Referendum Swiss Indikasi Intoleransi Terhadap Islam
1 Desember 2009Hasil referendum di Swiss yang dengan suara mayoritas menyetujui pelarangan pembangunan menara mesjid tetap menjadi tema komentar dalam harian internasional. Harian liberal kiri Spanyol El Pais yang terbit di Madrid dalam tajuknya berkomentar : Hasil referendum itu berarti sukses besar bagi partai radikal kanan Partai Rakyat Swiss yang menggagas referendumnya. Kelompok serupa di negara lainnya, dipastikan akan berusaha meniru hal yang sama. Penolakan tegas terhadap larangan pembangunan menara mesjid, tidak mungkin berhasil jika tidak didukung perhimpunan perempuan serta kelompok kiri, yang menentang penindasan terhadap perempuan di negara-negara Islam. Dalam masyarakat muncul keresahan, yang memang dapat dimengerti. Ancaman bahayanya adalah, perdebatan yang masih berlangsung saat ini, akan memberikan haluan bagi partai yang populis dan kelompok ekstrim kanan. Dalam pidatonya yang beracun, kelompok ini tidak akan membahas integrasi, melainkan mengobarkan ketakutan terhadap Islam.
Harian Belanda De Volkskrant yang terbit di Amsterdam berkomentar : Menara mesjid juga merupakan sebuah simbol, yang bagi mata banyak warga Eropa merupakan kesalahan arah dari Islam. Dalam diskusi mengenai referendum di Swiss itu, yang terutama dibahas justru tema syariah Islam, haluan ekstrim jihad, kawin paksa dan khitan pada perempuan. Atau juga tema penyanderaan warga Swiss di Libya, sebagai reaksi atas tindakan pemerintah Swiss yang menahan anak lelaki Muammar al Khaddafi. Akibat skandal Libya tsb, pemerintah Swiss goyah posisinya. Seharusnya pemerintah Swiss menunjukkan sikap tegasnya, dan dapat memberikan argumentasi yang kokoh terhadap warganya, bahwa pelarangan pembangunan menara mesjid, tidak sesuai dengan toleransi di sebuah negara hukum.
Harian liberal kiri Hungaria Nepzabadsag yang terbit di Budapest berkomentar : Barangsiapa menjamin dominasi agamanya lewat diskriminasi hukum, berarti mengambil posisi, memaksakan agamanya dengan menggunakan kekerasan negara dan undang-undang, untuk melawan agama lainnya. Dengan itu, mereka juga menjadi kawan seiring dari pendukung negara-negara Islam. Demokrasi tidak dapat dikungkung di bawah tudung saji. Jika hak kebebasan tidak berjalan seiring dengan globalisasi, maka hak itu akan cacat. Pemisahan agama Islam dari kekuasaan negara dan kekerasan bersenjata, adalah salah satu masalah utama masa depan kita. Sebaliknya, barangsiapa menggunakan kekuatan kekerasan negara untuk menentang Islam, hal itu hanya menyampaikan pesan yang keliru terhadap kaum Muslim. Yakni, yang dapat mereka percayai, hanyalah perlindungan dari negara-negara Islam dan senjatanya.
Dan terakhir harian liberal Denmark Politiken yang terbit di Kopenhagen berkomentar : Sebuah negara Eropa, sekarang mengakui secara terbuka, tidak dapat menerima kehadiran simbol sebuah agama besar. Bahwa keputusan itu, akan memicu bangkitnya kekuatan yang menentang, baik di kalangan warga minoritas Muslim di Eropa maupun di negara Islam umumnya, dapat dimengerti dengan sendirinya. Setiap kritik Eropa, terhadap pembatasan bagi kaum Kristen atau Yahudi untuk menjalankan ajaran agamanya, yang memang terjadi di beberapa negara Islam, akan terdengar seperti omong kosong. Sebab, Eropa sendiri kini sudah menjadi sarang dari intoleransi dan penindasan agama.
AS/AP/dpa/afpd