Proyek Pendanaan Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Tidak Efisien
5 Desember 2007Saat pembukaan KTT Iklim, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar yang sekaligus menjabat presiden konferensi menuntut peninjauan kembali mekanisme pembangunan bersih atau CDM. Kritiknya, mekanisme ini sulit diakses negara berkembang.
Saat ini, sekitar 850 proyek mekanisme pembanguna bersih (CDM) terdaftar di seluruh dunia. Sebagian besar berada di Cina dan India. Sementara di Indonesia hanya ada sebelas proyek CDM resmi dan sejumlah lainnya masih harus melalui proses pendataan dan verifikasi. Idealnya, mekanisme ini menguntungkan baik bagi negara pemberi dana maupun bagi negara penggagas proyek. Namun, Edwin Aalders dari Asosiasi Perdagangan Emisi Internasional mengkritik mekanisme CDM yang kerap dinilai terlalu restriktif:
"Banyak proyek di Afrika tidak dapat mengikuti CDM. Mereka tidak memiliki dana untuk proses verifikasi proyek, baik itu untuk metodologi yang digunakan maupun syarat-syarat lainnya.“
Setiap proyek CDM yang diajukan harus memenuhi sejumlah syarat. Misalnya, proyek harus ramah lingkungan dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Namun, dalam fase awal mekanisme CDM, standar tinggi dan persyaratan ketat menyebabkan sebagian besar usulan proyek ditolak. Muncul juga kekuatiran bahwa proyek CDM hanya menguntungkan bagi negara industri yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kacanya. Sejumlah LSM kemudian menggagas suatu label kualitas yang disebut „Golden Standard“ atau standar emas. Pakar Iklim WWF Stephen Singer:
"Mereka yang ingin mengurangi emisi, baik itu secara sukarela atau dengan mengikuti standar-standar pasar karbon, berupaya mencari proyek yang memenuhi syarat pembangunan berkelanjutan, disetujui oleh LSM dan tidak merugikan masyarakat lokal. Itulah label Golden Standard.“
Golden Standard bertujuan untuk menjamin, agar proyek CDM tepat sasaran dan tidak merugikan negara penggagas proyek. Di luar Golden Standar masih ada standar lainnya yaitu Voluntary Carbon Offset Standar yang digagas Asosiasi Perdagangan Emisi Internasional (IETA). Direktur IETA Edwin Aalders.
"Proyek CDM biasanya terbuka bagi kritik umum selama 30 hari, dan bila tidak ada pihak yang keberatan, maka proyek tersebut dapat dijalankan. Tapi dengan standar kami, penggagas proyek harus berhubungan langsung dengan stakeholder lingkungan selama proyek tersebut berjalan.“
Voluntary Carbon Offset Standar atau standar karbon sukarela berupaya menjawab kekurangan dari standar dasar CDM, sekaligus meregulasi pasar karbon yang berada di luar Protokol Kyoto. Karena terlahir dari permintaan dan penawaran pasar karbon, standar ini fokus pada jumlah karbon kredit yang dapat diperjual-belikan. Sementara Golden Standard lebih mementingkan agar proyek itu benar-benar menjamin pembangunan berkelanjutan, kata pakar Iklim Stephen Singer:
"Syaratnya cukup ketat misalnya untuk kesinambungan proyek dan keterlibatan stakeholder. Pada dasarnya kredit karbon dari proyek ini tak dapat dibeli begitu saja, butuh waktu sampai suatu proyek menghasilkan kredit karbon tapi saya kira para pembeli mengerti hal itu.“
Sejumlah pakar berpendapat dalam hal jual beli reduksi emisi karbon memang tidak ada standar yang sempurna. Apakah Golden Standard dan Voluntary Carbon Offset Standard akan bertahan tergantung pada hukum pasar – yaitu pada tingginya penawaran dan permintaan di pasar karbon dunia.