Serangan Udara AS di Pakistan
17 Januari 2006Target serangan adalah Ayman al-Zawahiri, orang nomor dua di organsaisi teror Al Qaeda, yang diduga berada di desa Damadola, Pakistan, dekat perbatasan dengan Afganistan. Serangan menyebabkan 18 korban tewas, termasuk perempuan dan anak-anak. Namun, al-Zawahiri tak terdapat di antaranya. Ribuan orang kemudian memprotes serangan AS itu.
Harian konservatif Spanyol ABC yang terbit di Madrid berkomentar:
"AS barangkali punya alasan bagus untuk mempercayai keterangan bahwa wakil pemimpin Al Qaeda, Ayman al-Zawahiri berada di daerah perbatasan antara Pakistan dan Afganistan. Namun itu bukan pembenaran bagi aksi militer seperti serangan udara terhadap sebuah desa di Pakistan. Apa yang bisa dituntut setelah kesalahan semacam itu terjadi, sekurangnya-kurangnya adalah permintaan maaf atau dilakukannya penyelidikan. AS mengambil resiko mendestabilisasi negara seperti Pakistan yang memiliki senjata nuklir."
Harian Swiss DER BUND yang terbit di Bern mengomentari sulitnya perburuan terhadap para pemimpin Al Qaedah:
"AS tak punya pilihan, selain melanjutkan pencarian terhadap Osama bin Ladin yang bertanggungjawab atas serangan 11 September, sekalipun mereka menyadari, bahwa tewasnya ikon teror tersebut tak menghapus gerakan berjihad. Bagi Washington, menghentikan pemburuan terhadap Osama berarti menunjukkan kekalahan politik dalam dan luar negerinya, serta berakibat fatal bagi kredibilitasnya sebagai negara adidaya. Dalam soal sarana, AS juga hanya punya sedikit pilihan. Operasi rahasia CIA adalah satu-satunya jalan, mengingat Presiden Pakistan Pervez Musharraf seringkali menentang para ekstrimis di negaranya hanya dengan kata-kata belaka."
Chili, negara pertama di Amerika Latin yang memiliki seorang presiden perempuan. Michelle Bachelet akhirnya memenangkan pemilu hari Minggu. Harian Italia LA REPUBBLICA yang terbit di Roma berkomentar:
"Chili, negara yang sangat istimewa, kembali membuka babak baru dalam sejarah, dengan caranya sendiri. Istana Moneda di ibukota Santiago, yang di masa lalu mengalami petualangan negara sosailis pertama di Amerika latin, kemudian tragedi salah satu kudeta paling brutal di paruh kedua abad 20, kini akan ditinggali seorang wanita. Dengan wataknya yang keras dan sifat periang, Michelle Bachelet kini meyakinkan, bahwa ia dalam tempo 4 tahun ke depan mampu mengubah sesuatu di Chili. Dan ia sudah bersiap-siap untuk mengerjakan dengan sungguh-sungguh tugas-tugas yang menantinya. Dan itu tidak sedikit. Karenanya, sang Presiden baru bertanggungjawab untuk tidak mengecewakan negaranya."
Mengenai bertambahnya perempuan yang duduk di tampuk kekuasaan, harian Perancis LA REPUBLIQUE DU CENTRE yang terbit di Orleans berkomentar:
"Sebuah generasi pemimpin politik dari jenis kelamin berbeda telah memasuki panggung dunia. Kita mengalami kemunculan negarawati-negarawati dengan karakter enerjik, yang mampu menyingsingkan lengan dan tetap tidak kehilangan sisi femininnya. Kita tahu, bahwa Michelle Bachelet, seperti juga Presdien Finladia Tarja Halonen, membesarkan ketiga anaknya sendirian, juga bahwa mereka memenuhi tugas-tugasnya di masyarakat, tanpa mengurangi tanggungjawab mereka sebagai ibu. Barangkali itulah yang menyebabkan kemenangan mereka dalam pemilu. Kaum pria menjanjikan hal-hal besar yang tak pernah mereka penuhi. Perempuan melibatkan diri hanya pada hal-hal kongkret yang ia yakini bisa ia realisasikan."