Petani di Yogyakarta Rawat Bumi lewat Pertanian Organik
11 Maret 2025Bibit talas di tangan kiri dan cangkul di tangan kanan erat dipegang Martina Astuti yang berjalan lurus di pematang sawahnya. Sore itu ia tengah menyiapkan lahan untuk ditanami lagi, setelah awal Januari lalu habis panen. Ia berbeda dengan petani lain di sekitarnya, perempuan dari Kulon Progo, D.I.Yogyakarta, ini menjalankan pertaniannya tanpa bahan kimia buatan industri besar.
Perempuan berusia 60-an tahun yang akrab disapa Tutik ini menggunakan bahan alami, termasuk untuk membasmi hama yakni dengan talas yang ia tanam sore itu.
Talas pari bukan hanya untuk dipanen, tapi juga untuk dimakan tikus yang kerap menyerbu area itu. "Bisanya kalau ada talasnya, padi tidak diserang tikus,” katanya sambil mencangkul.
Cara itu mulai banyak ditinggalkan para petani sejak 1980 ketika berbagai jenis bahan kimia mulai dikenalkan pemerintah di Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang. Padahal, cara ini manjur. Tutik mengaku panennya kemarin hampir tidak diganggu tikus. Hama ini hanya mengganggu saat pembibitan ketika tikus memakan sebagian padi yang berumur 10 hari.
"Dimakan (padinya) karena talasnya masih kecil, soalnya ditanam bareng penyemaian padi, jadi belum besar tumbuhnya. Makanya sekarang, tanam talas biar pas pembibitan padi, tikus lebih milih talas ini yang nanti sudah besar," paparnya.
Tutik menyebut banyak pengetahuan lokal terkait pertanian yang diwarisinya dari orang tua. Seperti untuk hama wereng, ia menggunakan kepiting sawah yang digantungkan di bilahan bambu pada pinggiran sawah. Menurutnya, bau amis dari kepiting akan mengusir wereng.
Sementara untuk belalang, ulat, atau hama jenis serangga lain menggunakan wewangian dari daun kleresede dan bunga kenikir. Semua bahan penangkal hama itu, jelas Tutik, berada di lingkungannya dan tersedia cuma-cuma. "Tidak perlu beli, kalau pestisida kimia 'kan harus beli. Jadi lebih murah dan ramah lingkungan juga," tuturnya.
Bibit padi lokal ramah lingkungan
Sore itu matahari tinggal setinggi bukit di balik punggung Tutik, ia pun bergegas pulang. Di ruang tamu rumahnya ada belasan karung berisi gabah hasil panennya yang baru rampung dijemur. "Ini gabah Menor, varietas lokal Kulon Progo. Berbeda dengan gabah petani lain yang kebanyakan hibrida," jelasnya.
Padi Menor sudah jarang digunakan petani lokal di sana. Jenis ini berhasil selamat dari kepunahan. Semenjak Revolusi Hijau yang dicanangkan Orde Baru, Tutik menyebut banyak padi lokal Kulon Progo yang tinggal nama. Ia masih tetap menanamnya karena selain menjaga warisan yang ada juga lebih cocok dengan lahan pertaniannya.
Hasil produksi padi Menor juga tak kalah dengan jenis hibrida lain yang terus disokong pemerintah lewat subsidi. Tutik mengatakan bahwa secara kuantitas, hasil panennya sama, yakni luas lahan 2.500 meter persegi bisa menghasilkan 13 ton gabah. Namun ia mengakui bahwa secara kualitas, produknya jauh lebih baik. "Antaranya beras lebih enak, tahan basi, dan dijamin sehat," ujarnya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Saat mulai bertani pada 2009, Tutik menggunakan padi hibrida. Saat itu ia mendapat tawaran untuk menggarap lahan seorang pamong desa setelah kembali dari merantau di Surabaya. "Sebenarnya bukan saya yang ditawari, ada orang lain tapi tidak mau karena lahannya bekas ladang tebu. Kondisinya sudah tidak subur lagi, banyak batunya,” ujarnya.
Setahun menggunakan padi hibrida lengkap dengan perawatan pupuk dan peptisida kimia, hasil panennya tak maksimal. Kemudian Tutik bertemu dengan teman lamanya, Herni Saraswati yang menawarinya bibit lokal lengkap dengan cara bertani organik.
Ada banyak padi lokal yang ditawarkan Tutik antaranya benih Mentik Susu, Menor, Pandan Wangi, Berong, hingga Rojolele. Waktu itu ia memulai pertanian organiknya dengan Mentik Susu dan hasilnya jauh lebih baik dibanding benih hibrida.
Alasan Tutik memilih benih Mentik Susu karena ia ingat orang tuanya kerap menggunakan benih ini. "Bapak sudah membuktikan Mentik Susu ini cocok ditanam di sini, pas saya kecil juga banyak bantu jadi tahu merawatnya,” katanya.
Karakteristik benih lokal cocok dengan jenis tanah, kondisi suhu, cuaca, dan serangan hama. Semua ini memudahkan petani yang menanam tanpa bahan kimia. Benih lokal ini juga sudah ditanam ratusan tahun di wilayah asalnya.
Keberhasilan bertani secara organik ini membuat Tutik bergabung dengan Herni untuk membentuk Kelompok Tani Karisma yang didirikan pada 2020.
Adaptasi perubahan iklim dengan pengetahuan lokal
Herni sendiri menjalankan pertanian organik sejak 1998 organik di kampung halamannya, Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo. Awal milenium baru itu ia sudah mengajak berbagai petani di sana, tapi tak semudah membalik telapak tangan.
Perubahan cara bertani yang bergantung pada bahan kimia, menurut Herni, tak mudah ditinggalkan warga di desanya. "Dari 100 petani yang saya ajak pakai cara seperti ini, kalau 5 orang saja yang mau sudah saya anggap berhasil," ujarnya.
Ajakan itu mulai disambut baik petani lain sejak serangan hama mulai mengganas. Saat itu, sawah Herni paling sedikit diserang hama. "Sekitar 2005 serangan hama mulai meningkat terus sampai sekarang, kebutuhan pestisida makin banyak padahal harganya makin mahal, lalu banyak yang mulai tertarik dengan cara organik," jelasnya.
Perempuan yang kini hampir berusia 70 tahun ini melihat produktivitas lahan sawah di sekitarnya juga kian menurun. Banyak petani yang mengeluh kepadanya, puncaknya kemarau panjang pada 2013 sampai 2014 yang menyebabkan banyak gagal panen.
Catatan Dinas Pertanian dan Pangan Kulon Progo 2024 menunjukan pertumbuhan hama memang terus meningkat dan vareatif di wilayahnya. Perubahan iklim dengan cuaca ekstrem yang kerap terjadi membantu merebaknya populasi wereng, walang sangit, hingga tikus.
Badan Penanggulangan Bencana Kulon Progo juga mencatat area terdampak kekeringan juga makin meluas pada 2024. Total terdapat 120 titik kekeringan pada tahun lalu, sebelumnya jumlahnya tak sampai sebanyak itu.
Meski begitu Kelompok Tani Karisma yang dibentuk Herni dapat sigap beradaptasi dengan kondisi ini. "Kami tentu terdampak juga tapi tidak separah yang lain karena cara kami bertani juga berbeda, sumber-sumber pengetahuan lokal terbukti menyelamatkan kami," tuturnya.
Tak hanya menyelamatkan, pengetahuan lokal pertanian itu juga memberdayakan ekonomi lebih dari 30 anggota kelompok tani yang seluruh anggotanya perempuan yang tinggal di sekitar di Perbukitan Menoreh.
Secara biaya produksi, mereka lebih keluar uang sedikit karena kebutuhannya tercukupi dengan sumber organik di sekitarnya. Secara pemasukan, dari hasil panen harganya lebih tinggi daripada produk hibrida lainnya.
Sekolahkan 5 anak dari hasil pertanian organik
Herni bukan saja hanya seorang petani, ia juga seorang juragan beras dan kedelai. Lebih khususnya lagi beras dan kedelai organik yang ia kumpulkan dari berbagai petani yang bekerja sama dengannya.
Banyak lahan sawahnya kini dikelola orang lain dengan sistem bagi hasil karena usianya yang makin senja. Meski begitu ia kerap ke sawahnya untuk mengecek apakah perawatannya sesuai yang dimaunya. "Saya yang mengatur cara pertaniannya meski dikerjakan orang lain, semuanya harus dengan bahan organik,” tegasnya.
Sebagai juragan, Herni rata-rata tiap kali musim panennya mampu menampung 60 ton beras organik, 30 ton kedelai lokal termasuk kedelai hitam, hingga belasan ton kacang. "Dijual ke banyak pihak, ada restoran dan lainnya. Harganya relatif stabil juga karena pasarnya khusus," jelasnya.
Petani yang kerap menjual hasil panennya ke Herni adalah Christina Sukinem, ia juga anggota Kelompok Tani Karisma. Sama seperti Tutik yang memulai pertanian organik pada 2010, Christina bertani di lahan warisan orang tuanya di Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh.
Perempuan 50-an tahun ini memutuskan bertani dengan cara organik karena model konvensional sudah tidak menguntungkan sama sekali. Sejak 2005, hasil panennya turun drastis akibat serangan hama dan tak terjangkaunya harga pestisida. "Saya rugi terus, bahkan sampai harus beli beras karena panennya tidak cukup," tuturnya sambil menanam benih Menor.
Peralihan dari bertani konvensional yang mengandalkan bahan kimia menjadi organik memang tidak mudah tapi hasilnya perlahan terlihat. Ia harus menyediakan pupuk organik dari kandangnya dengan jumlah yang besar.
Christina juga mulai meramu sendiri cairan antihama berbahan dasar kulit bawang. Pertama mencoba pertanian organik hasil panennya di atas padi hibrida. Meski pertanian organik butuh lebih banyak waktu dan tenaga, secara pengeluaran Christina hampir tak pernah merogoh koceknya. Kebutuhan pertaniannya selalu ada di sekitar, seperti benih lokal yang rutin ia simpan atau barter dengan petani lain, pupuk kompos dari kandang ternaknya, dan ramuan antihama tersedia dari alam sekitar.
Berkat semua itu, Christina mampu menyekolahkan 5 anaknya. Bahkan, penjualan beras organiknya kerap kehabisan stok karena permintaan terlalu banyak. "Harganya di atas Rp23 ribu per kilogramnya, kalau beras bisa hanya Rp12 ribu, jadi kami lebih untung," ungkapnya.
Lebih penting dari semua itu, menurut Christina, kualitas lahan sawahnya kembali lebih subur. Dulu, humus lumpur di petak sawah miliknya hampir habis, kini lapisan itu sudah kembali lagi bahkan mencapai ketebalan di atas 20 sentimeter. Artinya sumber penghidupannya itu akan menjaga dapurnya terus kebul dalam jangka panjang.
Editor: Arti Ekawati