Amichai Lau Lavie: Rabi Queer yang Memprioritaskan Cinta
24 Juni 2025"Saya gay dan menuntut komunitas Yahudi membuka ruang bagi saya untuk membicarakan homofobia dan rasisme, mengenai Gaza dan juga kebencian terhadap perempuan,” kata Rabi Amichai Lau-Lavie.
Aktivis kelahiran Israel yang juga memimpin komunitas di New York ini didaulat sebagai "pemimpin spiritual yang tidak biasa" oleh The Times of Israel dan "salah satu pemikir paling menarik di dunia Yahudi" oleh Jewish Week . Kisahnya dipotret dalam film dokumenter "Sabbath Queen.”
Lau-Lavie dan sutradara "Sabbath Queen”, Sandi DuBowski, menyambangi Berlin untuk menghadiri festival film Doxumentale, yang berlangsung hingga 22 Juni lalu.
Terpanggil jadi pemimpin spiritual yang kontroversial
Lau-Lavie masih muda saat memutuskan untuk meninggalkan Israel dan pergi ke New York di akhir tahun 1990an. Keputusan ini yang diambilnya setelah profilnya diberitakan surat kabar setempat. Tanpa persetujuan Lau-Lavie, surat kabar tersebut mengungkap keinginan Lau-Lavie, keponakan pemimpin rabi Israel, untuk menyebarkan keyakinannya di luar komunitas Ortodoks.
Dalam subkultur gay New York, Lau-Lavie menemukan keluarga pilihannya dalam kelompok aktivis "Radical Faeries” yang memadukan gender minoritas yang radikal dan spiritualitas.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Namun di samping komunitas para pemikir bebas ini, Lau-Lavie tetap berusaha keras untuk menghormati warisan agama keluarganya. Ia adalah penerus garis keturunan rabi Ortodoks yang telah berjalan selama selama 38 generasi, sejak abad ke-11.
Salah satu permintaan terakhir sang kakeknya dulu sebelum dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi adalah agar dinasti rabi ini dilanjutkan. Sang kakek, bersama dengan banyak anggota keluarga Lau-Lavie lainnya, terbunuh dalam peristiwa Holocaust.
Drag Queen pertama yang menjadi rabi
Pencarian Lau-Lavie akan panggilan hidupnya, adalah inti cerita "Sabbath Queen," sebuah film dokumenter yang dibuat selama 21 tahun — periode yang dihabiskan sutradara Sandi DuBowski mendokumentasikan hidup pemeran utamanya.
"Mulanya saya begitu terpesona dengan Rebbetzin Hadassah Gross, karakter drag queen," kata DuBowski kepada DW, merujuk pada alter-ego perempuan Lau-Lavie. Gross tampil jenaka dan penuh wawasan, ia menantang patriarki.
Namun, di luar karakter drag yang penuh warna, film ini menunjukkan bagaimana Lau-Lavie mengembangkan sisi lainnya sebagai pemimpin spiritual. Sisi ini nampak saat ia bergabung dengan Lab/Shul, komunitas eksperimental untuk pertemuan-pertemuan suci Yahudi yang terbuka bagi semua orang - yang menganggap ”Tuhan sebagai pilihan," dan juga saat Lau-Lavie bergabung dengan teater Storahtelling.
Tidak berhenti disitu, untuk mengambil bagian dalam percakapan yang lebih luas dengan para pemikir Yahudi di luar komunitas progresif, Lau-Lavie mengambil langkah lanjutan. Tahun 2016, ia ditahbiskan menjadi seorang rabi oleh Seminari Teologi Yahudi Jewish Theological Seminary (JTS), sebuah lembaga Yudaisme Konservatif.
Menentang larangan pernikahan beda agama
Rabi Lau-Lavie tidak berhenti mengeksplorasi batas-batas Yudaisme tradisional dan jalur pembaruan agama. Ia memutuskan hubungan dengan Majelis Rabi, asosiasi internasional rabi Konservatif dengan memberkati pernikahan dua biksu gay Buddha, yang salah satunya juga beragama Yahudi.
Meskipun Yudaisme Konservatif telah menyetujui pernikahan sesama jenis sejak 2012, gerakan tersebut melarang para rabinya memberkati pernikahan beda agama. Ini adalah topik perdebatan yang terus berlangsung dalam komunitas Yahudi, karena beberapa orang memandang pernikahan berbeda agama sebagai ancaman bagi masa depan Yudaisme.
Namun Lau-Lavie justru membayangkan sebuah keyakinan yang merangkul "pluralitas dan pluralisme." Ia menyebutnya "ekosistem yang sehat adalah cara lain untuk menjadi seorang Yahudi."
Publikasi dan penelitian ilmiahnya juga menjadi topik pembicaraan, termasuk mengeksplorasi Alkitab Ibrani melalui perspektif queer dalam proyek yang disebut "Below the Bible Belt."
"Saya mencoba mengambil silsilah dari Alkitab, narasinya, serta untaian keadilan, kasih, moralitas, kemanusiaan, martabat yang terus 'mengalir'," jelasnya Lau-Lavie yang menawarkan narasi tandingan terhadap kebijakan "Jews first" dari kaum Yahudi pemegang kuasa.
'Horor yang harus dihentikan'
Film ini berakhir setelah serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober. Di bulan-bulan awal perang, Lau-Lavie sangat kritis terhadap reaksi pemerintah Israel.
"Saya menyimpan ‘luka' dari keluarga Israel saya," katanya. "Trauma dan kebutuhan kami akan keamanan tidak membenarkan Israel membunuh puluhan ribu orang Palestina di Gaza dan membiarkan sisanya dalam kelaparan serta terus melanjutkan kedudukannya di Gaza. Horor ini harus dihentikan," katanya dalam film "Sabbath Queen."
Dalam tataran politik, Lau-Lavie mengatakan kepada DW bahwa ia ingin "bertemu dengan para penengah, bukan di mereka yang memihak."
Namun, ketika ia bertemu dengan orang-orang yang tidak memiliki empati terhadap anak-anak Gaza, ia merasa tidak ada lagi ruang untuk berdebat. "Kita mungkin menuju perang antar kultur, seperti perang saudara di Israel. Saya tidak tahu bagaimana menghindarinya."
Sebagai anggota dewan dari berbagai kelompok hak asasi manusia dan jaringan pendukung perdamaian Israel dan Palestina, Lau-Lavie secara teratur kembali ke Israel. Dia akan mengadakan pemutaran film "Sabbath Queen" selama tiga minggu berturut-turut di berbagai pusat komunitas, pertemuan, dan kelompok-kelompok perdamaian Israel-Palestina. Diskusi yang diadakan di sana tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga membantunya berpijak di tengah "situasi yang begitu menyakitkan."
Merujuk pada aktivisme perdamaian dan seruannya untuk mengasihi semua orang, termasuk orang Palestina dan Israel, di tengah lelahnya, ia menyatakan: "Apa yang saya katakan ini adalah berita lama."
Pesan Lau-Lavie terkesan sama dan terus berulang, namun menyadari bahwa ketertarikan serta diskusi film dokumenter ini kian menguat, terutama dalam konteks saat ini di mana "penguasa Yahudi telah ‘mengubur' pembicaraan terkait hal ini,” katanya. "Saya membawa sisi lain dari Yahudi yang diinginkan banyak orang,” tambahnya.
Amichai Lau-Lavie pun menemukan damai dalam gagasannya yang mewakili "garis keturunan Yahudi yang tidak biasa yang memprioritaskan moralitas, dan cinta satu sama lain dan nilai-nilai universal."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Hendra Pasuhuk