RSF: Kebebasan Pers Global Mencapai Titik Terendah Tahun Ini
2 Mei 2025Kebebasan pers global mencapai "titik terendah sepanjang masa,” tulis Reporters Without Borders (RSF) dalam laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Jumat(2/5). RSF secara khusus mencatat penurunan kebebasan pers di bawah kepemimpinan Presiden AS, Donald Trump.
"Lebih dari separuh populasi dunia tinggal di negara-negara dengan situasi kebabasan pers yang ‘sangat serius',” kata organisasi nirlaba yang berbasis di Prancis ini dalam laporannya yang dirilis menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia, tanggal 3 Mei.
RSF mengatakan bahwa indeks utama kebebasan pers telah mencapai peringkat terendah dalam 23 tahun terakhir.
Peringkat tersebut dibuat oleh para ahli berdasarkan jumlah insiden kekerasan yang melibatkan jurnalis di tiap negara, serta data lain yang relevan. Para ahli menilai situasi di sebuah negara atau wilayah dalam lima kategori yakni politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya dan keamanan.
Apa kata RSF tentang kebebasan pers di AS?
RSF mencatat bahwa situasi di AS semakin memburuk sejak Trump menjabat sebagai presiden pada Januari lalu.
"Di Amerika Serikat, masa jabatan kedua Donald Trump sebagai presiden telah menyebabkan kemerosotan yang mengkhawatirkan dalam kebebasan pers, yang mengindikasikan adanya pergeseran otoriter dalam pemerintahan,” kata RSF.
"Pemerintahan Trump telah ‘mempersenjatai' lembaga-lembaga, memotong dukungan untuk media independen, dan mengesampingkan wartawan.”
Lembaga pengawas media itu merujuk pada pemotongan dana oleh Trump bagi lembaga penyiaran yang didanai negara, seperti Voice of America dan Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL), serta dana bantuan pembangunan luar negeri AS untuk mendukung media-media di luar negeri.
Pada hari Jumat, Trump mengumumkan perintah eksekutif pemotongan dana bantuan untuk media penyiaran publik NPR dan PBS, menyebut keduanya bias. Presiden AS tersebut juga mengatakan bahwa dirinya sedang mempertimbangkan tindakan hukum terhadap The New York Times.
AS turun dua peringkat dari tahun 2024 ke posisi ke-57 di bawah peringkat negara Afrika Barat, Sierra Leone. Laporan RSF tersebut mengatakan bahwa wilayah AS yang luas sudah berubah menjadi "gurun berita”.
"Ketika jurnalis dibuat menjadi miskin, mereka tidak lagi memiliki sarana untuk melawan musuh-musuh pers mereka yakni disinformasi dan propaganda,” kata Direktur Editorial RSF Anne Bocande dalam sebuah pernyataan.
Iklan online meningkat menjadi 247,3 miliar dollar (4 kuadriliun rupiah) pada tahun 2024, tetapi sebagian besar dari iklan tersebut masuk ke raksasa teknologi seperti Meta, Google dan Amazon, bukan ke organisasi berita, kata RSF.
Jerman berada di bawah peringkat 10 besar
Laporan ini mencatat bahwa Eropa adalah wilayah di dunia di mana para jurnalis masih dapat menikmati kebebasan pers terbesar. Cina, Korea Utara, dan Eritrea berada di posisi tiga terbawah dari 180 negara.
Direktur Pelaksana RSF Anja Osterhaus mengatakan, "lebih dari separuh populasi dunia sekarang tinggal di negara-negara yang kami kategorikan sebagai negara dengan situasi kebebasan pers yang sangat serius. Jurnalisme independen dianggap begitu menyusahkan kaum otokrat.”
Norwegia menduduki peringkat teratas dalam peringkat global selama sembilan tahun berturut-turut, diikuti oleh Estonia dan Belanda.
Hanya tujuh negara yang mendapat predikat "baik" dan semuanya berada di Eropa.
Jerman, yang berada di posisi ke-10 tahun lalu, turun ke posisi ke-11. RSF menilai penurunan ini disebabkan oleh "lingkungan kerja yang semakin tidak bersahabat bagi para profesional media di Jerman, terutama karena serangan dari kelompok sayap kanan."
Laporan itu mengatakan bahwa wartawan Jerman juga menghadapi kesulitan ketika melaporkan konflik di Timur Tengah.
Laporan itu juga menyoroti nasib wartawan Palestina yang melaporkan serangan Israel ke Gaza.
"Di Gaza, tentara Israel telah menghancurkan ruang-ruang redaksi, membunuh hampir 200 wartawan dan memberlakukan blokade total di jalur tersebut selama lebih dari 18 bulan,” menurut laporan itu. West Bank dan Gaza Strip menduduki peringkat 163 dengan kategori kebebasan pers yang ‘sangat serius'.
Sedangkan Israel sendiri telah turun 11 peringkat ke posisi 112 dan “terus menekan media beritanya sendiri,” menurut laporan tersebut.
Bagaimana dengan kebabasan pers di Indonesia?
Laporan tersebut mencatat bahwa kebebasan pers di Indonesia berada di peringkat 127, turun dari peringkat 111 di tahun 2024. Hal ini dipengaruhi oligarki media yang terkait dengan kepentingan politik semakin kuat, yang mengarah pada peningkatan kontrol terhadap media kritis dan manipulasi informasi melalui troll daring, influencer berbayar, dan saluran media partisan.
Dibawah kepemimpinan baru, Presiden Prabowo Subianto - yang dituduh terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia serta wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Joko Widodo, perlindungan akan kebebasan pers diyakini kian menipis dan masa depan jurnalisme independen semakin mengkhawatirkan.
Laporan tersebut turut menyertakan bahwa Undang-undang no 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada September 2022 menimbulkan ancaman baru bagi kebebasan pers. Begitu pula dengan amandemen hukum pidana yang rencananya akan diberlakukan pada 2026 menimbulkan ancaman baru bagi jurnalisme investigasi dengan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penistaan agama dan pasal-pasal yang ditujukan untuk memerangi "berita palsu”.
Jurnalis-jurnalis yang menyelidiki kasus-kasus korupsi lokal atau meliput protes massa sering menjadi sasaran berbagai bentuk intimidasi oleh polisi atau angkatan bersenjata TNI, mulai dari penangkapan, kekerasan fisik, hingga serangan digital. Semakin berbahaya bagi jurnalis di Indonesia untuk meliput isu-isu lingkungan, terutama jika isu-isu tersebut mempengaruhi kepentingan sektor swasta yang didukung oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, jurnalis perempuan masih menghadapi pelecehan seksual, baik secara daring maupun luring.
Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid