa ia atasi, yakni rindu kampung halaman: "Indonesia dekat dengan Singapura. Kalau kangen kampung halaman, terbang satu jam sudah sampai di Jakarta, makan gado-gado, nasi Padang... tapi itu pun ada di Singapura!" Ia tertawa ringan. "Yang paling berat adalah kangen keluarga dan teman-teman. Namun sekarang, komunikasi sudah begitu mudah. Saya bisa video call setiap hari. Mereka juga memahami, semua ini saya lakukan demi masa depan keluarga," tuturnya dengan penuh harapan.
Survei Populix ini dilakukan pada 5-6 Maret 2025 melalui platform Poplite, melibatkan 1.000 responden yang berminat bekerja di luar negeri, dengan mayoritas responden berasal dari generasi milenial dan Gen-Z, berusia 25-35 tahun, dan berasal dari kelas menengah ke atas.