Seberapa Bahaya Jihadis Asing bagi Suriah?
27 Mei 2025Bagi kelompok teror Negara Islam (ISIS), Presiden interim Suriah Ahmad al-Sharaa bukan pemimpin revolusi, melainkan sosok yang telah menjual prinsip demi oportunisme. Dalam edisi terbaru buletin mingguannya, al-Naba, ISIS menyebut al-Sharaa sebagai pengkhianat, kafir, dan "budak" yang "merunduk" di hadapan Presiden AS- Donald Trump dalam pertemuan pekan lalu.
SIkap permusuhan ISIS bukan hal baru. Dulu, kelompok pemberontak yang pernah dipimpin al-Sharaa, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sempat menjadi bagian dari ISIS antara 2012 dan 2013 sebelum beralih ke al-Qaeda. Setelah memutus hubungan dengan al-Qaeda pada 2016, HTS justru memerangi ISIS di Suriah selama hampir satu dekade.
Tidak mengejutkan, jika ISIS memusuhi langkah politik al-Sharaa yang lebih moderat dan pragmatis.
Namun, ada bagian lain dari pesan al-Naba yang menarik perhatian, yakni seruan kepada para pejuang asing di Suriah untuk membelot dari pemerintahan baru al-Sharaa dan bergabung dengan ISIS. Kelompok yang kecewa atas pendekatan diplomatik al-Sharaa terhadap Amerika, diminta oleh ISIS untuk kembali ke barisan mereka.
Seruan ini menyoroti tantangan terbesar yang kini dihadapi pemerintahan interim Suriah, yaitu keberadaan para pejuang asing di dalam negeri.
Dalam pertemuan pekan lalu, Presiden Donald Trump menekan al-Sharaa agar memerintahkan semua "teroris asing” meninggalkan Suriah, sebagai salah satu syarat utama untuk pencabutan sanksi. Sikap serupa juga disampaikan oleh perwakilan Prancis dan Jerman. Kekhawatiran utama mereka adalah bahwa Suriah bisa menjadi surga bagi kelompok ekstremis yang nantinya menyebar ke luar negeri.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Siapa gerilayawan asing di Suriah?
Saat ini ssulit dipastikan jumlah pasti pejuang asing yang bergabung dengan HTS, namun diperkirakan antara 1.500 hingga 6.000 orang, dengan konsensus ahli menyebut angka di tengah rentang tersebut. Kelompok terbesar berasal dari etnis Uighur, yang kerap disebut warga Suriah sebagai "Turkistanis", karena punya nenek moyang yang berasal dari Asia Tengah dan Timur, termasuk Cina.
Gerilyawan lain berasal dari Rusia dan negara-negara bekas Uni Soviet, Balkan, Turki, serta sejumlah negara Arab. Mayoritas datang pada awal perang saudara Suriah, demi menjawab seruan dari ISIS untuk bergabung dalam proyek kekhalifahan. Setelah HTS memutus hubungan dengan ISIS dan al-Qaeda, sebagian dari mereka hengkang, namun tidak sedikit yang tetap tinggal.
Akhir tahun lalu, dalam kampanye militer HTS yang berhasil menggulingkan diktator Bashar al-Assad, sejumlah kelompok asing berperan penting dalam keberhasilan itu, termasuk di antaranya etnis Uighur dan Chechen.
Sebagai bentuk penghargaan, al-Sharaa menyatakan mereka layak diberi tempat dalam pemerintahan baru. Pada Januari lalu, sebagian komandan asing diangkat ke posisi tinggi di militer Suriah. Namun keputusan ini malah menimbulkan kontroversi.
Peran strategis
Menurut Aaron Zelin, pakar HTS dari Washington Institute, sulit mengukur seberapa penting posisi mereka kini dalam militer Suriah karena jumlah warga Suriah tetap lebih dominan. Namun, dia mencatat ada peran strategis tertentu. Pasukan Uighur, misalnya, kini menjadi pengawal pribadi al-Sharaa karena kepercayaan tinggi terhadap mereka sebagai "saudara seperjuangan" dalam pertempuran melawan Assad.
Seorang pengungsi Suriah di Jerman, yang pernah bertempur di Aleppo, mengaku mengenal beberapa pejuang asing. "Ada yang baik, ada yang tidak,” katanya. "Banyak dari mereka sangat fokus pada pertempuran dan memiliki pandangan Salafi.” Namun, dia juga menambahkan bahwa sebagian kini telah berkeluarga di Suriah. "Kalau dideportasi, anak dan istri mereka juga akan diusir. Saya pikir mereka layak diberi kesempatan.”
Ancaman dari dalam atau luar?
Pejuang asing, dengan pandangan keagamaan yang ekstrem, dilaporkan terlibat dalam aksi kekerasan terhadap minoritas serta pengawasan norma sosial, seperti cara berpakaian perempuan. Meski demikian, HTS belakangan mengubah citra, dari "pembela Islam Sunni" menjadi aktor politik yang lebih terbuka pasca kejatuhan rezim Assad.
Perubahan ini tidak mudah diterima oleh semua anggota. Menurut Orwa Ajjoub, peneliti untuk lembaga studi politik internasional di Italia, perubahan arah ideologi ini bisa menggoyahkan barisan HTS, terutama mereka yang terbiasa dengan narasi sektarian.
Dalam tulisan lain, Mohammad Salih dari Foreign Policy Research Institute memperingatkan bahwa jika HTS terus membuka ruang bagi norma-norma liberal seperti perempuan tak berjilbab, penjualan alkohol, dan sistem politik bergaya Barat, maka elemen garis keras - terutama pejuang asing - bisa membelot ke ISIS atau al-Qaeda.
Namun Zelin meragukan potensi ancaman berskala besar dari mereka. "Yang tidak puas, kemungkinan besar sudah meninggalkan HTS. Yang tersisa cenderung lebih disiplin dan bisa dikendalikan,” ujarnya. Al-Sharaa juga disebut terus berusaha menyingkirkan unsur asing yang menolak arah baru HTS.
Langkah berikutnya
Pasca pertemuan dengan Trump, muncul kabar bahwa pasukan keamanan Suriah menggerebek markas pejuang asing di Idlib. Namun, pengamat lokal menyebut belum ada kepastian apakah itu benar terjadi atau sekadar bagian dari manuver politik.
Penertiban besar-besaran pun dinilai tidak mungkin dilakukan. Pemerintah baru Suriah berpendapat bahwa jumlah pejuang asing terlalu kecil untuk jadi ancaman serius dan mereka sudah menunjukkan loyalitas terhadap al-Sharaa. Sejumlah ahli bahkan menilai integrasi mereka ke dalam struktur keamanan baru adalah solusi paling rasional.
"Dari semua tuntutan AS, ini mungkin yang paling sulit bagi Suriah,” kata Zelin. "Saya rasa mereka tak akan benar-benar melepas para pejuang asing, kecuali jika mereka melanggar hukum.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Yuniman Farid