RI Perkuat Kemitraan Strategis dengan Rusia Usai Ikut BRICS
20 Juni 2025Presiden Indonesia Prabowo Subianto menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Rusia, pada Kamis (20/6), setelah melakukan pembicaraan bilateral dengan Presiden Vladimir Putin di St. Petersburg.
Kesepakatan ini menandai penguatan hubungan Indonesia–Rusia di tengah bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menyampaikan terima kasih kepada Putin atas dukungan Rusia terhadap proses keanggotaan Indonesia di forum negara-negara berkembang tersebut.
"Hari ini kami bertemu, dan hubungan kita kembali menguat,” kata Prabowo dalam pernyataannya.
"Pertemuan saya dengan Presiden Putin berlangsung intens, hangat, dan produktif. Di semua bidang: ekonomi, kerja sama teknis, perdagangan, investasi, pertanian, semuanya mengalami peningkatan yang signifikan,” lanjutnya.
Putin menyebut Indonesia sebagai salah satu "mitra kunci” Rusia di kawasan Asia Pasifik.
"Hubungan kita saling menguntungkan dan terus berkembang di atas fondasi tradisi panjang persahabatan dan saling membantu,” ujar Putin.
Putin menambahkan bahwa Indonesia adalah mitra dagang utama Rusia di Asia Tenggara, dengan volume perdagangan mencapai 4,3 miliar dolar AS pada 2024, dan meningkat 40 persen dalam empat bulan pertama 2025. Ia juga menyoroti bahwa tahun ini menandai 75 tahun hubungan diplomatik kedua negara.
"Indonesia adalah negara berpengaruh besar di panggung internasional. Saya yakin keikutsertaannya akan memperkuat BRICS dan memberikan kontribusi signifikan dalam kerja samanya,” katanya.
BRICS dan jalan keluar Rusia dari isolasi
Kelompok BRICS dibentuk sebagai alternatif dari forum-forum yang dipimpin negara Barat seperti G7, dan telah memberi Putin ruang untuk keluar dari isolasi diplomatik sejak invasi skala penuh ke Ukraina.
Penguatan hubungan dengan Indonesia menjadi bagian dari strategi Rusia untuk memperluas kemitraan dengan negara-negara di kawasan selatan dunia.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Istana Konstantin tersebut, Putin menyampaikan keyakinannya bahwa Indonesia akan memberikan kontribusi besar bagi BRICS, yang di antaranya beranggotakan Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.
Putin juga menyinggung kontribusi Rusia pada masa awal kemerdekaan Indonesia, termasuk pembangunan berbagai infrastruktur besar oleh Uni Soviet yang disebutnya masih digunakan hingga saat ini. Ia menegaskan bahwa hubungan kedua negara didasari "kepercayaan dan persahabatan yang panjang.”
Kerja sama strategis lintas sektor
Setelah membahas posisi Indonesia di BRICS, kedua negara merinci kerja sama lintas sektor. Di bidang energi, Putin menyebut proyek kilang minyak dan kompleks petrokimia Rosneft–Pertamina di Jawa Timur sebagai kerja sama konkret yang sedang berjalan. Rusia juga siap meningkatkan ekspor gas alam cair ke Indonesia dan mendukung modernisasi ladang minyak tua.
Di sektor nuklir sipil, Rusia menyampaikan kesediaan untuk bermitra dalam pengembangan teknologi untuk keperluan damai.
"Kami terbuka untuk bekerja sama dengan mitra Indonesia di bidang nuklir. Kami juga berkeinginan untuk merealisasikan proyek nuklir di bidang damai, termasuk bidang kesehatan, pertanian, dan pelatihan staf,” ujar Putin.
Selain energi, Rusia menawarkan kemitraan di sektor teknologi tinggi, termasuk kecerdasan buatan, smart city, dan eksplorasi luar angkasa untuk kepentingan sipil.
Putin menambahkan bahwa kedua negara tengah memfinalisasi perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan Eurasian Economic Union, yang disebutnya dapat membuka peluang baru di sektor industri dan logistik.
Sebagai bagian dari kemitraan ekonomi, Danantara Indonesia dan Russian Direct Investment Fund menyepakati pembentukan dana investasi bersama senilai 2,29 miliar dolar AS (sekitar Rp37,2 triliun).
Indonesia dan politik luar negeri bebas aktif
Meski memperkuat hubungan dengan Rusia, Prabowo tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas aktif, dengan membuka kerja sama dekat dengan berbagai negara, termasuk Rusia dan Amerika Serikat.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia juga telah mengumumkan sejumlah konsesi perdagangan untuk menghindari ancaman tarif dari Presiden AS Donald Trump.
Pada 2023, Indonesia meningkatkan status hubungan dengan Amerika Serikat menjadi kemitraan strategis komprehensif. Meski begitu, kedekatan Jakarta dengan Moskow dalam beberapa waktu terakhir menimbulkan kekhawatiran di kalangan sekutu Barat.
Pekan ini, Prabowo memilih bertemu Putin di Rusia ketimbang menghadiri KTT G7 di Kanada. Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menilai, langkah ini bisa dipahami sebagai bagian dari strategi menjaga keseimbangan posisi Indonesia di tengah rivalitas kekuatan besar.
Menurutnya, jika hadir di Kanada, Indonesia berisiko dipersepsikan berpihak ke negara-negara Barat. Sebaliknya, kehadiran di Rusia, sebagai anggota baru BRICS, menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih sejajar.
Namun, ia menyebut kunjungan ke Rusia lebih menguntungkan secara substansial.
"Di Rusia, Presiden menjadi tamu utama dan bisa menyepakati kerja sama konkret. Kalau ke Kanada, kehadirannya hanya sebagai peserta forum multilateral, walau disebut tamu kehormatan,” jelas Hikmahanto.
Kunjungan ini menjadi yang kedua bagi Prabowo ke Rusia dalam kapasitas kepala negara. Sebelumnya, pada Agustus 2024, ia datang sebagai Menteri Pertahanan dan presiden terpilih. Saat itu, ia menyebut Rusia sebagai "sahabat besar” Indonesia.
Dalam sambutan bersama, Prabowo kembali menyinggung hubungan historis kedua negara. Ia menyebut bahwa Rusia telah membantu Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. "Saat kami masih miskin, Rusia membantu tanpa menekan. Mereka tidak meminta pelunasan cepat. Tapi kami tetap membayar utang itu, meski butuh puluhan tahun,” katanya.
Kedua pemimpin juga menyatakan pandangan serupa dalam isu global. Baik Indonesia maupun Rusia menegaskan pentingnya menjunjung prinsip kedaulatan dan penyelesaian damai atas konflik internasional.
"Kami tidak ingin konflik. Kami ingin kolaborasi. Kami ingin semua masalah diselesaikan dengan damai,” ucap Prabowo.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara
Editor: Prita Kusumaputri